EPISODE 1

33 3 6
                                    

        "Bu, saya rasa di sekolah kita ada kecurangan terselubung." Nadine meringis sendiri mendengar kalimat yang diucapkannya beberapa detik yang lalu. Rendy, si ketua kelas berkacamata menyarankan untuk menggunakan istilah itu. Awalnya Nadine tidak mau-tentu saja-, tapi si ketua kelas keras kepala itu bersikeras menyuruhnya. Dan pada akhirnya terucaplah kalimat ajaib itu.
Bu Len-wali kelas nadine-, mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk mengerjakan sesuatu.
"Maksud kamu?"
"Maksud saya...em..itu...ng ada yang janggal. Seperti dia melakukan sesuatu yang curang untuk...em..." tak terpikirkan olehnya, lidahnya akan kelu seperti ini.
"Untuk?"
"Untuk mendapatkan nilai yang bagus"
Mendadak hati Nadine menciut. Apa-apaan ini. Sebelumnya, beberapa hari yang lalu, ia sepakat bersama teman-temannya untuk mengadukan masalah ini kepada bu Len. Tapi hari ini ia merasa belum saatnya untuk mengadukan masalah ini.
"Dia? Siapa?" tanya bu Len sambil mencondongkan badannya kearah Nadine, untuk mendengarkan lebih jelas lagi.
Nadine tiba-tiba gugup. Ia dapat merasakan telapak tangannya basah oleh keringat. Ia juga menggigit bibirnya pertanda ia gugup.
"Emm...tidak. Tidak ada. Maksud saya..engg.. itu hanya kebiasaan murid saat ujian. Maafkan saya bu. Saya terlalu terbawa suasana. Saya... saya kembali ke kelas dulu. Maaf saya telah mengganggu waktu ibu. Permisi." Nadine terbata-bata dan cepat-cepat keluar dari ruang guru dan mendadak didalam perutnya seperti ada kupu-kupu.


                               ¤¤¤¤¤

"Gimana nad? Bu len ngomong apa?" Rendy yang sedari tadi menahan rasa penasarannya, akhirnya dapat bertanya leluasa kepada Nadine. Bukan apa-apa, hanya saja mereka tidak ingin seisi kelas tahu kalau mereka akan mengadukan masalah ini kepada wali kelas. Mereka curiga, bahwa yola, si anak guru mendapat perlakuan istimewa dalam hal nilai dan ujian. Kebetulan, mereka semua satu kelas dengan yola semenjak kelas 10. Rendy yang awal mulanya menyadari langsung mengajak sahabatnya untuk beraliansi. Beraliansi? Sebenarnya hanya sekelompok murid yang terbentuk saat mata pelajaran sejarah. Laura, nadine, rendy, farhan, arfan, dan kevin. Itu adalah mereka. Hari sudah menjelang sore, dan mereka berlima masih didalam kelas. Semua murid telah pulang ke rumah nya masing-masing. Laura harus pulang duluan karena mendadak ia ada urusan.

"Kita ga punya bukti kuat" ujar Nadine. Matanya menatap kosong ke depan.
"Bukti? Bukannya lo kemaren bilang kalau masalah bukti nanti belakangan aja. Yang penting kita tau busuknya permainan yola dan bilang sama guru."  Rendy berujar sambil menahan emosinya.
"Udahlah ren. Lo kenapa sih. Nanti juga dia yang dapet dosa. Udahlah. Ngapain sih kita bahas soal ini terus." Akhirnya kevin ikut bicara.
"Ada banyak orang yang mati-matian buat ngambil kembali haknya. Dan salah satunya gue." Sinis rendy.
Agar pertemuan hari ini tidak berakhir dengan baku hantam antara rendy dan kevin, nadine pun angkat bicara.
"Bukti fisik ren. Kita butuh bukti fisik. Kita ga bisa nuduh yola gitu aja cuma gara-gara insting lo. Makin kesini gue makin ragu. Kita ga pernah liat yola bawa contekan pas ujian. Bukannya yang harus kita bilangin ke guru itu yang bawa contekan ya?" Nadine sengaja menekan kan nadanya di kalimat terakhir sambil melirik farhan yang sedang bermain game.
"Gue bawa contekan  lu pada juga ngeliat jawabannya ke gue" ucap farhan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya.
"Alih-alih buat nyari bukti fisik, kenapa ga kita suruh aja yola ngakuin perbuatan dia?" Arfan berbicara. Semua mata langsung tertuju pada arfan. Cowok yang tidak banyak bicara dengan tinggi 175 cm membuat tawa teman-temannya meledak pada sore itu. Termasum farhan yang pada saat itu ia bilang sedang push rank.
"Lo gila ya"
"Emang. Kayaknya dia udah gila"
"Lo sakit? Kenapa ngomongnya ngelantur gitu"
Arfan mendengus mendengar ejekan teman-temannya.
"Daripada kita nyari bukti yang pasti susah banget, kenapa ga salah satu dari kita deketin dia. Dan nyadarin dia kalau perbuatan dia itu salah."
Mereka semua berfikir. Kecuali farhan tentu saja.
"Bener juga ya. Kalau mau nyari buktinya kita juga ga tau harus gimana. Gue setuju. Lo gimana ren?" Tanya nadine sambil menepuk pelan pundak rendy. Masih ada keragu-raguan diwajah rendy untuk menyetujui ide itu. Beberapa menit kemudian, akhirnya rendy pun memutuskan.
"Oke. Tapi siapa yang mau deketin yola? Kita ga mungkin bareng-barengkan deketin dia?"
"New problem!" Kevin menjentikkan jarinya.
"Ah, shit!!" Teriak farhan sambil mengacak-acak rambutnya. Kemungkinan besar ia pasti kalah.
"Kaget gue!" Ucap nadine sambil melempar botol kosong didekatnya dan mendarat mulus di kepala farhan. Farhan hanya meringis kecil.
"Gimana lo aja nad?" Tanya rendy mengalihkan pembicaraan. Nadine membulatkan matanya.
"Gak. Ga bisa gue. Nanti yang ada gue berantem sama dia. Males gue sama orang yang kayak gitu. Gemes sendiri aja liatnya"
"Apalagi gue" ucap rendy pelan. "Laura? Laura aja gimana?" Lanjutnya.
"Lo ga inget ya mereka pernah berantem dulu?" Kata kevin. Rendy menepuk dahinya. "Oh iya. Gue lupa"
"Farhan? Mungkin kalo cowok lebih cepet" kata nadine.
"Gak gak. Mei-mei gue bisa marah"
Ucap farhan sambil menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Mei-mei yang dimaksud farhan adalah pacarnya meika. Mei-mei itu panggilan kesayangannya saat ditanya kevin kenapa ia memanggil meika seperti itu. Saat itu reaksi kevin hanya bergidik ngeri.
"Kita butuh cowok yang ga banyak ngomong, cool gitu, biar sekali deket langsung berhasil. Ga butuh waktu banyak" kata kevin. Ketika mendengar kalimat 'cowok yang ga banyak ngomong, cool gitu' yang terlintas pertama di pikiran mereka adalah arfan.
"Lo aja fan. Muka lu juga lumayan" kata rendy.
"Iya fan. Lo aja. Lagian lo juga belum punya pacar kan. Jadi bebas gitu"
"Lo juga populer. Yola pasti langsung...ah pastilah."
Arfan mendengus. "Gak. Gue ga mau. Dah, gue pulang dulu. Nyokap udah nanyain" ucapnya sambil menyampirkan tasnya di bahu dan berlalu. Mereka hanya bisa menatap punggung arfan hingga menghilang.
"Lo harus bujuk dia sampe mau"
"Bener. Masalah ini tergantung lo sama arfan" kata nadine membenarkan ucapan farhan.
"Iya gue usahain" kata rendy. Rendy dan arfan sudah bersahabat sejak SMP. Makanya mereka menyuruh rendy untuk membujuknya. Tepat pada saat rendy menyelesaikan ucapannya, handphone nadine bergetar. Bapak negara. Papa nya menelfon. Sebelum menjawabnya, nadine melirik sekilas jam tangannya. Sudah jam 5.

"Iya pa?"
"Masih disekolah"
"Iya pa. Ini nadine udah mau pulang"
"Iya.."

"Bokap?" Tanya kevin saat melihat nadine berdiri. Nadine mengangguk.
"Gue pulang duluan ya"
"Bareng gue aja nad. Lagian ini udah sore" ucap kevin tiba-tiba. Nadine yang awalnya hendak memesan ojol tidak jadi. Bener juga kata kevin.
"Oke deh"
"Yaudah kalo gitu barengan aja ke parkiran" kata farhan sambil berdiri. Begitupun rendy.
"Eh iya gue lupa. Gue belum buang sampah. Kalian duluan aja, nanti gue nyusul" kata nadine saat melihat tong sampah kecil di pojok kelasnya. Tong sampah disediakan agar tidak ada sampah lagi di dalam laci. Dan setiap yang piket harus membuangnya ke tempat yang sudah disediakan, disamping sekolah.

                               ¤¤¤¤¤

"Cuma segini?" Cowok itu melempar beberapa bungkus rokok di hadapan adik kelasnya itu. Lemparan bungkus rokok itu mengejutkannya dan membuat kepalanya tertunduk lebih dalam lagi.
"JAWAB GUE!" bentak cowok itu. Mendengar bentakan kakak kelasnya itu, ikhsan otomatis mundur beberapa langkah dan badannya sedikit bergetar. Melihat itu, teman-teman si cowok tertawa kecil sambil menghisap rokok mereka.
"Ma-maaf kak. Uang saya hanya segitu." Terdengar ia berusaha untuk menahan air matanya.
Cowok itu-Orda- perlahan mendekati adik kelasnya yang tingginya hampir sama dengannya.
"Denger..." orda semakin memperkecil jarak antara dirinya dan ikhsan yang membuat ikhsan menahan nafas. "Gue ga mau ini terjadu lagi. Besok lo harus bawa lebih banyak lagi, lebih banyak dari target yang udah gue tentuin. Kalo engga.." orda memamerkan kepalan tangannya yang besar dan kuat, yang membuat ikhsan semakin terpojok. "Lo tau apa yang terjadi" sambungnya. "Tapi bukan berarti hari ini lo lolos gitu aja" ucapnya sambil tersenyum miring yang aneh. Tentu saja ikhsan tidak melihatnya. Sedangkan teman-teman orda, semakin semangat menghisap rokok mereka karena sebentar lagi mereka akan melihat pertunjukkan. Orda adalah anak taekwondo. Jadi ia sangat mahir berkelahi.
'Cekrek-cekrek' suara yang pasti berasal dari handphone itu muncul ketika ia akan menghantarkan kepalan tangannya ke perut ikhsan. Seketika orda langsung menatap teman-temannya dan terdengar suara tempat sampah kecil jatuh ke lantai yang diikuti derap kaki berlari menjauhi mereka. Sampahnya berhamburan keluar dan tentu saja teman-teman orda langsung berlari mengejarnya. Orda lalu mengumpat kata-kata kasar dan berbicara pada ikhsan. "Hari ini lo beruntung. Pulang sana!" Teriaknya. Tanpa disuruh dua kali pun, ikhsan langsung berlari meninggalkan kakak kelasnya itu. Orda langsung memungut bungkusan-bungkusan rokok yang bertebaran di tanah, lalu meninggalkan tempat pembuangan sampah di sekolahnya itu. Sejenak ia melihat tulisan di tempat sampah kecil itu. PUNYA XI MIA 2. Setelah itu ia pergi mencari teman-temannya.
"Siapa dia?" Tanya orda setelah akhirnya ia melihat teman-temannya du parkiran. Ia melihat nafas teman-temannya tersengal-sengal dan menunjuk mobil yang sudah menjauh dari mereka.
"Cewek...dia cewek" kata rio
"Cewek?" Orda mengernyitkan dahinya.
"Gua tau dia. Walaupun mukanya ga jelas, gua tau dia. Tapi gue lupa namanya"
Jawab yudha. Nafasnya kembali teratur.
"SIAPA!!" Teriak orda. Dia memang sangat mudah marah.
"Bentar gue inget dulu. Kalo ga salah, kalo ga salah...hmmm...oh iya" kata yudha menjentikkan jemarinya. "Pacarnya Arka!"
"Pacar arka? Arka ga punya pacar" jawab orda sambil memukul kepala yudha. Yudha meringis kecil. "Eh...iya ya. Mantannya arka. Yang adek kelas. Yang terakhir" orda menaikkan salah satu alisnya. Ia rasa ia tahu siapa pacar terakhir arka.

                               ¤¤¤¤¤



lanjut? jangan lupa komen yaa untuk kritik dan saran nya💕

OLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang