1. Kegundahan

190 32 2
                                    

Kedua tangan mungilnya tidak berhenti bergerak. Kuku-kuku yang sudah dia potong teratur dan tak pernah dia biarkan panjang semakin pendek akibat digigiti.

Penuh pertanyaan berkalimat awal bagaimana bagaimana terngiang di seluruh pusat otaknya.

Bagaimana jika...

Bagaimana jika...

Bagaimana jika...

"Dokter Huang, kamu sudah siap?"

Seruan introgatif membuat lelaki yang kini tengah tidak baik-baik saja itu menoleh.

"Ren, are you okay?"

Si penanya sudah tepat di depannya, meletakkan tangan ke dagu Renjun karena ingin menatap kedua netra milik si manis.

"Bagaimana ini? Aku ingin berhenti," cicitnya lirih sembari menunduk mengabaikan tangan yang masih menopang kepalanya untuk tegak.

"Hei, ada apa lagi?"

"Aku tidak sanggup, Na. Lihat-" pemuda itu menunjukkan tangannya yang tidak berhenti gemetar.

"-ini lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Bagaimana tangan ini nanti bisa membedah pasien jika tidak berhenti gemetar?"

"Renjun tatap aku."

Renjun setuju, dia tatap sang lawan bicara yang sedang memberikan kalimat-kalimat penenang untuknya.

"Kamu pasti bisa. Kamu akan mengoperasinya denganku. Kamu tinggal mengurus bagian jantungnya jika terjadi sesuatu sesuai prediksiku jika prediksiku tidak tepat, kamu bebas tugas. Hanya menemaniku, hanya itu. Kamu pasti bisa," beberapa kalimat final pemuda itu akhirnya bisa membuat Renjun sedikit tenang.

"Sekarang bersiaplah, operasi dimulai setengah jam lagi," pemuda itu kembali berbicara.

Tak lupa mengelus puncak rambut hitam legam Renjun sebelum dia pergi untuk masuk ke ruangannya kembali.

***

Renjun menguatkan dirinya, baju biru khas dokter yang selalu melekat kepadanya ketika akan operasi itu sudah dia kenakan.

Meski sudah siap, dia tak kunjung beranjak dari depan lokernya. Masih tetap berdiri mematung dengan pikiran berkelana.

Membuka pintu lokernya dan memadang salah satu objek yang menarik di depannya.

Objek berlabel alprazolam dia genggam.

"Tidak, tidak Huang Renjun," tangannya dia tarik dan segera menutup lokernya kembali lalu pergi dari sana.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Sret.

Huang Renjun membuka loker dan langsung menegak dua butir pil alprazolam.

"Dokter Huang, ayo segera!"

"Siap!"

Menarik napas dan membuangkan, Renjun beranjak dari sana.

***

"Na, kamu mengendongku lagi?"

Pemuda yang sedang memegang telapak tangan Renjun itu tidak kunjung menjawab.

"NA JAEMIN!!"

Renjun memang tak tahu diri dan tak tahu diuntung tapi dia tak mau jika pertanyaan bodohnya tidak kunjung dijawab.

"Aku tak akan pernah tega membiarkanmu seperti itu, Ren," jawaban itu bukanlah menjawab pertanyaan Renjun tapi pemuda manis itu puas dengan jawaban manusia yang tengah tidur di sampingnya.

"Bagaimana pasien tadi?" Renjun kembali bertanya ketika dirinya ingat jika dia merasa mual dan akhirnya pingsan saat akan membedah pasien.

"Berjalan dengan lancar. Kukira dia akan lebih cepat bangun daripada kekasihku ini bangun," sedikit jenaka Jaemin menjawab.

Renjun tidak menanggapi lelucon Jaemin karena dirinya malah menutupi wajahnya sendiri dengan kedua tangannya, "Aku memalukan."

"Tidak, kamu hebat, Ren. Yang terhebat," Jaemin tidak berusaha membuka telapak tangan Renjun yang sedang menutupi wajahnya sendiri, Jaemin memilih membiarkannya.

Mereka lama diam tapi dengan Jaemin yang sesekali menggumamkan sesuatu seperti sedang bernyanyi, berharap Renjun menjadi sedikit lebih baik dengan tangan Jaemin yang berada di atas pinggang Renjun, memeluknya.

"Na."

Panggilan Renjun membuat Jaemin yang semula menutup mata pun membukanya.

"Hmm?"

"Gara-gara aku kamu harus dipindah tugaskan ke sini. Aku sungguh merasa bersalah, mengapa kamu harus ikut?"

"Di sini juga enak. Lebih enak malah. Kamu kan tahu, aku tidak bisa jauh darimu?"

"Tapi Na, kamu membuang kesempatan berharga. Kamu kan berhasil mendapatkan rekomendasi dari profesor Kim untuk melanjutkan studimu. Makalah penelitianmu sungguh patut diacungi jempol!"

"Yuk tidur, Ren."

Tangan yang tadi berada di pinggangnya, Renjun usahakan untuk melepas.

"Sebelum terlalu lama di sini dan kesempatan itu terbuang, kamu harus kembali, Na. Temui profesor Kim," kukuh Renjun berucap.

"Aku sakit hati kamu mengusirku."

Wajah Jaemin disendukan agar terlihat dramatisir dan berharap Renjun tidak lagi membahas hal itu.

"Bukan begitu, hanya saja kamu akan menyesal."

Berganti tangan Renjun yang mengelus telapak tangan Jaemin.

"Aku tak pernah menyesal jika itu menyangkut dirimu, sayang."

***







Haii, mau pengakuan kalau aslinya aku belum nemuin penokohan jaemren ketika publish buku ini ((yang nentuin Renjun jadi apa/Jaemin jadi apa)) trus kemarin aku nonton sekilas kim 2 dan akhirnya nemu pencerahan.

Yes, dokter lagi. Entah sudah berapa fanfik berlatar belakang dunia kedokteran yang aku tulis, tapi kok tetep begini-begini saja ya, fokus utamanya ya tetep yang uwu uwu hukkss

Jika kalian pernah menonton Kim 2 mungkin tahu masalah Renjun ini, karena aku ambil masalah Renjun di sini dari masalah dokter Cha. Tetep enjoyy yaaa~~~

Ohiyaaa ini gak bakal panjang yeps karena diriku tetep berencana namatin waktu ultahnya Nana 😉

Senandika | jaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang