Kami Nirwana, untuk Bunda Mala.Fajar menyambut hari,
Bunda menjemput kami.
Langit tak terbatasi tiang,
Kasih mu tak sebatas sayang.
Berlabuh dalam pelik haru,
Rasa rindu akan ruang temu.
Padang bintang, Padang panjang...
Lepas lembayung awan legam terbentang.
Hanya tawa yang mengisi usang,
Lepas kelabu, bintang semakin gemintang.
Di ujung jalan nanti,
Bunda datang dengan senyum terpatri.
Fajar menyambut hari...
Bunda selalu sayang kami.
❀❀❀
Malaka—Kemala, Karsa.Dua puluh tahun, bukan perjalanan yang singkat. Mengarungi bahtera rumah tangga memang tidak semudah membalikan halaman sebuah novel dengan tema percintaan.
Satu tahun, bubuhan cinta sedang ranum-ranumnya.
Sampai tahun ketiga, kebahagiaan semakin berlimpah karena hadirnya sang buah cinta.
Namun, semuanya memang tidak semudah yang diterka. Ketika bahagia hanya tinggal pada puncaknya, sang pujaan hati pergi tanpa janji untuk dapat kembali berjumpa.
Pada akhirnya, dia, wanita dengan dua remaja yang beranjak dewasa. Bertahan satu sama lainnya tanpa figur sosok Ayah lagi di setiap harinya.
Namanya Kemala Adinirwana, wanita yang menjalin ikatan semesta dengan pria bernama Jagakarsa Udayana. Lahir di Jakarta, pertengahan bulan kedelapan tepatnya.
Kamis, tiga hari sebelum hari ulang tahunnya. Separuh hidup Bunda Mala pergi. Tanpa pamit, tanpa pernah cerita.
Kalimat terakhir beliau adalah saat ketiganya sedang berkumpul memandang langit penuh bintang di teras rumah.
"Besok, Ayah mau kalian baik-baik saja. Apapun yang terjadi, semuanya sudah tertanda di lembaran milik sang pencipta."
Suri, selaku anak tertua berpikir kalau saja sang Ayah tengah memberikan semangat untuknya agar menerima apapun yang terjadi setelah nanti, hasil SNMPTN nya diumumkan.
Namun, ternyata bukan. Ayah rupanya tengah melakukan salam perpisahan kepada keluarga tercintanya.
Erlang sama sekali tidak sampai kesana. Baginya, Ayah memang sekuat itu dan tidak akan pergi sebelum melihat dirinya berada pada garis finish dari sebuah perjalanan karir yang sedang dibangunnya.
Bendera kuning, karangan bunga bertuliskan bela sungkawa, pun ucapan dukacita telah mengisi sebagian halaman rumah mereka. Yang hadir serentak memakai pakaian hitam, dengan raut sendu yang tergambar di wajah mereka semua.
Bunda Mala lah satu-satunya orang yang berbeda. Setelan putih, serta sampiran selendang dengan warna yang sama membalut tubuh wanita tersebut.
Teringat dulu, pada permintaan kecil sang suami.
"Aku mau kamu selalu pakai baju warna putih dalam peringatan, perayaan atau apapun itu nanti. Janji ya, Mala."
Jalannya gontai, namun berusaha tegar. Perlahan duduk di samping pria kesayangannya, sengaja diapit oleh kedua orang anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jelema Hampa
General Fiction❝Secelumik kisah tentang dia, saat rumah tak lagi seramai dulu kala...❞ ©Kasenjana, 2020.