Apa kau tahu? Setiap orang punya hak atas keadilan. Mereka tentu saja bisa melakukannya bila saja sebelumnya mereka tak pernah mengganggu ataupun diri mereka yang merasa terganggu. Berjuang. Bertumpah darah. Mengorbankan. Namun, semuanya bisa saja terjatuh bila sekali orang mendorong, menjatuhkan usaha mereka. Sia-sia, semua orang tak percaya lagi pada mereka.
_____
Koliwada, India, di 2020.
Namaku Sheher Shah Alfarida. Kini kulangkahkan kaki menuju cermin. Ini adalah hal yang kusuka; memandangi diri sendiri di hadapan cermin. Meskipun begitu, ada rasa aneh dan mulai mencemaskan sesuatu, tapi apa itu? Dari dulu kurasakan ini setiap saat, bahkan sering kali mimpi buruk, mimpi buruk yang selalu sama. Demikian, itu bukanlah hal yang penting, tidak boleh takut akan mimpi yang sebenarnya itu hanyalah a sleeping flower. Jadi, untuk apa takut? Lagian itu bukan aku, tapi seorang wanita bersama seorang pria yang benar-benar buram latarnya.
Memandangi wajah sendiri yang begitu datar; alis tebal, brewok lumayan tebal, wajah—yang katanya—tirus padahal agak lonjong, mata yang tajam, juga ada banyak uban—terutama di bagian pelipis kiri. Uban ini berarti tanda tua, melainkan kelainan genetik. Kedua tangan tengah merapikan kerah baju serta dasi. Melakukan hal ini hanya dalam beberapa menit saja.
Sudah siap. Sudah rapi dan tampan pastinya, he-he-he.
Aku tersenyum samar di hadapan cermin. Tak tahu kenapa tiba-tiba senyuman yang terukir di bibir ini mendadak memudar. Seperti biasanya ada hal aneh, tapi apa? Ya, tak lama kemudian ponsel yang ada di rak dekat cermin berdering. Tak segan-segan meraih ponsel tersebut, mengangkat tanpa melihat siapa yang memanggil.
Belum sempat menyahut hallo pada seseorang di ponsel, seseorang itu langsung saja nyerocos tanpa mengucapkan salam. “Hallo Bro! Kau ada di mana sekarang? Bisa kumpul di Haji Ali, tidak, untuk sekarang? Ada Soumya juga di sini. Mau?”
“Ya Allah, jauhkan aku dari orang seperti mereka,” gumamku mengeluh. Menyipitkan mata, menjauhkan ponsel dari telinga. Telingaku tentu saja sakit! Sudah cerocos, jelek lagi suaranya! Sial! “Begini, Ayaan, untuk sekarang aku tidak bisa datang. Aku sibuk. Jadi, tolong jangan ganggu aku. Oh, ya, titip salamku pada Soumya, ya.”
“Tapi—” Langsung kumatikan ponselnya. Ah, benar-benar tidak ingin mendengar ocehannya lagi. Dia seorang pria, tapi kelakuannya seperti wanita tulen; banyak omong. Jijik, wanita tidak akan mendekat. Bukan hanya wanita, tapi juga pria, dan entah bila pria itu gay.
Waktu di jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Kepala ini merunduk, memejamkan mata, membungkukkan badan. Menghela napas panjang. Kembali memandang cermin, meluruskan badan. Entah kenapa lagi tiba-tiba ingin memandang kedua telapak tanganku, dan itu membawaku ke masa lalu. Namun, semua itu ... apa?
_______
Tabela, Bandra, India, di tahun 1987
“Lihatlah, cermin, inilah cincin yang indah dari calon suamiku—Ali Mohd.” Aku tersenyum sumringah, melihat telapak tangan, lalu membalikkannya ke arah cermin. “Kau tahu? Sebentar lagi dia akan melamarku. Ya, dan aku? Aku akan jadi istrinya, jadi rani-nya! Aku sangat bahagia, cermin! Aku sangaaat bahaaagiaaaa!”
Namaku Serrah Fadiq Abdullah, seorang gadis yang paling bahagia di muka bumi ini. Usiaku baru 25 tahun, dan sebentar lagi Ali—calon suamiku yang paling kusayangi—akan melamarku pada bulan ini. Tentu moment lamaran merupakan moment yang paling ditunggu-tunggu, apalagi moment pernikahan. Oh Allah-ku, Maha Cinta-ku, datangkan kesempatan ini secepatnya, lewatkan masa-masa ini ke masa yang bahagia. Aku tak sabar! Hidupku benar-benar bahagia sekarang! Aku menari seperti kupu-kupu karena saking bahagianya!
Aku melangkah cepat menuju cermin, menempel manja di alas cermin. Tersenyum. Dalam terbayang-bayang pernikahan yang yakin pasti sangat indah dibayangkan. “Cermin, akulah gadis yang paling bahagia di muka bumi ini!” Mundur beberapa langkah sambil memandangi diri sendiri yang ada di cermin. “Sepatu, pakaian, wajah cantikku. Semuanya kutunjukkan ini padamu! Aku Serrah, gadis yang takkan berhenti bahagia. Dan ini semua ... karena Ali. Ya, Ali! Ali! Ali!”
_______
33 tahun kemudian ...
“Ali!” Sebuah seruan masuk ke dalam telinga ini. Aku terkejut dari lamunan, masih dalam memandang kedua telapak tangan. Mengarah cermin sekali lagi, memandangi wajahku sendiri di hadapan cermin. Entah mengapa merasa bahagia bila teringat nama Ali. Pasalnya, saat itu aku merasa pria itu adalah cinta pertamaku. Heh! Tidak mungkin! Aku seorang pria, bagaimana bisa kuingat dia dan ingat kisah cintanya? Tolong, aku bukan gay, ya! Namun, sungguh, diri ini merasa ingat, tapi tidak ingat. Satu per satu ingatan muncul bila masuk ke dalam lamunan yang sangat dalam. Kali ini, aku hanya ingat Ali, yang merasa cinta pertamaku di masa itu.
“Ali ....” Aku melirih, tersenyum di hadapan cermin. Selain kebahagiaan akan Ali, berharap dia bisa memberitahuku apa yang terjadi di masa itu. Ya, setidaknya dia bisa menceritakan siapa gadis yang bersamanya dulu, sudah menikah atau belum—sekarang usia mereka ada sekitar 60 tahunan lebih, tentu mereka sudah menikah, bagaimana mereka berumah tangga, dan yang terakhir, mengapa Ali bisa-bisanya terngiang-ngiang di benakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Novelite: Dua: Ketika Aku di Dua
Historical Fiction[TERBIT] Pernahkah kau menyakini bahwa reinkarnasi itu tidak ada? Ya, bahwa kau sudah membuktikannya sendiri; tidak ada reinkarnasi, hidup hanya sekali. Namun, berbeda dengan Sheher Shah Alfarida ini, ia merasa bahwa dirinya memiliki kehidupan sebel...