Bab 10

5.9K 785 61
                                    

Jika saja aku adalah Momo yang dulu, ingin sekali rasanya aku meneriaki Sheila sampai puas. Bagaimana bisa dia tidak memberitahuku lebih dulu? Kalau memang Dito tidak bisa mengantar kami, ya sudah bisa cari orang lain, bukan? Atau aku bisa menyuruh Lucas. Dan bukannya malah meminta diantar abang dia yang satunya.

"Maaf, Mo. Tapi kan yang tahu tempatnya cuma Bang Dito sama Bang Jojo."

Itu alasannya tadi saat aku menatapnya protes. Dan di sinilah kami berada sekarang. Di dalam mobil milik pria itu, dengan kakak beradik menempati bangku depan dan aku di belakang sendiri.

"Nanti kerjanya cuma berdua?"

Aku yang lebih memilih fokus membalas pesan obrolan dengan teman-teman di Jepang, mendongak. Mataku sedikit melebar, ketika Jovan menatapku melalui kaca. Dan seperti yang selalu terjadi sepanjang hari ini, aku langsung mengalihkan pandangan.

"Enggak juga, Bang. Kita kerja sama sama temen kita di kampus dulu. Oh sama Ferli juga. Dia kan selebgram tuh. Terus dia nawarin buat bantu marketing. Iya kan, Mo?"

"Iya." Aku menjawab singkat pada Sheila, masih sambil memainkan ponsel.

"Modal?"

"Modal kita udah lumayan. Ya, Mo? Momo katanya punya tabungan. Ditambah tabungan aku. Terus sama nanti mau dibantu invest dari Bang Luke juga. Amanlah kalau soal modal."

Tidak ada pertanyaan lagi dari abang Sheila itu. Aku tidak peduli. Toh, di sini aku berusaha menjadi 'nyamuk' yang tidak perlu menimbrung obrolan mereka. Kecuali saat Sheila bertanya padaku, otomatis akan kujawab. Itu pun dengan singkat saja. Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah gedung.

"Di sini, Bang?"

"Hm."

"Wah." Sheila membuka pintu mobil sambil menoleh padaku. "Yuk, Mo."

Aku menyimpan ponsel di tas, kemudian ikut turun. Bersebelahan dengan Sheila, kami memandangi gedung tak terlalu besar yang berlantai dua itu. Sepupuku ini langsung berdecak-decak sambil mengamati seksama.

"Masuk?"

Aku sedikit terperanjat karena kehadiran abang Sheila yang tiba-tiba berdiri di sebelahku. Aku membuang pandangan ketika kami saling bertatapan. Untungnya, dia kemudian berjalan memimpin kami memasuki gedung di depan.

"Lumayan ya, Mo?" kata Sheila ketika kami mengamati dinding bagian depan yang keseluruhan terbuat dari kaca.

Aku mengangguk. "Kita jadi nggak perlu bayar orang buat ganti desainnya."

"Untuk desain interior, bisa minta tolong temanku."

Aku melengos, memilih lanjut melihat-lihat dan menimbang luas ruang depan yang masih kosong ini.

"Boleh, Bang. Shei sama Momo kan nggak punya kenalan desainer interior."

"Oke."

"Eh Mo, ini lumayan gede kan buat naruh baju-baju yang ready nanti?" Sheila mendekat kemudian menggamit lenganku. "Aku udah bayangin banyak gaun-gaun desain kita di sini. Nanti banyak pengunjung. Terus kita juga terima pesanan gaun pengantin. Ugh bayangin aja udah seneng."

Aku tersenyum kecil, ikut membayangkan. Gedung ini, rencananya memang akan kami sewa untuk tempat kerja. Bentuknya yang semacam ruko, sangat cocok untuk keinginan kami. Hampir sebulan di rumah, aku mulai suntuk dan ingin produktif lagi. Aku, Sheila dan dua teman kampus kami dulu ingin membangun kerja sama berupa rumah fashion yang melayani pembelian langsung maupun pesanan online.

Gedung ini, tadinya kupikir adalah tawaran dari Dito. Karena Sheila yang memberitahu. Tapi ternyata ini adalah milik abangnya yang satu lagi. Katanya, ini bekas toko sembako temannya yang sudah tidak dipakai lagi. Karena terlanjur menyetujui untuk melihat-lihat, aku tidak bisa menolak. Bagaimana pun, aku tidak ingin Sheila banyak-banyak memberiku pemakluman. Ini masalah dan kelemahanku. Tentunya, aku tidak ingin melibatkan atau parahnya, memperburuk hubungan dia dan abangnya.

"Ini ruang belakang dulunya buat apa, Bang?"

"Gudang."

"Mau lihat, ah. Yuk, Mo."

"Aku mau lihat ke atas aja. Boleh, Shei?"

Sheila menatapku ragu. "Sendiri nggak apa-apa?"

Aku tersenyum tipis. Dia pasti paham jika aku tidak ingin bersama abangnya. "Nggak masalah."

"Oke, hati-hati aj–"

"Nggak." Abangnya memotong cepat. Dia menoleh padaku, yang membuatku buru-buru menunduk. "Denganku, atau enggak sekarang."

Aku spontan mengangkat wajah kembali. Maksud dia apa?

"Bang."

Dia tidak memedulikan panggilan Sheila dan menajamkan tatapan padaku. "Aku nggak ijinkan kamu naik sendiri."

"Kenapa?" tanyaku, pelan.

"Nggak ada alasan." Dia berbalik, kemudian berjalan ke arah ruangan yang dia sebut gudang tadi. "Ayo."

Aku dan Sheila saling bertatapan heran. Sepupuku ini menyengir, kemudian melangkah mengikuti abangnya. Aku sendiri menghela napas berat, kemudian mengikuti mereka. Lagipula, dia kenapa sih? Kenapa melarangku begitu? Harusnya dia tidak perlu memedulikan apa yang akan dan tidak kulakukan. Memangnya dia siapa?

"Mo!" Sheila berseru ketika aku sampai di ambang pintu. "Ini cocok buat pantry kan?"

Aku memandang ke seluruh sudut ruangan. Cukup sempit, tapi benar kata Sheila. Ini cocok dijadikan dapur. Karena tentunya kami pasti butuh untuk membuat makanan atau minuman.

"Tapi, Mo." Sheila mengangkat ponsel yang dipegangnya. "Kita butuh pasang wifi kayaknya, deh. Nggak ada sinyal dari pas kita masuk. Padahal aku pakai provider paling kuat, lho."

Aku hanya mengangguk-angguk. Mulai menghitung biaya operasional yang akan kami tanggung tiap bulannya.

"Eh, aku lupa!" Sheila tiba-tiba berseru. "Aku mau telepon Beni. Duh, kok kelupaan sih. Aku keluar dulu ya cari sinyal."

Setelah itu, Sheila langsung pergi keluar. Aku langsung bergegas mengikutinya, sebelum menghentikan langkah karena ucapan pria yang sedari tadi berdiri di dekat jendela itu.

"Aku nggak akan cekik kamu."

Aku mematung. Kakiku seperti terpaku di lantai. Bahkan saat sepasang kaki panjangnya mendekat dan berhenti di depanku, aku kesulitan untuk lari. Dan ... telapak tanganku mulai berkeringat.

"Moza." Dia memanggilku lirih. Tatapan tajamnya berubah asing lagi. "Apa aku semenjijikkan itu? Apa aku nggak pantas untuk masuk di penglihatanmu? Apa aku ... nggak pantas setidaknya dianggap ada di sekitar kamu? Apa kamu akan mati, hanya karena berbagi udara denganku? Kenapa kamu begini?"

Dia ... bicara apa?

***

Direpost 01 April 2022

Direpost 17 Maret 2024

Mōichido (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang