Bab 3

104 22 15
                                    

A Cup of Coffee

🥀

Seungcheol mungkin tidak terlalu keberatan menyandang gelar orang aneh karena hari berikutnya, untuk sekali lagi, dia menjadi pengunjung gelap di toko bunga tersebut untuk alasan yang sampai detik itu belum dia ketahui. 

Setelah mengetahui keeksistensiannya, kehadiran tempat tersebut sungguh mengganggunya. Seungcheol tidak bisa melihat bangunan itu dari jendela  kamarnya dan tidak melakukan apapun. Sebagian orang mungkin akan menyebutnya kurang kerjaan, Seungcheol tidak akan menyangkal.

Seungcheol sendiri tidak tahu mengapa. Rasanya seperti ada belenggu tak kasat mata yang mengikatnya dengan tempat itu.

Belajar dari keteledorannya kemarin, kali ini Seungcheol lebih berhati-hati. Selama hampir setengah jam dia hanya berdiri memandangi koran harian di depan florist, menunggu pelanggan pertama datang. Sampai akhirnya seorang wanita dipertengahan dua puluh tahun berpakaian modis ala pegawai kantoran muncul, mendorong pintu hingga terbuka, baru kemudian Seungcheol mengikutinya masuk, mengekor di belakang sosoknya. 

Bel di atas pintu berdenting, seperti yang sudah Seungcheol duga. Suara renyah sang pemuda di balik meja kasir menyapa, mengantarkan atmosfer familiar sekaligus asing yang menggetarkan sesuatu di dalam diri Seungcheol, dijawab oleh suara bernada tinggi sang wanita. 

Sementara wanita itu mengajak pemuda di balik kasir bercakap-cakap, Seungcheol berbelok ke arah rak-rak penuh bunga dalam berbagai jenis dan warna, lantas bertingkah seolah-olah dia peduli dengan semua bunga itu: menyentuh kelopaknya dengan hati-hati, mendekatkan wajahnya dan berpura-pura bahwa dia sedang sibuk menikmati aromanya. Pada kenyataannya, Seungcheol justru tidak berani menghirup napas sebab semerbak bunga yang menusuk langsung indra penciumannya, membuat kepalanya luar biasa pening. 

Dan sesekali, saat keberanian melintas dalam dirinya, Seungcheol akan mencuri-curi pandang pada si pemuda. Seungcheol pun tidak mengerti apa yang membuatnya begitu takut mencuri pandang pada seseorang yang jelas-jelas tidak bisa menangkap basah perbuatannya tersebut. 

Mungkin sejatinya bukan sosok itu yang membuatnya takut, namun perasaan membingungkan yang timbul setiap kali Seungcheol melihat pemuda itu lah yang membuatnya takut. Perasaan yang sudah mengusik Seungcheol sejak pertama kali Seungcheol melihat sosok itu.

Bukan sekedar kekurangannya lah yang meninggalkan impresi pada benak Seungcheol, melainkan seluruh aspek dalam dirinya: ekspresi itu, wajah itu, senyum itu, semuanya meneriakan sesuatu yang familiar bagi Seungcheol. Namun tidak peduli sekeras apapun Seungcheol berpikir, dia tetap tidak tahu mengapa.

Sepuluh menit kemudian, si wanita telah menyelesaikan urusannya. Kini, sambil membawa sebuket bunga mawar dia berjalan menuju pintu untuk keluar.

Seungcheol menyadari bahwa itu lah satu-satunya kesempatan yang dia miliki untuk keluar dari tempat itu. Maka dengan tergesa-gesa dia mengejar langkah si wanita. Namun sayangnya, di tengah usaha tersebut tanpa sengaja kaki Seungcheol menendang salah satu ember bunga yang diletakan di lantai. 

Beruntungnya Seungcheol berhasil menangkap ember itu sebelum jatuh sehingga adegan dimana semua bunga di dalamnya tumpah dan berhamburan ke lantai tidak terjadi. Meskipun begitu, hal tersebut membuat Seungcheol kehilangan satu-satunya kesempatan untuk keluar dari tempat itu tanpa ketahuan. 

Si wanita pembawa buket bunga itu sudah keluar dan melenggang pergi. Insiden tersebut juga menarik perhatian pemuda di balik meja kasir. Suara yang Seungcheol timbulkan dari sepatunya yang beradu dengan ember meskipun tidak keras tapi cukup untuk membuat kepala itu menoleh ke arahnya.

Guns and Roses (JICHEOL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang