Prologue

268 4 0
                                    

Please feel free to give your comment and make sure to press the star button✨

I hope you like it. Happy reading~

🍁🍁🍁

Berbeda dengan anak-anak lainnya yang terlihat riang bermain, seorang anak perempuan tampak duduk menyendiri di sudut kelas dengan sebuah boneka teddy bear di pelukannya.

Salah seorang anak perempuan yang tak lain adalah temannya datang menghampiri. Dengan polos, ia berkata, "Agatha, bonekamu lucu. Aku boleh pinjam?"

"Tidak."

Satu kata yang terkesan penuh penekanan itu tak cukup membuatnya menyerah. Lagi-lagi, ia kembali meminta. "Aku pinjamnya bentar aja. Aku pasti balikin. Boleh ya?"

Bukannya menjawab, Agatha malah semakin memeluk erat bonekanya. Merasa kesal, anak perempuan itu lantas merebut paksa boneka yang ada dalam pelukan sang teman. Agatha tersentak.

"Bella, balikin boneka aku." Isakan Agatha mulai terdengar, namun pelan. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca dengan berlinang air mata.

"Gak mau. Aku suka sama boneka ini." ujar Bella acuh tak acuh seraya mengelus lembut boneka Agatha dengan penuh minat. Namun air wajahnya berubah masam dikala boneka itu telah berpindah di tangan anak lainnya.

"Apa ini? Lebih bagus lagi mobil-mobilanku." timpal salah seorang anak laki-laki seraya memperhatikan setiap sisi boneka teddy bear di genggamannya. Dengan angkuh, ia membanting boneka tersebut ke lantai ubin yang dingin dan pergi begitu saja.

Tangisan Agatha semakin keras menyaksikan boneka kesayangannya sudah tergeletak di lantai. Boneka tersebut sangatlah bermakna baginya, hanya itu yang ia dapatkan dari sang Ayah. Kini anak perempuan tersebut tak pernah lagi mendapatkan hadiah, sekalipun dalam hari ulang tahunnya. Maka tidak heran bila Agatha menjadi sensitif seperti ini.

"Agatha, aku bisa minta sama mamaku belikan yang lebih mahal. Boneka ini untukku aja, ya?" Bella masih tidak menyerah membujuk Agatha yang sudah senggugukan.

"Enggak. Aku gak mau kasih kamu."

Mencoba mengabaikannya, Bella malah memungut boneka milik anak perempuan itu dan memeluknya.

Agatha mendekat dan berusaha merebut boneka itu. "Kasih bonekanya sekarang jugaaaa."

"Gak mau."

"Siniiii."

"Gak mauu."

Alhasil, kedua anak itu saling tarik-menarik, hanya untuk memperebutkan sebuah boneka teddy bear. Suasana kelas semakin panas ketika anak-anak lainnya datang ikut mencampuri. Ada pula yang lebih memilih menyibuki diri dengan mainan mereka sendiri.

Srrrttttt

Agatha terdiam. Ia memandang parau sebelah lengan teddy bear yang sudah terlihat naas dalam genggamannya. Anak-anak lainnya terdiam menyaksikan nasib boneka itu yang sudah tak lagi terjahit utuh.

"Maaf, Agatha.. aku gak bermaksud." Bella mendekati Agatha dengan penuh sesal. Sementara Agatha, ia hanya menunduk dengan senggugukan.

"Aku minta maaf. Agatha?"

Agatha masih tidak menjawab. Genggaman tangannya mencengkeram kuat lengan boneka yang telah putus. Seolah menahan amarah, seorang anak kecil sepertinya hanya bisa menggelemetukkan giginya pelan. Namun siapa sangka, ia tak mampu lagi menahan. Agatha menjerit sejadi-jadinya. Suara tangis dan teriakan terdengar telah menyatu menjadi tidak terkendalikan.

Seiring dengan teriakan Agatha, terpaan angin kencang muncul menghancurkan segalanya. Pintu jendela terbanting dengan keras dan bahkan susunan meja tak lagi beraturan. Satu per satu, semua anak terlempar menjauh darinya.

Agatha menatap nyalang ke arah teman-temannya yang sudah terbaring di atas lantai. Aura-aura gelap mengelilingi sekitar tubuhnya. Warna retina mata anak perempuan itu juga telah berubah penuh menjadi merah darah. Rambut panjang hitam legamnya menghilang tergantikan oleh warna putih yang mendominasi. Bahkan wajah Agatha terlihat pucat seperti layaknya mayat hidup yang sudah tak lagi memiliki kesadaran jiwa.

Tangisan anak-anak lainnya mulai terdengar ketakutan. Entah bagaimana caranya, seorang anak perempuan berusia 8 tahun dapat berubah menjadi sosok seperti ini.

"Bawa anak-anak keluar."

Agatha menatap lekat setiap teman-temannya yang telah diiringi keluar dari ruangan kelas oleh para guru. Sekumpulan orang mengintip waspada dari luar yang diantaranya ada juga para wali dari siswa. Wali siswa berdatangan karena memang telah dihubungi oleh pihak sekolah untuk segera mengamankan anak mereka masing-masing.

"Bisa-bisanya ada yang kesurupan di sekolah ini."

"Katanya sih, anak itu emang sering dirasuki iblis."

"Ihh.. kalo gitu, anakku gak boleh sekolah di sini lagi."

"Setuju banget. Parno ngeliat yang beginian, serem."

Agatha menoleh gesit ke arah suara-suara itu berasal. Ia benci ketika dirinya harus dijuluki sebagai anak iblis, anak setan, anak yang kesurupan dan sejenis lainnya.

"Aku bukann iblissssssss." Agatha semakin histeris. Namun seketika dirinya terdiam dan menangis tersedu-sedu. Lalu ia kembali membuka suara, "Aku ini anak mama sama papa."

"Agatha?"

Anak perempuan itu mendongak lurus ke depan dan mendapati sosok bibinya yang ia sayang muncul dari balik pintu. Bibi yang dimaksud adalah seorang pengasuh yang telah menemaninya sejak kecil, sebab Agatha tidak pernah bergelimang kasih sayang dari sepasang orang tua.

"Ayo, kita pulang nak."

Agatha mulai meredup dan berubah secara perlahan.

The Demon Inside MeWhere stories live. Discover now