You're the Coolest

79 7 3
                                    

"Yosh! Kemajuan yang bagus, semuanya!" Chiaki berseru tepat ketika lagu Unlimited Power selesai dimainkan. Siang itu, meski salju sedang turun di luar sana, seluruh anggota Ryuseitai dan produser mereka, Anzu, tetap mengadakan sesi latihan seperti biasa. Mereka diberitahu bahwa Ryuseitai mendapat kesempatan tampil pada Christmas Live tak lama lagi, dan mereka tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.

Midori menurunkan tangannya yang sedang berpose berdasarkan koreografi, lantas melirik ke arah Anzu yang rupanya masih berulangkali mengecek arloji di pergelangan tangannya seraya menempelkan ponsel di telinga. Raut cemas kembali muncul pada wajah Anzu saat gadis itu menurunkan ponsel.

"Masih tidak bisa kuhubungi," kata Anzu.

Sosok yang mereka tunggu belum juga datang, padahal ini sudah lewat satu jam dari waktu latihan yang ditentukan.

Namun, Tetora tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Tidak ada perubahan pada jadwal latihan Ryuseitai, jadi seharusnya tidak ada masalah. Kecuali jika pemuda itu terjebak badai salju di tengah jalan, atau skenario terburuk, mengalami kecelakaan.

Midori menggeleng kepala untuk mengenyahkan kemungkinan negatif yang melintas dalam benaknya.

Namun, jujur saja, Midori juga khawatir.

"Ano...." Midori lalu memutuskan untuk buka suara. "Bolehkah aku pergi memeriksa Tetora-kun ke apartemennya?"

Anzu terlihat berpikir sejenak, sebelum akhirnya melempar pandangan ke arah sang leader untuk meminta persetujuan.

Tangan Chiaki mendarat di sebelah pundak Midori. "Tanomu, Takamine!"

***

Nagumo Tetora sedang bergelung dalam selimut di atas sofa yang menghadap ke arah pintu balkon, membelakangi Midori yang berdiri tepat di belakang sofa. Mata pemuda itu terpejam, terlihat seperti sedang terlelap hingga tak menyadari bahwa ada seseorang yang baru saja masuk ke apartemennya yang tak dikunci, dan sedang memandanginya dari atas.

Wajah yang terlelap itu tampak begitu lelah. Kulitnya pucat dan bibirnya kering. Helai rambutnya pun jatuh berantakan di sisi-sisi kepalanya.

Midori tak tahu harus merasa lega atau bagaimana—lega karena tak ada orang asing lain yang masuk ke apartemen kekasihnya, tetapi khawatir melihat ekspresi lelah pemuda itu. Tetora bukan tipe yang lupa mengunci pintu apartemen. Kekasihnya itu bahkan selalu berpesan pada Midori untuk selalu mengecek kunci pintu sebelum tidur. Tapi kalau begini... Midori mulai berpikir ada yang sedang terjadi pada Tetora.

Ditambah lagi dengan situasi apartemennya yang terlihat sedikit kacau dibanding biasanya. Piring, gelas, dan panci yang bokongnya menghitam karena hangus, tertumpuk di pinggir bak cuci piring. Sementara itu, ponselnya dibiarkan tergeletak di atas meja bersama sweater dan syal yang dilihat Midori dikenakan Tetora semalam.

Kemarin, mereka tak pulang bersama seperti biasanya karena Tetora yang masih memiliki jadwal mengisi acara malam di salah satu stasiun radio. Tetora bersikeras memaksa Midori untuk pulang ke apartemennya sendiri lebih dulu, karena suhu yang akan semakin dingin menjelang tengah malam. Karena itu, mereka hanya berpamitan di lobi dan berpisah.

Midori mengembuskan napas panjang. Tetora selalu berusaha bersikap layaknya lelaki sejati di depan Midori, tetapi seharusnya Midori tahu kalau dia juga manusia yang bisa kelelahan. Sebagai kekasihnya, seharusnya Midori bisa lebih peka. Seharusnya dia datang ke apartemen Tetora segera setelah pemuda itu selesai bekerja untuk menanyakan apa dia butuh Midori untuk membuatkan makanan.

Memikirkannya saja membuat Midori merasa bersalah.

"Tetora-kun." Midori memanggil dengan lembut, tak ingin mengejutkan Tetora karena mendapati ada orang lain yang masuk ke apartemennya.

Buntalan selimut di atas sofa bergerak halus. Mata Tetora perlahan membuka, mengerjap satu dua kali, sebelum akhirnya membulat sempurna ketika mendapati wajah Midori. Pemuda itu buru-buru membalikkan badan ke arah yang salah, berakhir dengan tubuhnya membentur tepi meja disertai bunyi gubrak yang cukup keras.

Midori memutari sofa dan berlutut di sebelah Tetora. "D-Daijoubu?" tanyanya seraya membantu pemuda itu untuk duduk.

Sebuah ringisan kecil keluar dari mulut Tetora. Selimut yang sebelumnya membalut tubuh Tetora jatuh merosot ke lantai. Saat itulah Midori menyadari kalau Tetora masih mengenakan pakaian yang sama seperti kemarin. Namun, Tetora buru-buru menarik selimutnya hingga menutupi kepala.

"J-Jangan lihat ke arahku!"

"Eeeh?" Midori mengeluh mendengar nada bicara tsundere itu. "Kau sungguh baik-baik saja?"

"Pokoknya jangan lihat!"

Midori merengut. Kenapa pula kekasihnya bertingkah seperti ini? Lagipula dia sudah melihat wajah Tetora barusan. Midori menarik paksa selimut Tetora, meski Tetora berusaha bertahan. Namun, tenaga Midori rupanya jauh lebih besar.

Midori membuang selimut itu ke sembarang arah, lantas mendekatkan wajah pada Tetora yang segera memejamkan mata. Satu telapak tangannya diletakkan di belakang kepala Tetora, sebelum menempelkan keningnya dengan kening Tetora.

Panas.

Kecurigaan Midori soal Tetora yang tak baik-baik saja kini terbukti.
Midori mengembuskan napas panjang, menoleh ke arah pintu kaca balkon. Pandangannya disuguhi seluruh kota yang tertutup warna putih.

"Maaf karena aku tak segera datang, padahal kau sedang sakit."

Di suhu sedingin ini, Midori tak ingin Tetora menggigil. Lantas diambil Midori kembali selimut yang tadi dilemparnya, lalu dibentangkannya di belakang punggung Tetora dan dirapatkannya.

Tetora buru-buru kembali menutupi wajahnya dengan selimut. "Sebenarnya kau tak perlu datang. Daijoubu ssu yo—aku baik-baik saja."

Lihat? Lagi-lagi Tetora berusaha bersikap seperti lelaki sejati yang bisa mengatasi segalanya sendirian.

Midori beringsut mendekati Tetora, menarik gundukan selimut di hadapannya itu ke dalam pelukan. "Hei, Tetora-kun...." Dagu Midori lalu diistirahatkannya di antara ceruk leher Tetora yang tertutup selimut. Kedua lengannya melingkari tubuh Tetora.

"Kenapa kau tak pernah meruntuhkan bentengmu di depanku?" tanya Midori putus asa. "Kenapa aku bahkan tak boleh melihat wajahmu saat sedang sakit?"

Gundukan selimut bergerak. Midori melepas pelukannya. Kepala Tetora muncul, mendongak menatap Midori yang lebih tinggi darinya. Katanya dengan wajah merengut, "Kau lihat aku sekarang? Tidak keren sama sekali."

Midori balas menatap pemuda itu. Rambut berantakannya, bibir keringnya, kulit pucatnya, dan matanya yang tampak sayu.

Sebuah tawa kecil lolos dari bibir Midori. "Hei. Jadi hanya karena itu?"

Ketika rona merah muncul di kedua pipi Tetora, pemuda itu segera memalingkan wajah ke arah lain. Lalu, dengan lirih, ia kembali bersuara. "Aku, kan, ingin selalu terlihat keren di depan Midori-kun...."

Astaga.

Midori tak tahu kalau kekasihnya bisa semanis ini.

Jika saja Midori tak ingat bahwa pemuda di hadapannya ini sedang demam, mungkin Midori sudah 'menyerangnya'. Sebagai gantinya, Midori perlahan beringsut maju, membuat Tetora refleks mundur dan jatuh ke atas lantai beralas karpet. Kedua tangan diulurkan di sisi kanan kiri kepala Tetora, membuat lelaki itu terkunci di antara tubuh Midori dan lantai.

Kecupan singkat didaratkan Midori pada kening Tetora.

"Kau yang terkeren, Tetora-kun. Daisuki."

Fin
Akira, 2020

You're the Coolest [MidoTeto]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang