Bab 3

8.1K 857 25
                                    

Tiga hari ini, aku hanya menghabiskan waktu di rumah. Bersama Ibu, Mbak Rana dan Keira, keponakanku. Menebus waktu yang kubuang sia-sia selama satu windu lamanya. Hingga agak sulit mengakrabkan diri dengan putri tunggal Bang Naufal itu, karena sejak lahir, dia memang belum pernah bertemu denganku. Sayang, Bang Naufal dan Ayah harus kerja dari pagi sampai sore sehingga kami mengobrol banyak hanya saat malam saja.

"Dasar sepupu nggak ada akhlak."

Mendengar celetukan pria di sebelahku, aku tertawa kecil. Kutonjok lengan atasnya main-main. "Masalahnya, aku nggak mau dituduh pengaruhin kamu buat ikut kabur juga. Kayak Shei tuh, yang dari dulu dikira otak polosnya keracunan aku."

Layaknya Dito di masa remaja, dia terbahak mendengar alasanku. Matanya menatap Sheila yang sedang bermain dengan Keira di rerumputan. "Tapi emang bener kan, kamu suka ngajak Shei ngelabrakin cewek-cewek di sekolah sama kampus."

Aku menatapnya sengit. Tapi tidak bisa mengelak, karena itu benar. Jadi aku hanya diam, berusaha menepis semua kenangan masa lalu yang sudah kubuang jauh-jauh.

"Kok diem?" Dito mengernyitkan kening, menoleh padaku. "Jangan-jangan kamu tersinggung?"

"Nggaklah." Aku mengibaskan tangan, sambil tertawa.

Siang ini, Dito datang ke rumah bersama Sheila. Kakak beradik beda setahun itu memang sering ke sini, kata Ibu. Tentu saja Sheila mampu mengobati di saat-saat di mana Ibu merondukanku, tapi belum bisa terbang lintas negara. Memang, hanya Ayah, Ibu, Bang Naufal dan Mbak Rana saja yang selama ini tahu di mana aku tinggal. Aku sengaja meminta mereka merahasiakannya dari semua orang, termasuk tidak memberikan akses komunikasi pada keluarga yang lain. Kecuali Sheila, karena dia sangat cengeng. Itulah kenapa tadi Dito begitu protes karena katanya aku pilih kasih.

"Kamu berubah."

Nada suara Dito berubah serius. Aku tersenyum kecil mendengarnya. Rasanya, lebih dari ribuan kali aku mendengar dua kata itu dari Bang Naufal maupun Sheila.

"Semakin bertambahnya umur, perubahan itu pasti ada, Dit."

"Aku nggak berubah tuh." Dito menaik-turunkan kedua alis, dan aku hanya menggeleng pelan. Dia tertawa lirih. "Padahal aku nunggu ejekan kamu."

Senyumku terbit lagi. Dulu, aku memang jago dalam mengejeknya. Selain karena kami sangat dekat dan akrab sejak kecil, itu juga karena menurutku dia pantas diejek. Gayanya yang urakan dan suka melanggar peraturan sekolah kemudian berakhir mendapat hukuman dari Pakdhe, selalu jadi bahan olokan untukku. Tapi untuk sekarang, rasanya malas saja.

"Oh ya, yang kemarin itu pacar kamu beneran?"

"Siapa? Lucas?"

Dito mengangguk. Dia tersenyum aneh. "Pacar kamu, kan?"

"Pernah sih."

"Pernah?" Dia melotot. "Berarti sekarang mantan?"

"Iya."

"Mana ada mantan masih deket, kelihatan kayak sayang gitu? Mantanku aja semuanya kalau ketemu aku, macam liat kuman."

"Serius, mantan. Cuma beberapa bulan sih, karena setelah itu kita berdua ngerasa nggak cocok. Apalagi, ternyata Luke saudara aku. Ya udah-"

"Ha?!" Dito makin melotot.

"Apa?"

"Tadi kamu bilang apa? Saudara? Ngelindur atau gimana sih ini cewek!"

Aku tertawa kecil. "Ingat nggak sih, dulu Ibu pernah cerita kalau sku dititipin selama sebulan di rumah sahabatnya yang bayinya baru aja meninggal? Waktu itu aku kan baru umur setahun."

"Iya ingat. Terus?"

"Nah, Lucas itu ternyata anaknya sahabat Ibu. Kata Ibu, dulu Lucas umur empat tahun pas aku di rumahnya."

Dito memutar bola mata. "Hanya karena itu, bukan berarti kalian saudara, dong."

"Bukan itu, emang. Tapi karena selama sebulan itu, aku disusui sama ibunya Lucas. Jadi kan aku sama dia saudara sepersusuan."

"Wah." Dito berdecak takjub. "Miris banget, ya. Kalian patah hati, dong. Ka-si-han."

"Nggak, tuh." Aku mengedikkan bahu.

Dulu, aku dan Lucas memutuskan menjalin hubungan karena rasa nyaman saja. Suatu hari Ayah dan Ibu datang, bertepatan dengan kedatangan orang tua Lucas. Dua sahabat yang bertahun-tahun tidak bertemu lagi itu saling melepas rindu, dan kami jadi tahu bahwa ternyata aku dan Lucas adalah saudara sepersusuan. Kemudian kami putus. Setelah beberapa bulan, ternyata kami sadar, lebih nyaman hanya sebagai sahabat atau saudara saja.

"Kamu sendiri, mana calonnya?" balasku, setelah beberapa menit kami diam.

"Belum ada yang cocok. Santailah, baru dua sembilan ini. Kamu tuh yang kapan? Shei aja beberapa bulan lagi nikah lho."

"Baru dua delapan, ini." Aku terkekeh saat Dito mendengus karena aku mengikuti jawabannya tadi.

"Dua delapan buat cewek itu udah rentan, tahu. Yang remaja udah nikah aja banyak."

"Mending telat tapi tepat, daripada buru-buru cuma buat kepuasan orang lain."

"Iya deh iya, Momo yang sudah dewasa." Dito mengacak-acak rambutku. Tiba-tiba ekspresinya berubah serius. Dia menunduk dalam-dalam sebelum kembali menatapku intens. "Kenapa ... nggak coba sama Jojo aja? Dia juga masih sendiri, tuh."

Mendengar pertanyaannya, aku spontan berdiri. Aku terkejut karena reaksiku, Dito pun sama. Telapak tanganku mulai berkeringat.

"Maksud kamu apa?" tanyaku, datar.

"Nggak ada." Dito bangkit, meraih pergelangan tanganku. "Maaf."

"Jangan pernah membahas tentang hal yang sama lagi soal dia, Dit." Kulepas pegangannya, meski kulihat dia menyesal. "Hanya dengan mikirin itu aja, aku merasa jadi kriminal. Lagi."

Kemudian aku berbalik dan berderap melangkah menuju pintu penghubung halaman dan bagian dalam rumah. Tak kuhiraukan panggilan panik Dito. Telapak tanganku mulai banyak memroduksi keringat. Aku butuh Lucas. Secepatnya. Sebelum-

"Mo."

Aku mematung. Dia berdiri di ambang pintu, menatapku heran dan ... asing. Nama yang diungkit Dito tadi.

"Moza?"

Aku mengerjap. Tenggorokanku kering. Rasa ingin menangis kembali menyeruak. Dito benar-benar keterlaluan.

"Permisi."

Aku melewatinya, melalui celah yang disisakan tubuh tegapnya. Kubawa kakiku menaiki anak tangga dan mengunci diri di dalam kamar. Lucas sedang bekerja. Aku harus bisa menenangkan diri sendiri.

***

Bab depan in sya Allah flashback masa lalu Momo. Oh ya, jadwal update Momo hari Selasa, Kamis dan Sabtu ya. Semoga kalian maklum😊

Mōichido (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang