Ji Eun, September 2019.
Dingin malam di musim gugur terasa menembus kulit hingga seakan dapat menghancurkan tulang. Jalan yang kutapaki terasa biasa saja. Tidak ramai, namun tak juga terlalu sepi.
Aku mengamati sekitar, merasakan kehidupan di sekelilingku. Rasanya semua orang tengah bahagia kecuali aku.
Menyedihkan.
Kulanjut lagi langkah yang sempat terhenti, sembari mengalungkan syal biru tua yang baru saja kubeli. Penjualnya seorang wanita tua yang ramah. Aroma kue jahe di tokonya pun masih tercium di syal ini, mengingatkanku pada natal tahun lalu.
Bukan kenangan yang indah juga, kalau harus kujelaskan.
Dingin makin menusuk, membuatku bergegas untuk sampai di halte bus tepat waktu. Langkahku makin tergesa, nyaris seperti orang yang tengah berlari.
Aku benci dingin. Itulah sebabnya.
Beberapa kali aku tak sengaja menabrak pejalan kaki lain, mengharuskanku untuk membungkuk demi mendapat maaf mereka. Lalu kembali berjalan seperti tak terjadi apapun. Jika saja tidak akan terlihat aneh, aku sudah berlari sejak tadi. Demi apapun, aku benci musim gugur.
Dan lagi-lagi, aku menabrak seseorang.
Tapi, sepertinya aku tak butuh maaf darinya. Karena orang itu pun berlalu begitu saja tanpa menoleh padaku, tidak seperti orang-orang yang kutabrak beberapa saat lalu.
Ingin kuteruskan langkahku, namun sesuatu yang ada di bawah kakiku menghentikannya.
Sebuah benda kecil yang berbentuk lingkaran dengan warna perak mendominasi.
"Cincin orang tadi kah?" gumamku begitu saja.
Ku raih cincin itu, lantas kembali menoleh, berusaha menemukan jejaknya.
Nihil.
Dan bus yang ku nanti pun sudah tiba di halte.
🍃🍃🍃
Namjoon, September 2019
Memandang kumpulan bintang di malam hari memang yang terbaik dalam hidup. Bahkan dingin musim gugur tidak terasa di kulitku.
Sepertinya aku memang sudah mati rasa, seperti yang wanita itu sering katakan tentangku.
Aku ingat, pertengkaran terakhir yang menjadi penutup hubungan kami berdua. Natal tahun lalu yang menjadi alasanku kini membenci musim dingin.
Makian yang tak henti terucap, ego yang tak mampu terbendung, serta harga diri yang di atas segalanya.
Kata terakhir yang kudengar sebelum meninggalkan tempat itu masih terngiang dengan jelas.
Aku tidak pernah berharga untuknya, dan hanya ada penyesalan dalam hidupnya karena harus melahirkanku.
Sebenarnya, itu bukan pertama kali untukku. Aku sudah mendengar bait itu sejak kecil. Mirip seperti dongeng sebelum tidur. Hanya saja, suara yang membaca bukunya terlalu nyaring, tak dapat membuatku terlelap. Malah, aku jadi sering bermimpi buruk.
Kembali ku tatap beberapa butir obat dalam plastik yang baru saja ku beli. Kata dokter, aku membutuhkannya agar jiwaku segera pulih.
Entahlah, rasanya sejak awal aku tidak memilikinya.
Ku masukkan obat-obatan itu kembali dalam saku coat cokelat yang ku kenakan, lantas kembali menyusuri jalan pinggir kota.
Melihat beberapa orang yang berkelompok membuatku sedikit risih. Aku benci bersama seseorang.
Sepertinya, aku akan menjadi satu-satunya manusia yang tak keberatan berteman dengan sepi untuk waktu yang lama.
Kembali aku menapaki jalan. Rasanya malam ini cukup mengamati bintangnya. Aku harus pulang untuk meminum obat-obatan tadi.
Melelahkan.
Ku tatap sejenak benda kecil yang telah melingkar di jari manisku sejak lama. Benda berharga pemberian nenekku. Ia wanita tua yang ramah. Membuat syal sebagai hobi kemudian menjualnya di toko kue jahe miliknya.
Terasa aneh, memang. Tapi begitulah dirinya.
Satu-satunya alasanku mau percaya bahwa masih ada jiwa dalam tubuh menyedihkan ini, dan memaksakan diri untuk meminum obat menjengkelkan tadi.
Langkahku terus membelah jalan, meski sempat bahuku terasa ditabrak seseorang.
Aku benci berdekatan dengan orang lain.
Maka ku percepat langkahku, menuju toko kue jahe di ujung jalan sana.
Dan lagi-lagi, nenek sudah berdiri di ambang pintu, dengan syal merah tua dalam genggamannya.
Prolog; end.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Piece of You | IU × Namjoon
Teen Fiction"Cinta itu tidak lebih dari rasa sakit yang menjelma jadi trauma." Itulah yang ia katakan padaku saat awal pertemuan kami. Pria aneh yang terus menunduk, tak berani menatap lawan bicaranya. Rasanya lucu jika kuingat lagi. Fakta bahwa kini kami tenga...