Kesadaranku bangkit dengan paksa setelah terdengar jeritan seseorang yang sangat keras. Aku membuka mata, langit-langit bercat putih menyambut pandanganku.
Kulangkahkan kaki menyusuri koridor demi koridor. Aku menyimpulkan ini tempat yang paling kubenci, rumah sakit.
"Siapa yang bawa gue kesini?",desisku mengabaikan rasa sakit yang setia menghujam kepalaku.
Sekitar satu jam telah berlalu. Hanya kuhabiskan untuk menyusuri setiap inci bangunan ini. Satu persatu anak tangga kunaiki hingga kuduga ini adalah lantai ketiga. Namun, sedari tadi tak dapat kutemukan siapa pun.
Tubuhku terkulai lemas bersandar pada dinding. Perlahan kujatuhkan dan kurangkul kakiku.
Kurasakan tubuhku seakan terpental keras. Aroma aspal basah bercampur dengan darah segar menusuk hidung. Mataku berair bersama rintik hujan yang mengguyur tubuh lemasku.
Jika setiap hari aku berbohong bahwa aku ingin tetap hidup, percayalah pada detik ini aku terus terang. Aku benar-benar takut akan mati.
Ada apa dengan tatapan mereka padaku? Seperti tatapan kebencian dan iba. Menjijikkan. Sekedar membawa tubuh ini ke tepi jalan saja tak sudikah mereka lakukan?
Tunggu, dimanakah aku? Bukankah aku sedang berada di rumah sakit? Mungkin ini adalah mimpi. Namun, mengapa terasa sangat ....
Suara decitan ban yang bergesek dengan jalan beraspal terdengar keras dari arah belakang. Mungkin sebagian dari tubuhku sudah tertindas benda tak bersudut itu.
"Tolong .... ",bahkan Mulutku seperti mendadak bisu.
Gelegar petir memacu laju ritme denyutan aneh di kepala. Pandanganku memudar dan menggelap. Rasa takut akan terhentinya nafas menyelimuti diriku. Jika ini mimpi, aku harus bangun!
Kurasakan suatu cairan menyentuh kulitku. Kulepaskan lengan yang melingkar dikaki. Mengusap sumber cairan itu dengan telapak tangan. Aku tak percaya tanganku baru saja turun dari pelipis.
"Darah .... "
KAMU SEDANG MEMBACA
Empty Eyes
Mystery / ThrillerAku tak pernah benar-benar sendiri. Aku berteman baik dengan gelap, sepi, dan mereka yang tak terlihat.