Hari-hari Setelah Kepergianmu

22 1 9
                                    

Banyak orang berkata, Cintailah seseorang sepenuh hati , bukan sepenuh jiwa. Agar ketika dia hilang, kita cukup sakit hati. Bukan sakit jiwa.

Rana percaya itu. Seingatnya, dulu ia hanya mencintai Saka cukup sepenuh hati, semampu yang ia bisa. Sampai pada akhirnya ketika Saka pergi, Rana benar-benar merasa hidupnya hampa. Kosong. Sekarang setiap kali ia bangun pagi, ia tidak lagi menemukan notifikasi dari lelaki itu. Rana sudah tidak lagi mendapatkan sebaris pesan singkat dan telepon dari Saka hingga larut malam seperti sebelumnya.

Rana membenci Saka. Ia tidak suka ditinggalkan seperti ini. Hari-harinya jadi kelabu. Pagi ini, satu hari setelah Saka meninggalkannya tanpa alasan, Rana keluar menuju teras. Gerimis tipis turun membasahi tanah. Langit kelabu, persis seperti suasana hatinya. Rana lupa kalau jatuh itu sakit. Maka, jikalau waktu itu Rana tidak pernah menjatuhkan hati pada Saka, mungkin ia tidak akan jadi seperti ini.

Ternyata, Saka memang sama saja seperti kebanyakan orang. Datang, lalu pergi meninggalkan. Entah sekeras apa Rana memohon, lelaki itu tidak akan pernah peduli. Jahat.

Rana melangkah masuk menuju dapur. Ia menyeduh kopi hitam dalam cangkir tanpa tambahan gula. Dulu, Saka selalu marah ketika tau Rana minum kopi. "Dasar bandel! Jangan banyak minum kopi Rana!"

"Tapi ini cuman kopi susu biasa, enggak pahit.."
"Sama saja Na. Lambung mu itu nggak bisa 'ngonsumsi yang begituan! Sini deh aku yang minum kopinya!"

Waktu itu, Rana cuman bisa kesal (sekaligus tersenyum). Saka memang menyebalkan. Tapi baginya, tidak ada seorang pun yang bisa menyamai atau mungkin menggantikannya. Entah itu untuk saat ini atau mungkin selamanya. Karena dengan jatuh cinta pada Saka, itu sudah cukup berat bagi jiwanya. Sesak ketika harus menerima kenyataan bahwa, lelaki itu sudah pergi dari hidupnya. Membawa segenap perasaan yang masih utuh. Lalu dengan begitu, harus dengan siapa lagi ia membagi perasaan nya setelah ini?

Rana menegak kopi dalam cangkir nya. Anggap saja ini perayaan atas kepergian Saka. Lagipula, tidak ada lagi yang akan melarang Rana minum kopi sekarang. Kecuali ibunya sih..

***

Sepekan setelah kepergian Saka, Rana tetap murung. Ia hampir tidak pernah tersenyum. Orang-orang di sekitarnya banyak yang mencoba menghibur namun tetap saja nihil. Bahkan beberapa lagi berkata dengan nada yang nyaris tidak pernah ingin ia dengar.

"Percuma Na, lupain aja udah! Lagian masih banyak laki-laki lain diluar sana, yang lebih tampan, lebih baik dan bisa ada disampingmu setiap saat."
"Ikhlas Na, nggak usah dibawa beban. Lagian dia juga udah bahagia disana. Mau kamu mohon-mohon sampai berdarah air matamu, Saka nggak akan peduli!"

Bahkan ibunya sendiri juga bilang, "Saka nggak akan kembali. Kamu bukan bahagia nya Na, dengan atau tidak bersamanya, kamu harus tetap melanjutkan hidup."

Rana hanya bisa diam menanggapi semuanya. Mereka tidak akan pernah paham bagaimana rasanya. Kehilangan seseorang yang ia cinta tidak pernah masuk ke dalam daftar impiannya. Bahkan mencintai lelaki itu sekalipun. Kini sepeninggal Saka, Rana menjadi pendiam. Puluhan atau mungkin ratusan kenangan selalu muncul di otaknya, berputar-putar membentuk atmosfer yang membuat dadanya kian sesak.

Rana bahkan pernah sekali pergi ke warung mie ayam di tepi jalan. Dulu, Saka sering mengajaknya kesitu. Rana duduk di kursi yang selalu ia tempati bersama Saka. Ia tetap memesan dua mangkuk mie ayam. Ketika penjualnya bertanya, "Loh yang satu buat siapa? Bukannya Rana datang sendiri?"

"Buat Saka."

Hening sesaat.

"Rana.. Tidak ada Saka disini.."

(me) ranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang