Mula-mula

18 3 0
                                    

Ciit…

Bunyi kereta berderit membuatku tersentak dari tidur ayamku. Mataku mengerjap beberapa detik, sebelum berdiri, ah keretanya sudah datang.

           Segerombolan orang pulang kerja, pulang kuliah, maupun sepertiku—pulang sekolah—segera berdiri di belakang peron sebelum keretanya benar-benar berhenti. Aku mengambil airpods putih dari saku dan menyumpelnya ke telinga sebelum kakiku melangkah masuk ke dalam kereta.

Kereta berjalan seperti biasanya, tanpa hambatan. Pun hari ini seperti biasanya, aku pulang sekolah pukul lima sore dan kereta datang setengah jam berikutnya. Jika kalian bingung kenapa aku pulang—dan lebih tepatnya berangkat juga—sekolah menggunakan kereta, ya karena; jarak dari sekolah menuju rumahku bisa dibilang cukup jauh kalau naik angkutan umum lainnya atau naik kendaraan pribadi, belum lagi jam-jam seperti ini, bakal membuang waktu.

Sekarang aku duduk di bangku paling pojok dekat dengan tiang pintu keluar-masuk kereta, kepalaku bersandar disana, jari-jariku mengetuk pelan di atas tas yang kupangku sesuai alunan lagu dari Niall Horan yang berjudul This Town. Asal kalian tahu, aku bukan orang yang introvert, temanku banyak dan aku cukup terbuka, tapi setiap orang butuh ketenangan dari berisiknya dunia kan? Walau sebentar saja? Jadi, jangan salahkan aku kalau di tempat umum ini aku lebih memilih menyetel tracklist spotify ku dibanding basa basi dengan orang disamping.

           Jeda beberapa menit, kereta yang kutumpangi ini berhenti di stasiun Klender Baru dan pastinya aku tidak turun karena masih harus menunggu tiga pemberhentian lagi.

           Kreett…

Pintu kereta terbuka otomatis.

Sebagian orang turun digantikan orang-orang yang masuk dari stasiun ini. Kali ini aku harus berdiri, karena ada ibu hamil tua yang tidak mendapatkan tempat duduk, ah semua orang pura-pura buta atau mereka memang sengaja tutup mata.

           “Sini Bu duduk silahkan,” kataku pelan, ibu itu tersenyum sambil berkata “terima kasih, dek.”

           Alhasil aku berdiri, tangan kananku meraih hand strap kuning, tangan lainnya diam menggantung disebelah kiri tubuhku. Mataku melihat-lihat isi kereta yang ramai namun cukup tenang, ah ini hobiku kalau sedang di dalam kereta; melihat-lihat eskpresi mereka tanpa mendengar suaranya.

           “Silahkan duduk disini Pak,” suara laki-laki yang berjarak tiga langkah dari tempatku berdiri membuat perhatianku tearah kepadanya.

“Terima kasih, Nak.” Bapak tua itu duduk di tempat laki-laki berseragam SMA itu duduk sebelumnya.

Mataku masih terarah kepadanya. Kulihat laki-laki itu akhirnya berdiri di dekat pintu kereta, badannya tinggi semampai namun agak loyo, mungkin lelah, pikirku. Kepalanya Ia sandarkan di dinding kereta, mulut dan hidungnya tertutup masker hitam. Entah mengapa itu jadi pemandangan yang biasa saja bagiku di hari-hari sebelumnya, namun di hari ini menjadi luar biasa? Apa karena orangnya?

Tidak mungkin, batinku.

           Aku menggelengkan kepalaku agar sadar, agar lebih fokus pada tasku yang harus kujaga daripada fokus pada laki-laki asing yang kepalanya masih bersandar di dinding kereta itu.

           Sekitar sepuluh menit, akhirnya pemberhentianku tiba, Stasiun Jatinegara. Aku meringis kecil karena terdorong orang-orang yang ingin menuju pintu keluar sepertiku. Setelah berhasi keluar dari kereta, mataku menatap jam di dinding stasiun yang sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Segera, kulepaskan airpods ku dan bergegas keluar darisana stasiun.

           “Ojek!” Panggilku kepada salah satu abang ojek di pangkalan depan stasiun. Abang ojek dengan badan agak timbun berjalan menghmpiriku sambil membawa motornya, “Iya, Neng, mau dianter kemana?”

           “Jalan Semangat ya, Pak,” jawabku.

“Siap, Neng!”

Setelah duduk di motor barulah aku menghela napas, sedikit lagi sampai rumah, gumamku. Namun, bukannya lega entah kenapa tubuhku malah menegang seiring mataku jatuh lagi pada sosok laki-laki tadi, laki-laki tinggi dengan masker hitam yang kutemui di dalam kereta, sekarang Ia sedang berdiri menatap jalanan di sebrang stasiun.

           Aku tidak sempat bereaksi apa-apa selain menatapnya dari jauh, hingga ojek yang kutumpangi jalan meniggalkan stasiun Jatinegara, meninggalkan dia yang masih berdiri disana. Sendirian.






Hope u enjoy this story 😉

Kereta di Tengah SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang