Jingga Nila

4 1 0
                                    

Suara menggema gong yang pertama kali kudengar. Menyambut kedatangan para siswa-siswi baru SMA GARUMATARA. Hal yang tak biasa bagiku, melihat pemandangan aneh seperti ini. Aku menatap bingung kegiatan yang berada tak jauh dari hadapanku itu. Riuh pukulan gong, lalu bunga-bunga yang berhamburan. Sengaja ditabur-taburkan kepada seluruh siswa-siswi tahun ajaran baru yang akan memasuki gerbang sekolahan.

Semacam sebuah ritual. Aku menggeleng-geleng mengusir pikiran buruk yang kini berdatangan menyerbu kepalaku.

Ini hanya ritual penyambutan biasa! Batinku lalu melangkah ragu untuk melewati gerbang.

Brakkk!

Belum selesai kaki ini menapak melewati pintu penyekat antara wilayah luar dengan wilayah dalam sekolah Garumatara, pintu yang disebut-sebut namanya gerbang itu mendadak tertutup rapat, seolah tak mengizinkan aku masuk melewatinya.

Aku membeku ditempat, jantungku benar-benar terasa seperti ingin lepas. Bukannya apa-apa. Hanya saja, aku tak bisa membayangkan bagaimana jika tadi gerbangnya tertutup pas di saat aku masuk, apa kabar dengan wajahku sekarang?

"Maaf ya, nak," ucap seorang bapak-bapak dengan pakain hitam putih dan sebuah pentungan ditangannya, datang menghampiriku sembari tersenyum memamerkan gigi tonggos miliknya. "Ga sengaja kelepasan pengaitnya, untung ga kepentok."

Aku tersenyum mengangguk lalu kembali berjalan kantap melewati gerbang.

Aku terus berjalan menuju kelasku sembari bersenandung ria menaiki tangga. Rasanya cukup lega setelah dinyatakan resmi menjadi siswi Garumantara tanpa menjalani masa-masa sulit ditindas para senior seperti disekolahan lainnya. Ya, Sekolahanku kali ini sangat berbeda.

Setibanya di kelas, aku mengedarkan pandangan menyapu segala sisi ruangan yang minim pencahayaan itu. Lembab, kulihat disampingnya ada sebuah batang pohon besar yang menghalangi sinar matahari masuk memberi cahaya kedalam kelas, membuatku sedikit tak merasa nyaman.

"Hai," sapaku kepada laki-laki yang duduk tepat di depan mejaku.

Ia berbalik menatapku, tapi sepertinya tak berniat membalas sapaan yang kuberikan padanya, bahkan memberikan senyuman palsunya pun tidak.

Aku memaki dalam hati sedikit tersinggung dengan kesombongan sosok manusia itu.

Ah apa ia benar manusia? Suara hatiku meremehkannya.

"Apa urusannya denganmu?!" hardik laki-laki itu tiba-tiba. "Apa pentingnya manusia atau bukan, kalau nyatanya setan maupun binatang lebih berperasaan dari pada mereka yang kamu sebut manusia"

Aku tersentak. Tertegun. Dia bisa membaca pikiran? Ia cenayang?

"Makhluk yang berakal budi, namun sayang tak punya hati!"

Aku makin terpaku. Bingung. Dia bicara seolah bukan manusia saja, pikirku.

"Aku memang bukan manusia. Aku...," ucapnya berjeda. Ia mendekat mengikis banyak jarak. Mencondongkan kepalanya menatap lekat mataku, membuat tubuhku sedikit condong kebelakang dengan detak jantung yang sudah tak karuan.

"Pangeran surga." Dia tergelak, lalu duduk kembali pada posisi awalnya.

Aku menghembuskan nafas lega. Tadinya aku ingin marah. Namun aku urungkan saat melihat seorang guru baru saja datang memasuki kelas.

Kegiatan belajar dimulai. Hening. Aku berdecak kagum, menoleh satu per satu teman sekelasku yang begitu tertib. Sangat berbeda jauh dari sekolah-sekolahan yang pernah aku dengar atau aku tonton dari sebuah serial drama TV. Saking heningnya, peraduan suara yang tercipta antara ujung pensil dan kertaspun jelas terdengar. Pagi ini, pelajaran kelas kami hanya disuruh mencatat beberapa materi dibuku cetak, sesuai dengan perintah bu guru yang kalau tidak salah namanya Dinar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang