Sudah dua hari, SMA Tunas Bangsa berhasil menyelesaikan masa orientasi siswa baru dan kembali belajar seperti biasanya. Mereka berbondong-bondong masuk ke dalam kelas dengan pakaian putih abu-abu yang berbau baru. Berbeda dengan sekelompok siswa yang tengah menyesuaikan duduknya di bawah atap warung sederhana. Ada yang dari mereka merogoh sakunya, lalu mengeluarkan sekotak kretek lengkap dengan korek api. Di sodor kan kotak itu ke semua orang dan kini tersisa lima batang.
"Bah mau ngudud?"
Abah pemilik warung hanya memberikan telapak tangannya yang di angkat ke udara. Jari tangan kanan dan mulutnya berkomat-kamit tak jelas, menghitung seluruh dagangannya yang sudah dia kira akan habis oleh anak-anak itu.
"Lu salah tanya tolol, si abah mah kalo mau ngudud tinggal masukin tangan ke kotak itu. Yang harus di tanya tuh si Aji," diem-diem bae lu, ucap Riyo dengan sedikit menempeleng kepala Aji yang dari tadi asik dengan layar ponselnya. Si korban hanya nyengir dan langsung menunjukkan sebuah adegan panas yang ada di ponselnya pada si pelaku.
Mata Riyo langsung membulat. Jemarinya langsung menggenggam paksa ponsel milik temannya.
"Ini beneran Ravisa anak kelas 11 itu kan?" Aji mengangguk, membenarkan pertanyaan tak berbobot. Di dalam layar ponsel itu, terdapat adegan panas yang menampilkan sang adam dan hawa yang saling menumpahkan nafsunya.
"Master banget lu."
"Gila, gimana tuh Ji rasanya? Manis ga?"
"Sumpah ga nyangka, ternyata sohib gua udah pantes buat dapet gelar aktor pemain film panas." Kata Riyo yang dari tadi fokus menatap Aji yang lihai mencumbui seorang gadis, lalu di sambut gelak tawa dari semua orang yang menyaksikan aksi panas itu. Aji hanya tersenyum, seperti bangga karena telah meraih keperawanan dari bibir gadisnya.
"Lain kali harus sampe masuk tuh buwungnya ke kandang," ucap Taro yang langsung mendapatkan pembenaran.
"Ngaco. Anak gua di urus siapa nanti tolol," elak Aji. Tangannya meraih segelas ale-ale dingin bekas Riyo. Lalu membuang sedotan dan merobek paksa plastik penutup, di teguknya minuman itu tanpa ampun pada kerongkongannya.
Jarum jam terus berdetak. Jelas sekali, dalam benda berbentuk bulat itu angka 9 telah di tunjuknya dengan mantap. Harusnya mereka kembali ke kelas, mengikuti pelajaran dengan baik. Bukankah bolos satu pelajaran saja sudah sangat cukup? Mungkin bagi mereka tidak.
Bolos adalah tentang kesolidaritasan dalam berteman, itu bagi mereka. Jika satu menginginkan bolos maka semuanya harus membuntut. Tidak heran jika ketiga lelaki itu terus-menerus menjadi santapan emosi guru BK dan orang tuanya. Rasanya tidak apa-apa jika melewati ujian hidup bersama teman. Tapi lihatlah, seorang lelaki dengan rambut sedikit berponi itu. Dua tahun lamanya, ia menerima penderitaan akibat amukan dari guru BK sendirian. Tak ada seorang pun yang menemaninya. Bahkan, sangat lucu ketika ia baru menginjak kan kakinya di kelas 11 semester dua. Semua siswa terduduk di pinggir lapangan, menyaksikan tontonan yang memalukan. Lelaki itu berlari dengan poni di jepit karet gelang dan lehernya yang di kalungi seutas tali rafia yang mengikat karton. Karton melakukan sebuah kolaborasi dengan tinta yang melahirkan sebuah kata-kata.
Saya Utara Akiyama menyesal bolos berkali-kali dan siap di hukum jika melakukannya lagi.
Lihat kenyataan.
Kini lelaki itu tengah tertidur. Kedua tangannya membantu menyelinapkan mukanya. Dengan alunan irama angin yang berasal dari sebuah kipas angin, ia terlelap. Seolah telah menemukan mimpi yang indah, membuatnya enggan untuk bangkit dari kursi panjang yang sejak tadi di kuasai oleh sekujur tubuhnya.
"Kalian belum balik ke kelas juga?" tanya Abah yang baru saja nongol dari balik pintu warungnya. Taro menatap Abah dengan ekspresi datar, "Pertanyaan abah ga berbobot," ucapnya lalu membuang sebuah kartu yang sejak tadi menjadi permainan untuk mengusir rasa keputusasaan karena tak ada canda yang menyirami situasi kering kerontang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Utara Raya
Teen Fiction"Biarkan aku mencintaimu meskipun kamu mencintainya" ucap Maya yang sesekali mengusap air matanya. Lelaki itu sudah melangkah pergi, meninggalkan dirinya yang terduduk sendirian.