Tangan kanannya sudah pegal, kelopak mata hampir padam, dahi makin lama makin berkerut, badan masih asyik miring ke kanan-kiri, sementara matanya fokus menatap gawai yang erat di genggam, sembari tangan masih sibuk mengusap layar. Tak ada rasa gusar ketika lampu sudah padam dan selimut tebal menjuntai dari kepala sampai kaki, kalau sudah rusak penglihatan barulah tahu jera!
"Alamak! Lebih cantik aku." Gita menyungging senyum samar, foto orang yang dikerdilkannya itu diperbesar. Sedang mencari sebuah kekurangan untuk dihitung, ya?
"Astaga! Tak boleh! Tak boleh begitu!" Gita lantas mengingatkan diri, masih sadar akan hukum dunia. Syukurlah kalau ingat.
Gita mengedip-ngedipkan mata melawan kantuk, namun hal yang seperti ini kelewat sayang untuk ditinggalkan, mirip nasibnya kini.
"Egi..." Dara tanggung yang baru mengenal cinta itu mendadak berseru lirih. Makin terasa seminggu hampa harinya tanpa kabar Egi, seberkas rindu sudahlah haram dan pantang untuk Gita rasakan, tetapi manalah bisa perasaan itu berdusta, bagaimana mungkin mereka yang dulu saling menanam renjana selama empat tahun bisa luntur sesingkat waktu.
"Trok! Trok! Trok!" Gita menggelagap, bunyi itu berasal dari gedoran jendela kaca kamarnya. Gita tak menghiraukan, sehingga masih memilih membenam diri dalam selimut.
"Tek!" Kipas angin di meja sebelah tempat tidurnya mati, karena listrik padam. Gita masih mematung dalam selimut meskipun beberapa bulir keringat sudah menyembul dari balik bajunya. Dilihatnya melalui ponsel, jam sudah di posisi tepat empat puluh lima derajat, tepat jam dua malam.
"Trok! Trok!" Ada sesuatu yang menggedor jendela kamar Gita lagi, gemanya bak seorang debt collector yang mau menagih hutang, kali ini bunyinya berulang-ulang.
-Bersambung-
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis dalam Selimut
HorrorGita tak tahan, ia melongok ke depan jendela meskipun lututnya lunglai dan badannya gemetaran. Nihil, tak ada apapun. "Gita!" Hampir pingsan gadis itu melihat tiba-tiba ada seseorang di kamarnya. Mulutnya kelu menjeritkan sepatah kata.