Siswa ribut sebelum guru memasuki kelas tentu bukanlah hal asing lagi. Sama halnya dengan kelas 12 IPA yang tidak lagi menyerupai sebuah kelas belajar, melainkan sebuah pasar. Kali ini, Agatha dan Audrey juga tampak sibuk mengobrol, membicarakan sesuatu yang biasa. Seolah angin lalu, Audrey berusaha melupakan masalah semalam. Ia tahu, ada rahasia yang disimpan oleh sang sahabat. Gadis itu tidak ingin memaksa atau mendesak. Ketika waktunya tiba, Agatha pasti akan mengatakannya.
"Selamat pagi."
Salam dari Mam Ida, seorang guru bahasa Inggris sekaligus sang wali kelas menggemparkan seluruh kelas. Kedatangan beliau sungguh mendadak. Alhasil, dalam sekejap siswa-siswinya menjadi sangat diam. Begitu pula dengan Audrey yang bergegas kembali ke tempat duduknya berada.
Agatha memandang lurus ke depan, memberi perhatian penuh pada wali kelasnya. Namun kali ini ada yang berbeda. Seorang lelaki berseragam serasi datang bersama Mam Ida. Anehnya, gadis itu merasa familiar. Dengan lekat, Agatha memperhatikannya begitu lama. Tiba-tiba ia tersentak ketika mata mereka bertemu. Sedikit salah tingkah, Agatha lantas memalingkan wajah berusaha menghindarinya.
Lelaki itu terkekeh geli mengamati gelagat Agatha. Namun ia tersadar dikala Mam Ida menyela "Gavin, kenalkan dirimu."
Lelaki bernamakan Gavin itu mengangguk seraya membenarkan posisi dasi sejenak. Lalu ia mulai memperkenalkan diri dengan lantang. "Gavin Davidson. Sekian."
"Itu saja?"
Gavin mengangguk dengan bangga. Melihat tingkahnya, Mam Ida menggeleng kepala tak habis pikir. Wanita itu memiliki sedikit firasat buruk terhadap siswa barunya ini.
"Yasudah, kamu duduk di kursi kanan paling belakang."
Gavin menurut. Ia berjalan menghampiri tempat kursinya berada dengan senyuman lebar. Bisikan-bisikan kagum dari para kaum hawa tiada hentinya terdengar sedari tadi, membuat Gavin semakin menebar pesona.
"Ih, ganteng banget deh."
"Akhirnya kelas kita ada cogan."
"Awas, lo! Dia punya gue."
Agatha memutar matanya malas dikala mendengar semua kata-kata pujaan yang terkesan cukup menjijikan baginya. Seolah hanya dunia sendiri, gadis itu tetap melanjuti bacaannya.
"Jangan ribut!! Tunggu guru pelajaran selanjutnya. Saya tinggal dulu."
"Baik, Mam." Dengan serentak seluruh siswa menjawab. Sangat tentram, namun hanya sementara. Mereka kembali berbincang ketika Mam Ida telah meninggalkan kelas.
Beberapa siswi malah datang menggerebungi Gavin yang sedang santai duduk di tempatnya. Lelaki itu tersenyum genit sehingga membuat mereka tersenyum malu. Lalu ia sedikit menggoda. "Rupanya anak kelas 12 IPA banyak yang cantik juga."
"Hai, boleh kenalan? Nama gue Nadia."
"Gue Meyliana."
"Gue boleh minta nomor lo?"
"Nanti gue temenin lo ke kantin, gimana? Btw gue Kairen."
"KEMBALI KE TEMPAT KALIAN!!" Dengan tegas, sang ketua kelas membubarkan gerombolan siswi yang mengelilingi Gavin. Alhasil, mereka harus kembali ke tempat kursinya masing-masing dengan mimik kecut.
Gavin terkekeh geli. Ia cukup merasa bangga dengan ketampanannya. Tentu saja. Dengan rahang tegas, hidung mancung dan kulitnya yang putih membuat lelaki itu terlihat sempurna. Tak dipungkiri, bahkan tatanan rambut yang acak-acakan semakin memperlengkap segalanya. Sebagai salah satu kriteria para gadis, tinggi badan 185 cm yang ia miliki membuat siapapun akan terpana, kecuali Agatha.
YOU ARE READING
The Demon Inside Me
FantasiFantasy - Romance Dengan segala upaya, seorang Agatha Oswald selalu menahan amarah dalam sepanjang hidupnya. Alasan? Hanya satu. Ia tidak ingin membiarkan DIA keluar dan menghancurkan segalanya. #DON'T COPY THIS STORY