Awan hitam terhihat menghiasi langit. Rintik rintik hujan berserta semilir angin lembut mengiringi deru mobilku pagi ini. Ah ... Bulan Januari memang selalu seperti ini bukan?, Bumi Indonesia di anugrahi musim penghujan nan penuh berkah mengawali tahun.
Dua puluh menit menempuh perjalanan yang di bumbui macet pagi khas kota, akhirnya aku sampai di bangunan bercat putih dengan plang besar bertuliskan RUMAH SAKIT JIWA DAERAH. Kuparkirkan mobil dan segara melangkah melewati lorong-lorong panjang dengan beberapa sapa dan senyum dari para perawat, OB, dan juga mereka. Para pasien yang sudah normal kondisi kejiwaannya tapi tetap bertahan di tempat ini karna memang tak punya tempat untuk kembali. Ya ... Mereka di buang untuk alasan yang sederhana, dianggap cacat.
***
"Hallo dok, ada pasien baru di UGD. Kondisi pasien sedang mengamuk sekarang." Ucap suara perawat disebrang telpon.
"Tolong jangan langsung melakukan tindakan restrain. Lakukan pendekatan terlebih dahulu dengan tetap waspada terhadap kemungkinan serangan pasien. Saya akan segera menuju UGD."
Setelah meletakan gagang telpon, aku melangkah menuju UGD. Sesampainya didepan pintu, seorang perawat menghampiri ku dan memberikan beberapa lembar kertas yang berisi data pasien. Kuamati perlahan, dan kemudian langsung masuk untuk melihat kondisi pasien.
Aku terkejut saat melihat pasien pria yang kini tengah meronta-ronta dan marah kepada para perawat yang menahan tubuhnya. Kuatur nafas perlahan dan segera mendekatinya.
"Tuan Devan bisa dengarkan apa yang saya ucapakan?" aku menatap iris matanya yang kecoklatan itu.
"Tuan Devan ingin keluar? Tolong tuan ikuti perintah saya dulu ya." Ucapku sehalus mungkin. Mencoba membangun kerjasama agar emosinya sedikit mereda.
"Anda siapa? berani memerintah saya. Saya mau keluar!".Dia malah makin meronta. Perawat terlihat mulai kewalahan menahan tubuhnya.
"Dok, apa tidak sebaiknya pasien di restrain saja dulu. Sepertinya pasien sulit diajak untuk bekerja sama." Ucap perawat yang tengah menahan lengan kanannya.
Tak kuhiraukan.
"Tuan Devan, dengarkan saya yah. Tuan boleh keluar asalkan minum obat dulu, okey? Setelah itu kami tidak akan menahan Tuan lagi." Kucoba membangun kerjasama untuk kedua kalinya.
Dia terdiam dan tak menjawab. Tubuhnya pun perlahan mulai tenang. Segera ku sodorkan obat dan air minum, kemudian Kubantu dia untuk meneguknya. Menit berikutnya dia tertidur.
Kupandangi wajah itu, wajah yang bertahun-tahun lamanya tak pernah lepas dari ingatan. Wajah yang sampai hari ini membuatku tak mampu mencoba membuka hati untuk Yang lain karna memang masih ada sosoknya terjebak disana.
"Bawa pasien ke ruang isolasi. Nanti, saya sendiri yang akan memantau perkembangannya. Khusus untuk pasien yang ini."
***
Ingatanku kembali ke masa itu, masa dimana aku mengenal pria bernama Ryan Devanio Pratama. Ketua OSIS yang sering jadi perbincangan siswi siswi karna memang prestasi dan juga sikap humble-nya.
Sebagai adik kelas, aku cukup kagum dengan sosoknya yang cerdas. Kami saling kenal saat sama sama menjadi peserta dalam olimpiade Sains mewakili sekolah di tingkat nasional. Keakraban mulai terjalin sejak itu. Kami Sering berdiskusi bersama di perpustakaan sekolah dan terkadang beberapa kali pulang terlambat hanya untuk sekedar melakukan eksperimen-eksperimen ala anak IPA.
Aku mulai menyukainya. Dalam diam aku menaruh rasa yang ku anggap lebih dari sekedar teman. menyimpan sosoknya dalam relung hati tanpa dia sadari. Menikmati setiap moment ketika dia menatap mataku intens sambil menjelaskan rumus rumus kimia itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Kedua
Teen FictionMelia Ramadhani seorang psikiater yang dipertemukan dengan seorang pasien pria yang ternyata dari masa lalunya. Pria yang membuatnya pernah jatuh cinta semasa SMA kemudian harus terpisah karna sesuatu alasan.