Prolog

10 7 1
                                    



Dia menatap lamat lamat kearah ujung barat, tempat dimana sang pusat tata surya selalu menenggelamkan diri disertai dengan pancaran indah sewarna kuning emas yang mampu membuat siapapun terpukau menatapnya penuh damba. Sama seperti yang tengah dialami sosok yang duduk dibalik kemudi mobilnya itu, tidak bisa menyembunyikan raut bahagia yang kini terpancar melalui pandagan dari mata coklatnya yang memantulkan cahaya emas yang ditatapnya.

Perempuan itu tersenyum, dengan embusan angin khas dari angin laut ditambah dengan siluet kapal beragam ukuran yang melintas dihadapan cahaya matahari, membuat pelabuhan adalah salah satu tempat yang paling sempurnah untuk dirinya menikmati detik detik bergantinya siang ke malam hari.

Dan senyumnya semakin merekah ketika suara kapal yang nyaring tertangkap indra pendengarannya. Dia melirik kearah ponsel hitam yang tergeletak dikursi sebelahnya. Tidak ada yang istimewa dari benda itu selain sebuah stiker pelanet bumi yang berada dibaliknya.

Tiba tiba jantungnya berdetak cepat, dia menoleh kearah depan ketika suara kapal sekali lagi berbunyi dan dia bingung, jantungnya bereaksi seperti itu karena terkejut dengan suara kapal atau karena netranya menangkap siluet seorang lelaki dengan tas ransel yang disampirkan disebelah bahunya kini tengah berjalan menuju kearahnya. Iya. Dia yakin lelaki itu berjalan kearahnya karena hanya ada dirinya seorang disana terlebih beberapa menit yang lalu dia sudah mengirimkan pesan pada sosok itu dimana lokasinya sekarang berada.

Tak jauh beda dengan perempuan dibalik kemudi, lelaki yang tengah berjalan itu pun menelah ludah gugup ketika melihat perempuan berjaket kulit hitam dengan rok tutu berwarna putih keluar dari dalam mobil dan berdiri tepat didepan beda beroda empat itu. Ketika pandagan mereka bertemu dia merasakan jantungnya berdetak dengan cara yang tidak seharusnya dia lakukan. Lelaki itu mengalihkan pandanganya kearah sepatunya sambil mengutuk dirinya sendiri karena sesuatu yang tidak seharusnya datang itu kini menerobos masuk dalam perasaanya.

Tidak boleh.

Dia tidak boleh membiarkan itu masuk kembali. Dia sudah berjanji akan hidup dengan baik sebelum pergi dan sekarang ketika dia memutuskan untuk kembali kenegrinya sendiri ia juga sudah meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik baik saja, dia sudah tidak apa dengan semuanya. Mereka sudah baik baik saja.

Langkah kakinya akhirnya berhenti dua langkah dihadapan sang perempuan. Mereka bertatapan dalam diam dengan segala macam emosi dan perasaan. Tentang kerinduan, rasa sakit, kasih sayang, dan cinta, semuanya tercampur hingga membentuk sebuah kaca transparan didalam bola mata keduanya.

Melihat perempuan itu membisu, lelaki bertubuh tegap itu melangkah selangkah lagi kedepan hingga memungkinkan dirinya untuk melihat dengan jelas wajah cantik yang semakin memukau karena diterpa cahaya keemasan dari matahari dibelakangnya. Ada keheningan dimana mereka hanya saling tatap menikmati wajah masing masing dengan segala penolakan yang terjadi didalam diri. Hingga menit berganti akhirnya lelaki itu membuka suara untuk pertama kalinya.

"Lo... Apa kabar?" tanyanya canggung

Perempuan itu membisu.

"udah lima tahun loh kita nggak ketemu. Emang lo, nggak kangen sama gue?" lelaki itu bertanya lagi

Perempuan itu menunduk, mengenggam erat sisi rok panjagnya, dia sangat ingin beteriak bahwa dia merindukan lelaki itu, dia sangat sangat merindukannya hingga nyaris gila karena tidak pernah mendapat kabar apapun darinya. Dia tersiksa, karena tidak bisa mastikan tempat dimana dia harus mencari lelaki itu berada untuk sekedar memastikan apa dia baik baik saja. Ia merindukannya layaknya matahari yang selalu merindukan pasangannya, bulan, yang harus rela dipisahkan oleh semesta.

Namun bagaimanapun dia merindukan sosok itu, dia tidak bisa lebih tepatnya mereka tidak berhak mengatakannya, karena kalimat rindu yang akan keluar dari mulutnya adalah kerinduan pada sesuatu yang lain yang tidak murni.

"Venus!!"

Dia mendongak, membawa pandangan mereka kembali bertemu. Jantungnya berdegup kencang, ia mengenali pancaran mata yang lelaki itu gunakan untuk menatapnya. Mereka kembali bertatapan, namun kali ini hanya ada satu buah rasa yang Venus temukan dipancaran mata itu.

"gue..." Lelaki itu menelah ludah, "gue kangen sama lo!"

Dengan sepenggal kalimat pendek itu,Venus akhirnya membiarkan pipinya dialiri anak sungai dari kedua matanya sendiri. Dia membiarkan lukanya yang kering dan sempat tertutup itu, kembali basah dengan sepenggal kalimat rindu khas mereka sebelumnya.

Melihat sosok dihadapannya begitu rapuh, dengan mengesampingkan segala larangan diantara mereka dia membawa kedua lengannnya kepundak Venus dan memenjarakan perempuan itu dalam dekapan hangatnya.

"gue juga!" bisik Venus lirih.

Mereka menangis dalam. Membiarkan segalanya yang telah mereka janjikan dimasa lalu meluruh, hancur, hingga tanpa segan Venus membawa kedua lengannya melingkar dipinggang lelakinya. Lelakinya. Venus tersenyum miris. Ia tau, kalimat itu tidak akan pernah pantas dia sematkan untuk sosok yang tengah mendekapnya ini, namun dia sudah terlanjur melanggar. Mereka sudah terlanjur kalah oleh waktu dan keadaan.

Nyatanya, perasaan itu masih ada, dan masih pada tingkat yang sama.

Lelaki yang tengah mendekap erat itu semakin mengeratkan pelukannya, tidak ingin membiarkan angin melalui celah diantara tubuh mereka. Dia ingin menikmati momen ini, menikmati perasaan yang telah lama dipaksa mati ---namun tidak pernah terwujud--- itu untuk mekar sekali lagi ditempat ini. Tempat dimana untuk pertama kalinya mereka mengaku saling mencintai dalam kebisuan.

Mereka saling berpelukan, dengan sebuah janji yang untuk terakhir kalinya mereka ikrarkan dalam hati.

Bahwa mereka akan baik baik saja.

Bahwa mereka akan kembali seperti diawal pertemuan.

Bahwa perasaan yang baru saja mereka biarkan untuk dirasakan oleh pemiliknya, sekali lagi harus kembali mati seiring dengan terbenamnya matahari digaris cakrawala. Cincing yang melingkar dijari manis Venus berkilat saat mereka menggumakan janji didalam hati masing masing.

Stelah ini kami akan saling merindukan dengan murni.




A/n:

sebenernya ini udah di publikasi sih waktu tanggal 28, tapi entah kenapa aku nggak srek dengan yang awal jadinya di revisi habis habisan sampai jadilah ini😊






04, Agustus 2020♥

SaudadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang