Strawberry and Peppermint

1.1K 119 24
                                    

Sang fajar yang telah menampakkan diri di langit biru, cahayanya menelusup di antara celah tirai membelai wajah sang empunya kamar. Kumandang kicau burung hingga dering jam alarm tak juga mampu membangunkan sesosok pemuda yang tengah berbaring, lelap di atas ranjangnya. Bergeming, dengan dadanya yang naik turun seiring tarikan napas teratur.

Perlahan ia menggeliat, bergumam dengan dahi berkernyit. Entah apa yang muncul di dalam mimpinya hingga pemuda itu tersentak, duduk dengan matanya yang membuka lebar. Membulat seakan melihat sesuatu yang mengejutkannya. Napasnya terengah-engah hingga ia menarik napas dalam, menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Meyakinkan dirinya sendiri jika itu hanyalah sekedar mimpi.

Tangannya mengusap rambut berwarna merah jambu miliknya, menyisiri helaian yang terasa kasar. Sepertinya ia agak menyesal telah mewarnai rambut hitam legamnya hanya karena ingin menyesuaikan penampilannya dengan toko roti yang dimilikinya. Lebih semarak dan cerah menurut salah seorang koki yang merupakan tangan kanan juga sahabatnya, Doyoung. Menenggak segelas air yang selalu disediakan di atas nakas, ia menenangkan dirinya sendiri.

Hari ini merupakan hari baru. Ia baru saja membuka toko roti dan kue miliknya sendiri. Dibantu Doyoung dari segi finansial dan juga tenaga, Taeyong, pemuda berambut merah jambu itu berhasil mendirikan toko roti dan kue yang didambakannya sedari dulu. Di atas hukum toko roti itu adalah milik Doyoung dan Taeyong dikarenakan peraturan yang masih kental berlaku di negara dan juga masyarakat.

Setelah membasuh tubuh, menyegarkan dirinya, pemuda itu duduk di kursi dalam dapurnya yang mungil. Masih mengenakan handuk, ia memakan sarapannya yang berupa nasi kepal dan sup kimchi sisa semalam. Tak lupa meminum sebutir pil supresan dan sebutir pil pengontrol siklus heat, sebuah kebiasaan yang tak boleh ia lupakan jika masih ingin bekerja tanpa disibukkan oleh dirinya yang mini. Taeyong mencuci piring dan gelas yang dipakainya kemudian kembali ke kamar, bersiap-siap untuk berangkat bekerja.

Mematut diri di cermin, Taeyong mengoleskan scent blocker di bawah telinga tempat kelenjarnya dan menyemprotkannya di tubuh telanjangnya. Setelah sekiranya cukup, pemuda itu mengenakan pakaiannya, memakai jaket bertudungnya. Ia siap menghadapi harinya.

Seperti biasa, Doyoung datang menjemputnya dengan mobilnya. Ah, suatu keistimewaan yang tak bisa Taeyong dapatkan sebagai seorang omega. Di mata hukum omega tak bisa memiliki barang berpajak atas namanya sendiri. Bisnis? Mobil? Motor? Rumah? Setidaknya omega itu harus menyertakan nama seorang alpha ataupun beta sebagai rekannya di atas legal. Hak-hak omega masih diperjuangkan hingga detik ini. Pada bulan lalu baru bergulir pasal hak kepemilikan tanah dan bangunan di mana omega dapat mencantumkan namanya secara tunggal tetapi belum diterapkan sepenuhnya, baru berlaku setidaknya paling cepat tiga bulan lagi.

Mengesalkan memang, omega itu bukan pilihan. Sama seperti alpha dan beta, omega dilahirkan dengan membawa karakteristik dalam DNA-nya. Tak mungkin mereka bisa menolak intisari kehidupan mereka sendiri. Semuanya akan tampak begitu jelas. Mulai dari fisik hingga mental mereka yang dapat dipengaruhi oleh heat, di mana hasrat mereka memuncak. Saat tubuh mereka menandakan jika mereka siap memiliki keturunan. Seringkali hal itu yang membuat Taeyong membenci dirinya sendiri. Ia merasa lemah karena mengikuti keinginan biologisnya, menginginkan untuk didominasi, diperlakukan bagai barang paling berharga dan rapuh.

"Taeyong?" Pemuda yang lebih tinggi di balik kemudi itu menatapnya khawatir.

Pemuda yang tersadar dari lamunannya itu mengerjap, menatap beta di sebelahnya. "Oh," ia melihat sekeliling. "Maaf," ujarnya sembari melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Rupanya ia telah sampai dan Doyoung berkali-kali memanggil namanya untuk turun.

Winwin, seorang omega pegawai mereka telah datang. Ia adalah seorang pemuda yang masih belia, terpaut dua tahun di bawah sepupunya, Doyoung. Dengan senyuman secerah mentari, pemuda itu turut mengganti pakaiannya dengan seragam toko mereka lengkap dengan celemek krem merah jambu. Tak lama datang Kun, seorang beta yang tampak sedikit canggung tetapi sangat ramah, ia pun segera masuk ke dapur menyusul ketiga orang lainnya.

Sweet ToothTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang