"Gue, takut. Mereka mau bunuh gue tadi," gadis itu meringkuk dalam dekapan orang yang tidak dia kenal.
"Lo, ada urusan apa sama mereka?"
"Gue gak tau, gue gak pernah jahat sama orang, tapi tiba-tiba orang itu ngejar gue sambil bawa-bawa pisau, pas gue baru keluar dari cafe."
Sekarang, dibalik pohon, mereka menutup mulut rapat-rapat kala mendengar langkah kaki berjalan mendekat.
Semakin dekat, semakin dekat, Cowok itu merasakan persembunyiannya sudah di ketahui. Benar saja, sebuah pisau melayang di udara dan hampir menusuk lengan gadis itu, jika dia tidak menendangnya.
"Lo di sini aja,jangan kemana-mana, apalagi ngintip-ngintip. Diem di sini!" tegasnya.
Saat cowok itu keluar dari balik pohon, dia tidak melihat siapapun. Kosong, orang peneror itu sudah tidak ada. Mungkin karena rencana pembunuhnya berhasil di gagalkan.
"Tolong!!" teriak gadis itu.
Cowok itu, Danial, refleks menengok dan dia melihat dengan jelas gadis itu di seret oleh orang berjubah hitam.
"BERHENTI, WOY!" teriakan Danial menggema ke seluruh hutan yang sepi.
Senja datang, sinar jingganya menjadi saksi pertemuan pertama Danial dan gadis itu.
Dengan sigap dan cepat, Danial mengejar orang itu, yang kini sudah memanggul si gadis ala-ala karung beras.
Sekuat apapun dia memberontak, orang itu tidak melepaskan dirinya. Danial menerjang orang itu dari samping, supaya tidak melukai gadis itu.
"LEPASIN DIA!"
Bugh!
Dalam satu terjangan, orang berjubah hitam itu tersungkur, pegangannya pada si gadis lepas. Tanpa aba-aba lagi, dia melarikan diri layaknya pengecut.
Gadis itu menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Danial, tidak ada rasa malu atau sungkan, padahal baru bertemu beberapa menit yang lalu. Wajah cantik si gadis seketika penuh goresan luka seperti cakaran.
"Nangis aja, tumpahin semuanya, jangan malu-malu," Danial mengusap punggung gadis itu.
"Gue–"
"Nanti aja ngomongnya, kalo udah berhenti nangis," potong Danial cepat.
"Huaaaaaaa—Mamaaaa!" gadis itu berteriak kencang, lalu melepaskan pelukannya.
"Dasar anak mama," ledek Danial.
"Tadi katanya suruh nangis, huaaa–"
"Iya, nangis. Bukan manggilin Mama, Mama lo mana denger kalo lo manggilnya dari sini, bego!"
"Lo sapa sih, ngeselin banget!"
"Oranglah, ya kali gue ini pangeran berkuda putih dari dongeng yang dateng buat nyelamatin putri, 'kan gak mungkin!"
"Maksud gue nama lo, nama lo siapa?" tanya gadis itu, sungguh-sungguh.
"Nama gue panjang, panggil aja gue Danial," sahutnya.
"Gue Syakila."
"Sumpah, gue gak tanya," Danial meleletkan lidahnya.
Saykila memasang raut wajahnya menjadi datar, sedatar triplek. Baru saja ingin berterima kasih, tapi niatnya itu dia urungkan.
"Yaudah, karena orangnya udah pergi, gue pulang dulu," Danial beranjak berdiri.
Tapi tangan Syakila mencekal pergelangan tangannya saat dia akan pergi. Syakila menatapnya dengan tatapan memelas, sungguh, Danial ingin mengunyel-unyel pipinya jika boleh.
"Gak ada niatan mau nganter gue pulang?" tanya Syakila.
"Gak. Pulang aja sendiri," jawab Danial. "lagian orangnya udah pergi, udah aman, kok."
"Gue–"
"Dasar penakut! yaudah ayo gue anterin, baru kenal aja udah ngerepotin gue terus lo."
"Jadi, Lo gak ikhlas mau nganterin gue?" sungut Syakila. "yaudah sana pergi! pergi aja, tinggalin gue di sini sendirian!"
"Yaudah."
Baru tiga langkah Danial berjalan, dia merasakan ada seseorang yang menahan kakinya. Itu Syakila, dia meneteskan air mata.
"Dasar gak PEKA!" teriak Syakila marah
"Bodo amat, emang lo sapa gue."
"Kok sikap Lo beda banget sama yang tadi? oh, yang tadi kerasukan jin penghuni hutan ini ya?" Syakila mengerucutkan bibirnya.
"Kagak."
"Anterin gue pulang, ya, ya, please–"
Danial mengulurkan tangannya untuk menyentuh darah di pipi Syakila yang sudah mengering.
"Muka lo, gak perih?" tanya Danial.
"Perih banget, sih. Makanya anterin gue pulang," jawab Syakila.
"Yaudah. Mau di gendong apa jalan sendiri?"
"Gendong!" Syakila mengembangkan kedua tangan.
Sumpah, Danial benar-benar yakin, yang ada bersamanya saat ini bukanlah gadis remaja, melainkan anak-anak.
"Gila, berat amat lo. Makan apa sih?" ringis Danial, saat Syakila sudah naik ke punggungnya.
"Makan nasi, lah. Ya kali makan bom atom!" ketus Syakila.
***
"Syakila! astaga, kamu kenapa, sayang? Mukanya kenapa? PAPA!" teriak Tiara, Mama Syakila.
Wanita itu terkejut setengah mati saat melihat wajah putrinya yang penuh luka, baju sobek dan kotor. Ditambah lagi, Syakila datang dengan seorang cowok yang tidak Tiara kenali.
"ADA APA, MA? TERIAK MALEM-MALEM!" sahut Leon, Papa Syakila.
Saat tiba di teras, wajah Leon yang semula hangat menjadi terkejut dan matanya melotot tak percaya.
"KAMU APAKAN ANAK SAYA?" Leon menarik kerah baju Danial.
"PAPA!" teriak Syakila, lalu turun dari gendongan Danial. "PAPA LEPASIN! DIA GAK SALAH, DIA UDAH NOLONGIN SYAKILA!"
"NOLONGIN?!" Leon dan Tiara saling pandang.
"Udah, ceritanya di dalem aja, ini udah malem. Nak, kamu masuk dulu, ya," kata Tiara.
Ruang tamu kediaman keluarga Gheovan jadi tenang, hanya ada suara Syakila yang menceritakan semua kejadian tadi.
"Siapa orangnya? kasih tau Papa! biar Papa jebloskan dia ke penjara!" Leon tak mampu menahan emosinya yang meluap-luap.
"Itu dia, Pa. Syakila juga gak tau siapa dia," ucap Syakila.
"Maaf, Om, Tante, menyela. Sebaiknya luka Syakila diobatin dulu, takut infeksi," sela Danial.
"Oh, iya. Bener juga. Mama ambil kotak P3K dulu," Tiara melenggang pergi.
"Ma, nanti obatinnya di kamar aja, Syakila sekalian mandi, bau." canda Leon, sambil menutup hidungnya. "sekalian ada sesuatu yang mau Papa omongin sama anak ini."
"Oke, Papa."
Ruang tamu mendadak menegang. Hanya menyisakan Leon dan Danial.
"Boleh saya ngomong sesuatu sama kamu?" Leon memulai.
"Boleh, Om."
KAMU SEDANG MEMBACA
DANIAL [On Going]
Teen Fiction"Jangan takut. Gak ada yang perlu lo takutin, selama masih ada Danial Brian Elvano di sini!" "Tapi, mereka-mereka mau bunuh gue, gue takut, Nial." "Gue, gak suka ada setetes air mata pun menetes ke pipi Adeliona Syakila Gheovan, paham?" Itulah Dania...