Notemate

39 2 9
                                    

"Mimi!" Tanpa menoleh pun aku tahu siapa pemilik suara ini.

"Terima kasih" Laki-laki berambut coklat tebal di hadapanku ini mengembalikan buku catatan bahasa inggris milikku. Aku hanya mengangguk merespon ucapan terima kasihnya. Beginilah yang terjadi setiap pagi. Perth selalu saja meminjam catatanku karena ia tidak pernah memperhatikan pelajaran. Aku merasa seperti sekretarisnya yang harus mencatat semua pelajaran dan ia hanya akan meminjamnya untuk difotokopi. Aku bahkan ragu jika ia membaca catatan yang sudah ia fotokopi itu.

"Hei, nanti sepulang sekolah bisa temani aku ke toko buku?" Ucap laki-laki itu sambil duduk di sampingku. Aku tahu arah pembicaraan ini jika ia sudah membicarakan toko buku.

"Perth, bukankah seharusnya kamu mulai mengoleksi buku pelajaran? Bukannya komik konyolmu itu" Temanku satu ini memang sudah kehilangan akal. Pasalnya, kita sudah menginjak kelas 3 SMA dan ia masih saja tidak fokus dengan pelajaran. Ia hanya mempedulikan komik, komik dan komik.

"Oh ayolah. Besok aku akan mulai belajar" Ucap Perth dengan wajah memohonnya.

"Kamu bicara seperti itu setiap hari dan tidak ada satu pun ucapanmu yang menjadi kenyataan" Aku hanya bisa menghela napas kasar melihat kelakuan Perth. Ia tidak mengatakan sepatah kata pun dan memasang wajah memohonnya itu seolah membujukku untuk menemaninya.

"Singkirkan wajah memelasmu itu, Perth" Aku menyingkirkan wajahnya yang sama sekali tidak imut itu.

"Apa ini artinya kamu mau?" Tidak, jangan wajah itu lagi. Aku muak.

"Aku mau jika kamu fokus belajar hari ini" Aku menantangnya.

"Haha tidak ada yang lebih sulit dari ini?" Perth menantangku balik.

"Bilang saja tidak bisa" Ucapku sambil tersenyum meremehkan.

"Baiklah. Lihat saja nanti"

--

Pelajaran terakhir. Perth memang benar-benar gila tentang komik. Hanya demi buku bergambar itu, ia berusaha keras untuk fokus pada pelajaran hari ini. Sesekali ia menepuk pipinya beberapa kali untuk menghilangkan kantuk. Tak jarang juga ia ke kamar mandi untuk cuci muka. Aku kagum padanya. Demi hal yang ia suka, ia rela melakukan apa saja. Aku pikir itu bagus karena ia bisa memperbaiki nilainya yang terlampau rendah di semester terakhir ini.

Bel pulang sekolah berbunyi. Perth dengan semangat merapikan mejanya dan memasukkan semua buku dan peralatan tulis lainnya ke dalam tas.

"Akhirnya selesai juga" Perth meregangkan tubuhnya yang terlihat kaku. Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Perth yang seperti anak kecil.

"Ayo" Aku bisa lihat matanya yang berbinar dan perasaan bahagianya tidak sabar keluar dari gedung sekolah lalu melesat ke toko buku.

"Perth, kamu seperti anak kecil saja. Sabar sedikit. Aku masih merapikan bukuku. Apa kamu tidak lihat?"

"Cepatlah. Komik-komik itu tidak sabar bertemu denganku" Terkadang aku tidak percaya mempunyai teman seperti Perth. Maksudku, lihatlah dia. Ia seperti anak kecil dan aku ibunya yang selalu memanjakannya.

"Oke, oke. Ayo"

--

Disinilah kami setelah perjalanan 30 menit dari sekolah. Masih dengan seragam sekolah hari Selasa, kami memasuki toko buku. Perth yang sudah tidak sabar mempercepat langkahnya menuju rak koleksi komik. Lagi, aku hanya bisa menggelengkan kepala dan sedikit menunduk malu melihat kelakuan temanku satu ini.

"Perth, bisakah kamu bertingkah biasa saja? Aku sedikit malu datang denganmu kesini" Seperti yang kuduga, Perth sama sekali tidak tertarik dengan ucapanku. Matanya hanya tertuju pada tumpukan komik keluaran terbaru.

NotemateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang