"Ren, lu dapet nilai berapa?" Fara, teman sebangkunya ketika ujian saat ini.
"Lumayan empat lapan," jawab Rena.
"Aku dapat sembilan loh," sahut Fara sombong.
"Ho oh." Rena tidak begitu peduli, dia hanya fokus merapikan kertas contekan di lacinya. "Tak berguna."
Fara keluar dari kelas, menemui gerombolan teman temannya didepan kelas 4C. Rena hanya melihat apa yang dilakukan Fara, tapi dia tak mendengarnya. Selesai membereskan kertas kertas, ia keluar kelas. Ingin ke kantin.
Rena, anak yang jujur, tidak bigitu peduli oleh sekelilingnya, dan seorang penyendiri. Bukan penyendiri yang sendiri dilahap sepi, tapi kemana mana sendiri. Jika ada teman, mungkin dia tidak begitu meresponya dekat. Dia hanya tidak nyaman dengan perilaku anak lain yang menginjak apa yang dia dapat. Rena merasa bodoh, jelek, dan dekil.
Belum sampai tujuan, anak lain seperti menyindirnya.
"Itu Rena." Kata itu diikuti oleh suara tertawa anak anak yang tak wajar.
Rena menatap semuanya datar, seakan akan tak ada yang salah. Hingga datang kakak kelasnya mencegahnya ke kantin, dan memintainya uang.
"Tidak, ini untuk makanku siang ini," tolaknya.
"Alah, kamu kan sarapan. Aku senior disini, jadi kamu harus menuruti kemauanku."
Kakak kelas itu lumayang ganteng di mata bocil SD itu. Kulitnya putih, rajin dimata guru, dan dia anak orang terpandang di sekolahnya.
Rena memaksa pergi ke kantin, tapi tanggan bocah tinggi tersebut masih menghalangi Rena yang pendek.
Plakk, suara tamparan dari pipi Andi. Iya, kakak kelasnya tadi.
"Sakit woi." Andi membentak Rena, diikuti oleh dorongan tangannya.
Rena tak mau kalah, dia menyepak kaki Andi, dan menempeleng kepalanya. Andi menjambak rambutnya.
"Akhh..." Rena mengaduh minta dilepas. Andi tak mau melepasnya.
Suasana kacau setelah banyak siswa mengerubunginya. Bukan untuk memisahkan mereka, tapi untuk menyalahkan Rena.
"Eh itu bukanya bocah goblok ya." "Hahaha. . ." "Ayo Andi, kamu pasti bisa." "Hahaha" ". . ."
Rena sangat geram, ia mengingat ingat keberapa kalinya Andi meminta uang kepadanya dan diberikanya juga. Ini waktunya, Rena tidak tahan.
Jlebb. Rena menendang kaki kanan Andi, tetapi meleset kedalam.
Suatu rasa sakit di rasakan oleh Andi pada bawah perutnya. Dia jongkok, dan berteriak "dasar bocah jelek!!!" Sembari menekan perutnya.
"Siapa yang jelek? Kamu yang ngehadang aku. Kamu yang minta uang ke aku terus. Kamu yang bodoh!!! Anak bejat!" Suara itu bersumber dari mulut rena. Ia tak kuasa lagi.
Kejadian itu diketahui oleh guru mereka. Dibawalah mereka pada ruang kepala sekolah.
"Ren. Kamu itu perempuan, kok bisa bisanya sama kakak kelas kamu laki laki seperti ini? Ini tindakan berbahaya lo. Kamu itu-"
"Dia pak yang salah, Andi memaksa saya untuk memberikan uang, beberapa kali saya berikan. Tapi kali ini saya tidak mau selalu ditindas." Isak tangisnya pecah, ingusnya ditahanya keluar.
"Sudah jelas kamu yang menendang perutnya Andi." Kepala sekolah itu tatap membela Andi. "Sebenarnya siapa yang salah An?"
"Rena pak, saya cuma mau lewat. Dia menghalangi saya, saya nggak sengaja dorong dia, tapi dia malah memukul saya. Dia sering memoroti uang jajan saya pak." Andi berdrama.
"Nah, Ren. Ini nggak sekali loh, tiga hari lalu kamu bertengkar dengan Fara. Sekarang senior kamu, laki-laki lagi."
"Pak, saya nggak salah dari kemarin."
"Mari ikut bapak." Rena mengikuti jalan kepala sekolah tersebut. Di perintahkanya rena untuk berdiri di bawah tiang basket.
"An, tunggu anak ini, bapak mau cari barang." Andi pun mengikuti perintahnya.
Dudekatinya Rena "mampus lu, makanya jangan aneh aneh sama gue."
Rena hanya melihat sepatunya yang mulai terbakar matahari.
"Pegang anak itu An." Peritah kepala sekolah lagi.
Kepala sekolah itupun membawakanya tali pramuka, diikatkanya tangan Rena kebelakang. Diikatnya lagi tubuh Rena.
Mereka meninggalkan Rena. Adikkelasnya tak berani memandanginya secara langsung. Sebagian besar mengintip dari jendela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Redlotus Lake
Teen FictionKehidupan berubah setelah semuanya pergi meninggalkannya. Baru saja ia menginjak kelas lima Sekolah Dasar, tapi dia harus putus sekolah. Sudah tertera pada kalimat sebelumnya, kehidupan berubah setalah semuanya pergi meninggalkanya. Tidak ada lagi t...