"Rumah bukan perihal ruang saja, ia bisa berwujud seseorang. Berpulang bukan kepada satu tempat saja, bisa juga kepada orang yang membuatmu merasa tepat."
__
Soera, gadis berkaca mata yang selalu pergi ke sebuah bukit dekat komplek rumahnya, Soera selalu mengunjungi bukit itu ketika harinya tidak baik. Dan hari ini, hari yang buruk untuk Soera, sebab orangtuanya lagi dan lagi bertengkar, suara tamparan dan kegaduhan lainnya selalu menjadi pengiring setiap teriakan yang mereka lontarkan, Soera mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam Rumah dan terduduk dibangku yang menghadap ke hamparan cahaya lampu warna warni di bawahnya, Soera melepas kaca mata nya, lalu melihat ke depan dengan pandangan kosong, menghirup udara malam yang sebenarnya tidak baik untuk tubuh, lama Soera melakukan hal yang sama berulang kali, sampai seseorang duduk disampingnya.
"Abimana Soeraja Leksana, kenapa ke tempat seperti ini malam-malam sendirian?" Tanpa harus menebak siapa yang duduk di sebelahnya Soera sudah mengenal suara itu, Prajudin Kertajana, tetangga rumahnya sekaligus mentornya untuk olimpiade fisika selama satu bulan. "Mencari ketenangan, untuk 15 menit yang lalu." Balas Soera sarkas.
"Ah, aku mengganggu mu sepertinya." Jana menoleh, tersenyum ke arah Soera yang juga menoleh kepadanya sambil berkata, "Tidak apa-apa, saya juga sudah mau pergi." Lalu berdiri, "Aku selalu penasaran, kenapa kau selalu kesini tiap jam 6 sore?" Gerakan Soera terhenti, "Kau ... memperhatikanku?"
"A-ah, tidak sengaja." balasnya memamerkan gigi putih nan rapi.
Soera menatap Juna dengan dahi mengeryit lalu memutuskan tetap duduk disana. "Kenapa kamu mau menjadi mentorku? Padahal aku tidak membutuhkannya."
"Uh, sakit sekali hatiku mendengar kalimat terakhir yabg kamu ucapkan." Jana memegangi dadanya, bersikap dramatis.
"Tidak jelas." bisik Soera.
"Kalau aku mengatakan yang sejujurnya, aku takut kamu malah menjauh."
"Kenapa? Kenapa begitu? Apa Papah mengancamu? Dia bicara apa sampai kamu menurut seperti ini?"
"Ohoo. Satu-persatu dong nanyanya."
"Tapi ya ... Anggap saja seperti itu."
"Aku tidak ingin menganggap sesuatu hal yang tidak jelas seperti ini."
"Yaa ... Terserah kamu saja mau bagaimana. Tapi ngomong-ngomong, harusnya kamu yang jawab pertanyaanku, kenapa malah terbalik?" Jana memanyunkan bibirnya.
"Memangnya tadi kamu bertanya apa?" tanya Soera memalingkan wajahnya. Ia ragu, menceritakan sebuah rahasia yang sudah ia simpan sejak bertahun-tahun kepada orang yang bahkan tidak terlalu dekat untuk berbicara secara informal. Namun disisi lain, Soera ingin, ia ingin bebannya sedikit terangkat dengan cara menumpahkan segala yang tersimpan dibenaknya.
"Ya sudah kalo kamu gak mau cerita, gak apa-apa." balas Jana, mengerti maksud dari pertanyaan Soera.
Jana berdiri, "Ayok, kita pulang." ujarnya sambil menatap Soera yang membeku mendengar kalimat yang Jana ucapkan.
"Pulang." lirih Soera yang samar masih terdengar oleh Jana. "Hmm? Kamu ngomong apa? Aku gak denger."
"Apa arti pulang?" tanya Soera, kini matanya menatap pada hamparan cahaya lampu yang menyala indah di bawah sana. Jana tertegun, tak mengira akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Soera, ia memilih kembali duduk di sampang gadis tersebut.
"Kembali ketempat yang kamu anggap Rumah," jawab Jana.
"Rumah? Jika Rumah yang kamu anggap tempat pulang ternyata tak senyaman itu bagaimana? Bagaimana jika Rumah tempatku berpulang malah ingin ku tinggalkan?." Gadis yang kini ia tatap wajahnya. Ucapannya, kata demi kata yang keluar dari mulutnya, dan tatapannya selalu berhasil membuat hati Jana terenyuh. Seolah jiwa yang terdapat di dalam tubuh itu sedang berteriak meminta tolong, meminta untuk ditemani, dan meminta untuk dicintai dengan tulus.
"Rumah bukan perihal ruang saja, ia bisa berwujud seseorang. Berpulang bukan kepada satu tempat saja, bisa juga kepada orang yang membuatmu merasa tepat." Untuk pertama kalinya, Soera mendengar sesuatu yang terasa lega ia dengar. Kalimat itu yang selalu Soera harapkan untuk didengar, dan kalimat itu terucap dari bibir seseorang yang selama ini ia anggap tidak berguna, sungguh kesalahan fatal.
Hatinya menghangat ketika manik legam itu menatapnya dengan dalam, seolah memberinya isyarat bahwa ia tidak sendirian. Jantungnya tak karuan, seperti tengah dikejar anjing komplek yang sedang kelaparan. Semuanya, semua yang Soera rasakan hari ini adalah yang pertama untuknya. Dan orang pertama yang membuatnya seperti ini adalah Prajudin Kertajana, mentor Olimpiadenya, tetangganya, orang yang ia anggap menyebalkan, dan tidak dia sukai. Semua itu berubah hanya dengan waktu 10 detik. Semesta selalu suka bercanda.
"Maukah kamu menjadi Rumahku?" untuk sekian kali, Jana dibuat tertegun oleh gadis yang usianya 4 tahun lebih muda darinya.
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Classic
RandomDunia punya banyak cerita, dan setiap cerita tentu memiliki makna