Note : Semua teori yang aku pakai disini murni sesuai pemikiranku. Sama sekali engga ada hubungannya sama teori yang 'semisal' bener-bener ada atau mirip dan udah terbukti di dunia nyata.
.
.
Pukul sepuluh malam. Setiap insan yang ingin segera mengakhiri harinya terlelap dengan dengkuran tipis yang memenuhi setiap sudut ruang kamarnya. Mata mereka terpejam dengan damai, berharap semoga hari esok akan ada hal baik yang menunggunya.
Tapi justru tidak dengan seorang anak lelaki kecil berumur tujuh tahun yang sedang duduk termangu di kursi plastik seberang jalan. Dia menatap nanar jalanan kota yang masih nampak hidup selarut ini. Matanya berkedip saat lampu kendaraan menyinari matanya untuk sepersekian detik.
Dia menunggu. Menunggu seseorang yang saat itu telah mengucap janji untuk segera kembali menemuinya. Dia mendengarnya jelas pada malam terakhir dia dapat menatap wajah teduh seseorang yang amat ia sayangi itu. Ia hanya ingin kembali pulang ke rumah dengan rengkuhan hangat yang selalu ia dapatkan seperti hari-hari sebelumnya.
Tapi bagaimana caranya pulang? Dia bahkan tidak ingat arah jalan yang dilalui untuk menuju rumah. Anak itu menunduk. Menatap sepatu putihnya yang sedikit kotor. Dia mengayun pelan kaki mungilnya. Pulang? Bahkan setelah bertahun-tahun dia hidup dengan seseorang yang merawatnya dengan telaten itu, dia tetap tidak dapat mengenal definisi pulang.
🍂
Namanya Huang Renjun. Sosok laki-laki berusia lima belas tahun yang tumbuh bersama kerasnya kehidupan. Memang, untuk saat ini dia tidak pernah lagi merasakan kehangatan dari sosok seorang bunda atau ayah yang selalu menemani setiap momen di hidupnya seperti orang lain. Tapi setidaknya, dia masih memiliki kakak sepupu jauh yang masih bisa merawatnya dengan baik. Renjun sudah sangat bersyukur dengan keadaannya sekarang. Setidaknya dia tidak berubah menjadi monster di jalanan ibukota yang kerap kali ia lihat sepulang sekolah.
Pukul delapan malam. Renjun melirik jam dinding di kamarnya. Dia segera bangkit dari duduknya dan menutup buku pelajaran yang sedang ia baca. Langkahnya terhenti di ruang televisi saat melihat kakak sepupunya nampak terlelap di sofa depan. Renjun berbalik arah ke kamarnya, kemudian keluar lagi dengan membawa satu buah selimut dan bantal di tangannya.
Setelah dia selesai mengurus kakaknya, dia segera membuka daun pintu. Berjalan keluar di tengah dinginnya angin malam tanpa jaket yang menyelimuti tubuhnya. Tidak apa, hawa dingin bukan masalah besar baginya.
Kling.
Bunyi lembut dari lonceng pintu minimarket tua itu berbunyi. Renjun segera masuk. Mengabaikan beberapa pengunjung didalam minimarket. Tanpa basa-basi, dia sudah berjalan ke kasir dengan pakaian khas pegawai minimarket.
"Ah, kau sudah datang rupanya. Kalau begitu aku pergi dulu," ujar seorang wanita berumur dua puluh tahunan itu. Perawakannya tinggi, rambutnya dikucir kuda persis seperti saat awal Renjun bertemu dengannya. Dia salah satu pegawai minimarket yang menyeleksi Renjun saat penerimaan pegawai baru.
Renjun mengangguk sopan menanggapi sapaan pegawai seniornya itu.
Sejujurnya, sudah berulang kali Renjun tidak diperbolehkan bekerja oleh kakak sepupunya. Hanya saja, Renjun tidak bisa tinggal diam menikmati lezatnya makanan yang ia santap setiap hari tanpa ada sedikitpun tetes keringat yang dia hasilkan dibalik makanan itu.
Akhirnya, setelah berulang kali memohon dan berulang kali pula lontaran kalimat penolakan diberikan, dia diperbolehkan membantu kakaknya itu bekerja. Dengan syarat Renjun tidak boleh meninggalkan sekolahnya dan tetap menjaga kondisi fisiknya sendiri, tentu saja. Kakak sepupunya benar-benar teliti dalam merawatnya. Dia tidak ingin terlalu banyak mengambil resiko setelah kejadian buruk menimpa Renjun beberapa tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth
FanfictionSetidaknya, jika memang merasa tidak pantas untuk hidup didunia ini, kau dapat mati dengan indah sembari menggengam hakikat kehidupan yang kau pahami. - Huang Renjun Fanfiction 🍂 ©skyfoamm