Pebruari 1, 2013
Bel nyaring berbunyi memekak telinga, menandakan bahwa sekarang sudah waktunya untuk memasuki kelas masing-masing dan menjalankan proses belajar dan mengajar. Siswa(i) berlarian agar tidak terlambat memasuki ruangan.
Namun, berbeda halnya dengan gadis yang kini masih berada didepan gerbang yang sudah tertutup. Ia tidak takut, bahkan sama sekali tidak perduli akan di omeli guru yang sedang berjaga. Malah gadis tersebut hanya duduk santai didalam mobil mewahnya sambil memegang dan menatap benda kotak tipis ditangannya.
"Non, gerbang sudah tertutup. Apa saya minta satpam untuk membukanya?" tanya lelaki paruh baya tersebut kepada sang gadis. Gadis tersebut hanya mendongakkan wajahnya dan melirik spion tengah mobil, tanpa berkata apapun. Bahkan lelaki paruh baya tersebut enggan mengeluarkan suaranya untuk kedua kali, kalau-kalau nona mudanya akan bereaksi tidak menyenangkan.
'Bunda...'
Bukan, itu bukan suara lelaki paruh baya tadi. Itu adalah suara gadis yang kini duduk dikursi penumpang belakang. Gumaman lirih sang gadis membuat supir-nya menoleh dan menatap sang gadis dengan tatapan iba. Ia tahu, bahwa nonanya sangat merindukan ibu kandungnya. Lelaki paruh baya tersebut ingin membuka suara, namun lagi-lagi suaranya tenggelam dikerongkongan.
"Pak, jalan. Hari ini aku tidak ingin kesini" suara penuh perintah itu pun langsung membuat supirnya menjalannya mobil mewah yang kini ia kenakan.
Tatapannya kabur, walaupun demikian gadis itu masih mampu melihat pinggiran jalan yang penuh dengan gedung-gedung pencakar langit dibalik jendela mobil mewahnya.
"Non, kita pulang?" tanya sang supir
"Enggak, nanti turunin aku diperempatan itu ya, Pak" jawab gadis tersebut masih dengan suara tertahannya.
"Tapi non—" sela sang supir
"udah nurut aja, ayah gak akan marah kalau aku cuman bolos sehari" potong gadis tersebut dengan geraman yang membuat sang supir—pak Arman, terdiam.
Setelah mobilnya berhenti dengan benar dipinggir jalan, segera gadis tersebut beranjak dari duduknya dan keluar dari mobil mewah yang tadi membawanya tanpa sepatah kata pun.
Kemacetan kota Jakarta menarik perhatiannya, setelah memastikan aman dari pak Arman, ia berjalan melewati jalanan kecil setapak. Beberapa menit setelahnya sang gadis tiba diujung jalan menampilkan rumah kecil asri yang sangat jauh dari polusi-polusi kendaran umum, bermotor maupun mobil. Sebelum ia memasuki kawasan tersebut, ia sempat melirik tulisan yang tepat bergantung di depan pagar "PANTI ASUHAN KASIH".
"Anna!" pekik wanita paruh baya yang tadinya sedang bersantai. Merasa namanya disebut, gadis tadi menampilkan senyum terbaiknya dan melangkahkan kakinya untuk menghampiri wanita tadi.
"Ibu, Anna rindu" ucap gadis bernama Anna tersebut kepada sang pemilik panti asuhan. Mendengar ucapan gadis remaja didepannya ini, membuat dirinya memeluk sayang Anna. Gadis remaja yang kini berada dipelukannya saat ini sudah ia anggap sebagai anak kandungnya, sama seperti anak-anak yang ada dipanti asuhan ini.
Anna mengenal ibu Rana—pemilik panti asuhan sejak ia dan keluarganya sering berkunjung ke Panti Asuhan ini, untuk sekedar memberikan donatur. Waktu itu, Anna masih berusia lima tahun.
"Kakak," pandangan Anna yang sedang menatap ibu Rana pun terpecahkan oleh suara anak kecil yang kini sudah berdiri disampingnya sambil membawa boneka teddy berukuran sedang, yang hampir menyamai tinggi badannya. Anna tersenyum dan berjongkok agar bisa menyamakan tinggi dirinya dengan gadis kecil didepannya ini sambil mengusap lembut rambut gadis kecil itu.
"Halo Shany, apa kabarmu?" ucap Anna sambil mendekap erat tubuh gadis manis didepannya. "Shany baik kakak" balas gadis tersebut dengan senyum lugunya.
Setelah berbicara dengan Shany dan gadis kecil tadi meninggalkannya untuk ikut bergabung dengan anak-anak lain, Anna berdiri dan merapikan seragam sekolahnya yang kini agak berantakan akibat ia berjongkok, sehingga kini ia kembali berhadapan dengan ibu Rana yang menatapnya dengan wajah sedih sekaligus khawatir.
Kini Anna duduk manis diruangan pribadi ibu Rana, setelah tadi ibu Rana mengajaknya untuk masuk. Gadis remaja tersebut tidak membuka suaranya sama sekali semenjak beberapa menit ia berada diruangan ini, memainkan jemarinya gelisah, lalu menangkupkan telapak tangannya untuk menutupi sebagian wajahnya.
"Anna, ada apa?" wajah ibu Rana terlihat sedikit khawatir melihat anak dari sahabatnya terisak. Tangan kirinya mengusap lembut punggung rapuh milik Anna dan tangan kanannya memegang kedua tangan gadis tersebut.
"Aku hanya merindukan bunda, ibu. Aku ingin bertemu bunda, apa itu keinginan yang susah untuk ku dapatkan, bu?" Tangis gadis itu terdengar semakin kencang. Ibu Rana pun merengkuh tubuh Anna hangat sekedar untuk menyalurkan ketenangan.
"Bunda kamu akan sedih jika melihat anak bungsunya menangis, bunda sudah tenang Anna, bunda tidak akan bisa tenang jika melihat kamu sedih begini." Suara lembut itu membuat tangis sang gadis seketika terhenti. Mata sembabnya perlahan terbuka. Dengan tatapan kabur, ia masih bisa melihat wanita paruh baya didepannya dengan senyuman lembut yang ia miliki. Senyuman yang mampu membuat gadis remaja itu tenang dan merasa sejuk dihatinya.
Bunda Anna telah meninggal dunia tujuh tahun yang lalu, saat gadis tersebut berumur sembilan tahun, dikarenakan penyakit Tumor yang sudah tersebar diseluruh tubuhnya. Sedangkan Ayahnya, beliau menyibukkan diri semenjak kematian sang istri, walaupun Anna tahu jika ayahnya pasti masih berduka karena ditinggalkan orang yang setengah hidupnya diserahkan untuk mendamping dirinya.
Sebenarnya, Anna memiliki seorang kakak laki-laki. Namanya Danielle Christofer, tetapi sekarang kakaknya sedang kuliah di USA, mengejar Master of Business Administration. Kata ayahnya, Daniel memang harus mengejar gelar MBA tersebut agar bisa meneruskan perusahaan-perusahaan ayahnya.
Juga Anna memiliki seorang Mama tiri yang sangat baik, yang bisa menjaganya dengan baik. Anna sangat menyayangi Mama tirinya, ayahnya menikah lagi setelah dua tahun kematian bunda kandung mereka. Namun, hal tersebut disambut dengan baik oleh Anna dan Daniel, selagi ayahnya bisa bahagia mereka akan menyanggupinya, apalagi Mama Kirana—Mama tirinya sudah bersikap dengan baik. Hanya saja sekarang Mama Kirana sedang disibukkan dengan bisnis fashionnya di Paris.
"Lalu, kenapa kamu gak sekolah, An?" suara ibu Rana kembali menyentakkannya kedua nyata dan lagi-lagi gadis tersebut hanya menggeleng lemah. Seakan tahu jika gadis didepannya sedang ingin menenangkan diri, ibu Rana hanya tersenyum dan bangkit meninggalkan Anna, sekedar memberi waktu sendiri untuk gadis tersebut.
Hari itu, seharian penuh Anna gunakan untuk bermain dan bercanda gurau bersama anak-anak panti, untuk menghapus rasa sedihnya. Walau hal tersebut hanya hilang sementara waktu, dirinya seakan tidak perduli.
----------------------------------------------------------------------------
Hai, enjoy.
Love, Widya Kristianti
KAMU SEDANG MEMBACA
Logika dan Hati
Romance"Jika hati dapat memilih, apa yang akan hati kamu pilih? Hanya ada dua pilihan, yaitu: Jatuh cinta kepada orang yang mencintaimu tapi kamu tidak mencintainya, atau jatuh cinta kepada orang yang hanya kamu cintai tapi dia tidak mencintaimu."