Bambang masih saja mendorong gerobaknya menyusuri ibu kota di siang yang terik ini. Padahal seharian ini ia sama sekali belum menemukan barang bekas yang kiranya bisa ia jual untuk membeli makanan. Dengan keringat membanjiri, sama sekali tidak menyurutkan tekadnya. Bambang percaya kalau memang rezeki pasti ada jalannya jika mau berusaha, seperti yang dilakukannya saat ini.
Langkahnya terhenti tepat di depan Sungai Ciliwung. Entah dorongan dari mana, tapi yang jelas Bambang sangat ingin beristirahat di sana sambil memandangi sungai yang airnya sudah tidak jernih lagi itu.
Lama Bambang mengamati sekitar sungai itu. Tapi tiba-tiba matanya memicing demi memperjelas penglihatannya. Di sana, di tengah sungai dan di antara banyaknya sampah yang mengapung, Bambang melihat ada sebuah keranjang dari rotan yang meliuk-liuk mengikuti arus air. Bukan keranjang itu yang membuat Bambang tertarik, tapi isi di dalamnya. Seperti ada kain batik untuk menutupi sesuatu. Jangan-jangan...
Ah, tidak mungkin. Bambang mengedikkan bahu tak peduli, lantas kembali mendorong gerobaknya. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, ia kembali berhenti. Bambang tidak salah dengar. Itu suara tangisan bayi. Dan suara itu berasal dari... Sungai Ciliwung.
"Astaghfirullah.."
Tanpa aba-aba Bambang langsung menceburkan diri ke sungai itu. Cukup lama ia bergelut dengan arus air yang deras. Tapi akhirnya ia bisa menggapai dan membawa keranjang itu ke daratan.
Bambang mengusap wajahnya yang basah, lalu membuka keranjang itu. Berharap jika bayi di dalamnya tetap selamat.
"Gusti, sopo to sing tegel mbuwak kowe nang kene, Nang? (Tuhan, siapa, sih, yang tega buang kamu di sini, Nak?)"
Bambang menengok ke sekitar. Sepertinya tidak ada yang melihatnya. Sebenarnya ia bingung mau diapakan bayi ini. Jika dibiarkan, nanti bahaya dan ia bisa saja dianggap penculik.
"Yo wis, kowe tenang wae yo. Kowe bakal aman karo aku. Uwis, ojo nangis to! (Ya sudah, kamu tenang saja, ya. Kamu akan aman bersama saya. Sudah, jangan nangis!)"
Bambang membawa keranjang berserta bayi itu ke dalam gerobaknya. Lalu segera pulang.
"Bang Mail, Mas Hasan, Mbak Lastri, kowe do nang ndi? (Kalian semua ada dimana?) Ada pengumuman, ada pengumuman!" teriak Bambang begitu tiba di rumahnya.
"Hei, Bambang. Sudah gila kau rupanya, siang-siang begini teriak macam orang tak waras!" protes Bang Mail yang berada tak jauh dari sana.
"Wedhus, kowe! (Kambing, kamu!) Aku ini mau kasih berita penting ke kalian." Bambang tak mau kalah.
Mail berdecak, "berita apa pula? Kau ini macam penyiar radio saja."
"Huss. Iki serius! Aku nemu bayi, Bang!"
"Jadi setelah menjadi pemulung kau juga mau jadi penculik, Bang. Tak 'da otak kau ini, bah."
"Ojo (jangan) asal ngomong ya. Aku ini warga Indonesia yang baik dan benar. Jadi ora (tidak) mungkin aku nyulik bayi. Bisa-bisa martabatku jadi rakyat Indonesia yang berbudi luhur bisa tercoreng," ucap Bambang saking gemasnya sampai berorasi.
"Terus mau kau apakan bayi ini? Macam mana kalau kita jual saja? Bisa jadi tajir melintir kita," jawab Mail sambil memainkan alisnya. Membuat Bambang ingin menjambak rambutnya yang gondrong itu sampai botak.
"Kampret! Tadi nuduh aku penculik, sekarang malah ngajak jual ini bayi. Kamu ini bagaimana, to?"
"Tenang, tenang! Mungkin bayi ini adalah rezeki untuk kita. Dan yang kita butuhkan adalah uang, jadi kita tukarkan saja bayi ini dengan uang."
"Ada apa, sih, kok ribut-ribut gini?" Hasan baru saja pulang dari memulung dan langsung disuguhkan oleh pemandangan seperti ini. Ia harus benar-benar menambah kesabaran demi meladeni kedua tetangga kamarnya itu.
"Pas 'kali ada Kang Hasan datang. Ini si Kambing Jawa habis menculik bayi, eh menemukan bayi di Sungai Ciliwung." Mail buru-buru meralat ucapannya saat mendapat pelototan dari Bambang.
"Bayi? Bayi siapa?" tanya Hasan kebingungan.
"Aku ya nggak tau. Aku nemu di Sungai Ciliwung tadi. Pasti sengaja dibuang." Bambang memperlihatkan bayi yang masih ada di dalam keranjang rotan.
"Ya sudah, ayo kita bawa ke kantor polisi."
"Kang Hasan ini macam mana? Nanti kita dituduh menculik," timpal Mail.
"Tapi bayi ini butuh perlindungan."
"Tapi, apa Pak Polisi sudah pasti bisa menemukan orang tuanya? Kalau tidak bayi ini bisa dibuang ke panti asuhan. Sama saja mereka tidak bisa bertemu dengan keluarganya," terang Bambang.
Hasan diam. Ia mencoba memikirkan ucapan kedua rekannya.
"Bu, sini!" panggil Hasan pada istrinya yang berada di dalam rumah.
"Ada apa, Pak?
"Ini, Bu, Bambang menemukan bayi di Sungai Ciliwung."
"Astaghfirullah... coba lihat," Lastri mengambil alih bayi yang ada digendongan suaminya.
"Pak, kalau tidak keberatan, Ibu ingin merawat anak ini. Kita sudah sepuluh tahun menikah dan belum punya anak. Mungkin bayi ini kiriman dari Allah untuk kita, Pak."
"Tapi Ibu yakin mau merawat bayi ini?"
"Iya, Pak. Boleh, kan?" tanya Lastri ragu. Tapi saat suaminya mengangguk ia tidak bisa menyembunyikan rasa kebahagiaan yang membuncah dalam hatinya.
"Saat pertama kali melihatnya, Bapak juga langsung sayang dengan bayi ini. Bapak ingin kelak dia menjadi anak yang berbudi baik, cerdas, dan sukses. Maka Bapak beri nama dia Budi Utomo."
787 words
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Bawah Naungan Koruptor
General FictionBudi Utomo hanyalah anak miskin yang bercita-cita menjadi seorang Presiden. Tapi ternyata banyak penghalang yang menghalangi langkahnya untuk meraih cita-citanya. Lalu apakah Budi berhasil meraih cita-citanya?