Mei 2020
Aku terkesiap. Ku tatap sekelilingku yang nampak sumringah dengan hiasan kembang warna-warni.
Merah-kuning-hijau. Merah-kuning-hijau. Merah. Merah. Kuning. Hijau.
Sebenarnya, ini acara apa?
"Ro! Ngapain ndekem di situ sih?! Ayok, acaranya udah mau mulai!"
"Hah?"
"Hah heh hah hoh. Udah ga zaman jualan keong. Buruan hei!"
Aku semakin bingung dengan pemandangan di depanku. Mengapa semua orang nampak sangat sehat dan gembira? Mengapa semua bebas berkeliaran dan berkumpul di hall penuh rangkaian bunga dengan kebaya manis dan jas keren tanpa menggunakan selembar masker sekalipun? Sekali lagi, ini acara apa sih?!
"Ro! Yaelah, buruan! Ntar kita ga dapet spot asik buat dengerin wejangan terakhir Pak Kepala Sekolah!"
Aku terdiam saja saat Fahira menarikku menuju kerumunan. Masih sibuk bertanya dalam hati. Ya ampun! Sejak kapan pula aku menggunakan kebaya kuning ini? Sejak kapan juga dileherku sudah tergantung benda ini ...
"Hira."
"Apa?"
"Ini acara apaan?"
"Ro, kamu ga bercanda kan tanya begitu? Jelas jelas acara wisuda kita. Perpisahan woi. Bukannya sedih sedih kamu malah tanya ga jelas begitu."
"Ta-tapi corona? Masker? Ini kok kalian kayak santai aja ngumpul disatu tempat tanpa pake APD?"
"Hah? Kamu ngomong apaan dah, Ro? Corona apa? Temennya coro?"
"Kamu gausa sok ga tau gitu ya, Ra. Gausa dibuat bercandaan juga. Ga lucu."
"Idih. Ga ngaca kamu. Padahal sendirinya yang ga jelas," Fahira menggerutu sebal.
Aku terdiam. Loh, apanya yang ga jelas coba? Aku tidak sedang mengigau soal Indonesia sedang mengalami wabah pandemik COVID19 kan? Iya kan?
Namun, belum juga kulanjutkan bertanya pada Fahira, suara karismatik Pak Kepala Sekolah mampir ditelinga.
"Anak-anakku, Bapak ucapkan selamat karena kalian sudah berhasil melewati ujian ini. Bapak tidak akan berbusa bilang soal ujian ini adalah secuil ujian dari banyaknya ujian hidup, tapi Bapak akan bilang soal sungguh terima kasih karena sudah mau berjuang dan menahan diri sejauh ini.
Menahan diri untuk tidak terlalu lama bermain karena ingat masih mempunyai kewajiban untuk belajar. Menahan diri untuk tidak meninggalkan perkerjaan rumah karena ingat hal itu merupakan kewajiban seorang pelajar. Menahan diri untuk tidak kabur dari kelas dan mendengarkan guru karena kalian paham bukankah tugas seorang pelajar memang itu?
Terima kasih sudah membuat sekolah kita hidup dengan segala aktivitas kalian. Terima kasih sudah mau mengikuti seluruh kegiatan sekolah, walau yah, kadang begitu membosankan bukan? Terima kasih sudah mau berteman dengan satu sama lain. Sungguh, Bapak ucapkan terima kasih.
Sebelum Bapak akhiri cuap-cuap ini, Bapak berpesan untuk hiduplah dengan sederhana dan perasaan cukup. Cukup dengan apa yang kamu miliki saat ini. Boleh bermimpi, namun ingatlah salah satu lirik lagu Isyana Sarasvati, "Bila tak kau dapat apa yang kau ingin bukan berarti kau telah usai."
Nasihat hidup ada banyak sekali, Nak. Dan hidup dengan perasaan cukup serta ambisi yang sehat mungkin adalah salah satunya.Terakhir, mari beri satu tepukan hangat pada pundak sambil rapalkan dalam hati, "Hai diri. Terima kasih sudah menemani hingga detik ini. Ke depannya, kita berjuang bersama terus yuk."
Sekian. Selamat bertumbuh Anak-Anakku."
Hall gelap total setelah Bapak Kepala Sekolah menutup sambutannya. Hening menggantung. Namun, setelah lagu monokrom dari Tulus memenuhi ruangan, satu-dua isak tangis muncul.
Yah, mau bagaimanapun kami ini sudah berjuang dan bertumbuh bersama selama tiga tahun bukan?
Ro sudah tidak peduli dengan kebingungannya. Bodo amat. Jika sudah saatnya menangis, menangis saja bukan? Selama menangis masih gratis, tanpa dipungut biaya.
----
Hal pertama yang kulihat saat bangun tidur adalah kebaya kuning yang tergantung digagang pintu lemari baju. Aku menggaruk kepalaku. Merasa bingung untuk yang kesekian kalinya.
"Yang semalam itu mimpi bukan ya?"
Masih bingung dengan kebenaran acara wisuda tadi malam, aku baru saja menemukan fakta bahwa wajahku bengkak dengan bekas air mata yang belum kering. Jadi, ini semua nyata? Untuk memastikannya, ku raih telepon selulerku dan ku nyalakan data. Tiga pesan dari Fahira muncul. Cepat-cepat ku buka pesan itu.
"Ro, apaan banget dah. Masa aku mimpi kita ada perpisahan. Corona gini?!"
Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut.
"Tapi aku bersyukur Pak Kepala Sekolah ngasih wejangan biar kita hidup dengan rasa cukup dan sederhana. Plis ak terharu banget. Huhu."
"Btw, kamu belum bangun yah? Kebo banget."
Aku mengernyitkan dahi. Sebentar, jadi semua ini hanya mimpi? Mimpi?! Tapi, kalo mimpi kenapa mimpiku dan mimpi Fahira bisa sama ya?!
KAMU SEDANG MEMBACA
05.29.20
Short StoryIni aneh sekali. Benar jika kamu bilang masa sekolahku telah usai. Benar juga jika kamu bilang sekolahku sudah mengumumkan perihal kelulusan--yang pada akhirnya memicu keributan di grup angkatan karena beberapa oknum meminta sekolah mengadakan wisud...