Jangan Sentuh part 2

57 5 57
                                    

Dahan Kiri, Farman. Ini adalah ibukota provinsi, maka tak heran kalau kantor gubernur itu juga berada di sini. Tujuanku adalah ke kantor walikota, atau kantor imigrasi, sebenarnya aku sendiri tidak yakin. Aku tidak pernah melakukan perjalanan keluar provinsi sebelumnya, kecuali saat bertugas di Arastes.

Atau mungkin tidak? Arastes memang dulunya adalah bagian dari provinsi Dahan Atas, bagian kota Arias. Kota itu menghilang dimakan oleh Manifestasi Kebencian lima puluh tahun sebelum diriku lahir, sekitar tujuh puluh satu tahun yang lalu.

Melihat tangan kananku, aku mulai merasakan sakit dari luka yang dibuat dengan bodohnya itu. Saat aku berpikir kalau lebih baik ke puskesmas atau rumah sakit, aku menjilati bekas luka itu. Darahku mungkin berjatuhan sepanjang jalan, tapi aku menaruh sedikit sekali kepedulian pada hal itu.

Hari sudah sore, lebih baik mencari penginapan sebelum aku terpaksa harus tidur dijalan.

Berbicara soal tidur di jalan. Selama perjalanan menuju kemah Arastes, kami menghabiskan nyaris lima malam di jalan, karena salah satu kuda terlepas. Untungnya ada Harry, peringkat tiga lulusan calon kesatria terbaik, satu peringkat di atasku. Ah, ingatan yang terjadi sebulan yang lalu itu saja aku ingat, kenapa aku tidak mengingat perihal satu detik dari kejadian di malam itu?

Jalanan sore itu masih berisi 'manusia' yang kadang membuatku menatap lantai jalan. Suara bising mesin kendaraan juga masih terdengar, tapi lebih sedikit dan jarang. Sedikit, aku juga bisa mendengar suara motor yang dibuat menggelegar dengan sengaja, tipikal anak muda zaman sekarang.

Namun, sungguh, suara motor itu semakin menggelegar, dan saat aku sadar, orang-orang berteriak, "Minggir!" Hal itu membuatku berbalik perlahan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Bagaimanapun, aku sama sekali tidak senang pada hal itu. Motor itu ditumpangi dua orang, pengemudinya dengan lincah berbelok menghindariku, tapi orang yang duduk di belakangnya justru menggapai tangannya pada tas besarku. Bahu aku keraskan, tapi perhitunganku salah dan aku terjatuh, mereka berhasil menjambret tasku, mengambil apapun beserta benda di dalamnya.

Aku berkonsentrasi untuk merasakan natural. Natural di sini lebih sedikit dari Pusat, dan itu membuatku tidak bisa terlalu jauh mencapai benda di dalam tasku itu. Namun, aku berhasil sampai di sana, dan beberapa saat kemudian aku mendengar suara yang cukup besar tak jauh dari sana.

Aku berhasil. Ini cukup menyebalkan karena aku tidak bisa merasakan natural semudah saat aku berada di Pusat, terlebih di gunung Haraetha, tapi aku tetap berhasil membuatnya bergerak dan aku cukup puas pada hal itu.

Dua belokan, dan aku telah menemukan sebuah kail tertusuk pada tembok bata sebuah bangunan. Seorang laki-laki, dengan satu tangan sebuah tentakel, mencoba menariknya. Saat dia melihatku, dia menyabit udara dengan tentakelnya ke sembarang arah padaku. "Jangan mendekat!" teriaknya dengan wajah yang nampak ketakutan.

Saat melihat logo di pakaian kulitnya yang lusuh, aku paham bagaimana dia mengenalku. Nampaknya kegagalan mereka di Pusat cukup meninggalkan luka yang dalam yang ... baiklah, itu saja, aku sungguh tidak menerima perlakuan anggota Daheer ini.

Aku maju. "Jangan mendekat!" dia kembali berteriak padaku, "Kenapa kau ada di sini?!"

Dia sekarang mengarahkan tentakel tangannya lurus ke arah wajahku. Aku sedikit berpindah ke sisi kanan, menjauh dari tentakel yang memanjang itu dan menggapainya. Kulitnya licin, seperti tentakel sungguhan, hingga dia dapat menarik tangan tentakelnya lepas dari pelukanku, membuatku sedikit goyah ke depan dan aku jatuh. Aku berkonsentrasi lagi pada natural yang menghubungkan pikiranku dengan kail tersebut, bersamaan dengan diriku yang menggelinding ke samping saat aku menyadari sebuah bayangan mendekat.

AaganitreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang