Hanya menggabungkan sebuah mitos dengan khayalan fantasi yang acak. Monumen dan latar tempat nyata, namun tidak dengan tokoh dan isi cerita.
.
.
.
Salinan tertua puisi Odyssey, mahakarya Homer.
***
“Bagaimana kalau kita berlibur ke Taejongdae? Kudengar... pantainya memiliki kharisma yang istimewa, sampai-sampai beredar mitos bahwa dewa dan dewi sekalipun memilih tempat cendayam itu untuk beristirahat. Selama ini kita belum pernah singgah ke destinasi wisata penuh mitos yang legendaris seperti Taejongdae, aku jadi penasaran, jika mitos itu benar... hal menarik apa yang sanggup membuat mereka—dewa dan dewi agung turut singgah melepaskan penat?”
Bola mata candramawa Gu Hyeju terlihat lemah tatkala mengerjap berkali-kali, tanpa sedikit saja celah cahaya berpendar, redup, bak putus setengah jiwa. Hyeju mendesah kecil, lantas melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti ketika menjejaki pasir putih setengah lembab. Baru beberapa menit yang lalu ia pamit memisahkan diri dari pengawasan kakak perempuannya, bertekad untuk mencoba melepas kenangan seorang diri, entah sudah keberapa kali.
Alih-alih berusaha mendapat titik ketenangan jiwa seperti yang diidamkan, Hyeju malah semakin terguncang. Gontai ke sana-kemari. Pemandangan cendayam penuh kharisma yang selalu dibicarakan seorang pria, akhir-akhir ini sering menggema, mengalun dengan volume dinamis. Sekadar menegaskan, kini asumsi spontan yang terlontar ragu; telah mendapat jawaban definit tak terbantahkan.
Ia pernah datang ke sini sebagai perempuan pemilik kebahagiaan sempurna, bertujuan menghabiskan waktu liburan di musim panas dengan ekspetasi tinggi. Namun, malapetaka yang terjadi hari itu mengacaukan segala mimpi dan cita-cita. Menciptakan setiap rekam detail luka demi luka terus menghantui ruang kosong di otak Gu Hyeju. Jika neraka terasa sebegini pahit, ia mungkin telah terbiasa.
Dersik rajaklana berhembus anggun, mengombang-ambing surai gelap ketika tubuh sudah berdiri di perbatasan antara lautan dengan pasir halus. Gaun tipis khas musim panas berwarna biru pastel miliknya terus tersibak angin, seolah memberi peringatan untuk segera pergi dari sana sebelum ombak kian menggulung tinggi.
Air matanya mengalir, bak kumpulan rebas embun. Menangis dalam diam. Padahal ia sudah bertekad untuk tak lagi meratapi takdir dengan tangis, memulai lembar kehidupan yang baru selepas dunia kecilnya stagnan berputar dengan tragis.
Suara ombak berdebur laksana simfoni orkestra surga yang maha indah, terus bergema dalam telinga tatkala suasana hatinya fluktuasi membiru. Cahaya kemilau yang terpancar dari birunya laut bercampur padu dengan warna senja turut menyempurnakan pemandangan langka yang bisa dengan mudahnya gadis itu dapatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ODYSSEY [ONESHOOT]
FanfictionNa Jaemin ft. girl "Bagaimana kalau kita berlibur ke Taejongdae? Kudengar... pantainya memiliki kharisma yang istimewa, sampai-sampai beredar mitos bahwa dewa dan dewi sekalipun memilih tempat cendayam itu untuk beristirahat. Selama ini kita belum p...