Aku remaja berusia 16 tahun, tak ada yang spesial dariku, aku juga tak menyukai sifat cengengku yang lama-lama terasa menjengkelkan. Bagaimana aku akan bertahan hidup bila hal-hal kecil dapat membuatku menangis.
Seringkali aku beranggapan, banyak orang yang ingin menjadi diriku, entah apa maksud anggapan itu, mungkin untuk menepis rasa insecurity dari diri, tapi semua orang pasti pernah berpikiran ingin menjadi orang lain. Aku sendiri pernah ingin menjadi Bu Riri, guru sejarahku yang imut dan baik hati. Pernah ingin menjadi si Noval yang hidupnya terlalu hanyut dalam kesantaian, tak mengerjakan PR pun tak apa. Ingin menjadi Seno yang semalaman nongkrong di rental PS tapi mudah untuknya mencapai ranking 1 di kelas. Dan yang sangat aku impikan adalah, ingin menjadi Wina yang hatinya lemah lembut, penyabar, dan tentunya tidak cengeng.
Sudah hampir 2 tahun aku bersekolah di jenjang SMA, tapi tak ada hal yang luar biasa sejauh ini, hari ke hari terus berjalan dengan kesan biasa. Sekolahku merupakan sekolah swasta, tak terlalu terkenal, tapi cukup diminati oleh anak buangan negeri yang tidak lolos masuk negeri karena zonasi atau nem yang tidak sesuai impian dan ekspektasi. Mereka rata-rata hanya mencari ketenaran dengan bersekolah di kawasan elite bersama orang-orang yang elite juga. Dan sekolahku ini, termasuk swasta elite menengah.
Pagi ini, seperti biasanya, aku beralih dari motor vespaku, memilih untuk berjalan kaki sebentar dan melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum. Sedikit mendung karena hari kamis, aku tau kamis akan selalu hujan, walaupun musim panas, kataku hujan akan selalu datang pada hari kamis. Ramalan bualan.
Derap langkah orang yang bertubrukan mengawali pagi, berjalan terburu-buru, entah kemana tujuannya. Tak biasanya seramai ini. Aku mangut-mangut karena melihat kebaikan seorang ibu muda yang memborong air mineral dari pedagang asongan di pinggir jalan. Klakson mobil bersautan, tidak sabaran, angkot yang berhenti mendadak seakan-akan jalan itu miliknya membuat beberapa orang geram. Sekarang aku tersudut di shelter menunggu angkutan umum menepi, sambil sesekali mendecak, dan melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri.
"Masa telat lagi sih?! Duh, mau jadi anak rajin aja susahnya kebangetan,"
"Kenapa?"
Aku melirik ke sebelah kanan lalu perlahan mendongak untuk menelisik wajah seseorang, menemukan wajah bengis laki-laki yang asing. Namun tidak dengan seragamnya. Sama, maksudku seragamnya sama dengan seragamku. Karena ini hari kamis jadi kami memakai seragam kotak-kotak khas sekolah, sesuai dengan jadwal penyeragaman.
"Kenapa apanya?" kataku ketus.
"Kenapa ngomong sendiri" jawabnya datar.
"Hih, siapa sih"
"Siapa apanya?" balasnya lagi
"Ya kamu"
"Galiat?"
"Maksudnya?"
"Galiat gue ini orang?"
"GAJELAS! M-mau naik..." ucapku seraya memberhentikan sebuah angkutan umum.
"Mau naik apa?"
"Apasih? Bukan ngomong ke kamu!"
"Oh,"
Aku menaiki angkutan, dan berlalu. Ada-ada saja, kenal saja tidak. Kenapa juga dia ikut campur dengan obrolanku. Aku menggeleng-gelengkan kepala berulang, mau kulupakan kejadian tadi, tapi bagiku terlalu ganjil untuk cepat dilupakan, terputar berkali-kali di pikiran, tidak mau terlupakan. Lamunanku terhenti saat angkutan mulai memasuki jalan utama sekolah, aku bersiap, lalu memberhentikannya tepat di depan gang sekolah. Masih harus berjalan lagi untuk sampai disekolah. Aku memerhatikan langkah kaki, tertunduk, sesekali mempercepat langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semestaku
Teen Fictionsiapa orang yang sekarang sedang menari-nari di benakmu? ------ semesta menungguku untuk jatuh cinta, namun aku enggan, ia yang jatuh cinta kepada segala kebahagianku.