-Sanggar Ageng Ki Bhareng Susmito-
"Kin, itu yang namanya Mbak Ajeng?" bisik Dandi.
"Bukan," jawabku singkat. Wajahku sedang di rias untuk foto keluarga sebentar lagi. "Mbak, alisnya yang biasanya aku nyinden aja," kataku ke Mbak Uut, perias yang bekerja di sanggar kami.
"Oh, itu ya yang namanya Mbak Ajeng?" Dandi kembali berbisik sambil mengarahkan dagunya kearah pintu. Aku melirik sekilas.
"Bukaaan! Udah jangan tanya-tanya lagi, Dan. Mending kamu stand by di pendopo sana," ujarku.
"Set-nya udah siap kok. Tinggal tunggu kalian siap," jelasnya, enggan pergi dari ruang riasku.
"Kenapa kok tanya-tanya Mas Ajeng to, Den?" tanya Mbak Uut.
"Dandi, mbak. Namaku Dandi. Dan, bukan den."
"Owalah wong kutho. Den itu singkatan dari Aden. Sama kayak saya manggil Mas Kinara, Mas Ajeng. Itu dari kata Nimas."
"Ooo...,"
Meskipun dia menjawab dengan 'o' tapi aku ragu dia benar-benar mengerti. Dandi ini teman kuliahku, hanya saja beda jurusan. Dia ambil jurusan media, program studi fotografi. Hari ini kuminta dia dan tim-nya untuk membuat video profil sanggar. Ini hari terakhirnya, kami setuju untuk sekalian mengambil foto keluarga. Keluarga kami yang tidak biasa.
Betul, keluarga kami memang tidak biasa. Bapakku yang kupanggil 'Rama' (baca: romo), mempunyai empat istri dan enam anak perempuan.
Istri pertamanya, Nyai Dhinar atau sering kusebut 'Ibu Ratu'. Dia mempunyai dua anak perempuan. Yang satu adalah anak pertama keluarga ini, Mbak Ajeng. Seandainya rumah kami adalah kerajaan, Mbak Ajeng inilah princess-nya, tokoh utamanya. Anak keduanya bernama Sasa, masih berusia enam tahun.
Istri keduanya bernama Nyai Asih. Beliau ibu kandungku yang sering kusebut sebagai 'Selir Satu'. Hanya aku anak kandungnya. Istri ketiga dan keempat Rama bernama Mega dan Padmi. Mereka berdua sebelumnya adalah sindennya Rama. Tidak dipanggil 'nyai' karena bukan garis keturunan keraton.
Jika saja keempat ibu dan kelima saudariku saling mengasihi sebagai satu keluarga, mungkin cinta di hidupku bisa meluber-luber tak terbendung. Tapi nyatanya tidak. Keluarga kami sama sekali tidak harmonis. Kompetisi antar saudari untuk mendapatkan perhatian Rama sama sengitnya dengan tingkah polah para Ibu untuk berlomba menjadi nyonya terbaik di rumah.
Rama, adalah seorang dalang tersohor di seluruh Jawa. Bahkan bisa dibilang di seluruh dunia. Beliau sudah malang melintang menjelajah berbagai negara untuk pertunjukkan wayang. Bahkan memiliki lisensi pendidik di beberapa negara. Di Indonesia sendiri, selain memiliki padepokan sebagai sanggar wayang, Romo merupakan guru besar jurusan pedalangan di kampusku. IKSURA, Institut Kesenian Surakarta.
Aku sendiri adalah sinden. Karena tumbuh besar di lingkungan seniman wayang, hidupku tak jauh dari pewayangan dan karawitan. Terlebih lagi, ibuku sangat kompetitif. Obsesi terbesar dalam hidupnya adalah menjadikanku lebih unggul dari Mbak Ajeng.
Mulai dari mengikutkanku ke lomba-lomba sejak kecil. Mengirimku ke sekolah kepribadian saat SMP. Melatihku memainkan seluruh alat musik gamelan. Sampai sekarang, membuatku kuliah di jurusan karawitan. Meski kemampuan dan jam terbangku jauh lebih dari mahasiswa lain, Ibu bersikeras untukku mendapatkan gelar sarjana seni. Biar bisa ngalahin Mbak Ajeng, katanya.
Sebagai pewaris pertama, Mbak Ajeng adalah kompetitor terbaik kami. Segala yang ada padanya menjadi standar bagi kami adik-adiknya. Wajahnya yang paling ayu, tutur kata dan kepribadian yang sempurna, serta tindak tanduk yang bagai tak bercela. Ditambah kemampuannya nyinden dan kelihaiannya memainkan gamelan menjadikannya tak tertandingi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalang Gadungan
RomanceKinara adalah seorang sinden muda yang masih kuliah di jurusan karawitan. Misinya adalah menikahi dalang, syarat mutlak dari ayahnya agar mendapat warisan. Rekta adalah seorang musisi indie rock alternatif yang sedang naik daun. Demi keluarganya, d...