Jakarta
"MASA' sih belon kenalan sama bidadari di sebelah rumah elo?"
Diaz yang sedang mengikat tali sepatu basketnya menoleh ke belakang, ke arah si lawan bicara yang tengah berkacak pinggang. Wajah latinnya tampak kemerahan, bermandikan peluh. "Bidadari?" ulangnya, tidak terlalu tertarik—dan merasa label itu terlalu berlebihan.
AJ meneruskan kalimatnya, bersemangat. "Katanya cantik, jek. Baru pindah seminggu yang lalu ke kompleks kita."
Diaz tertawa kalem, mencerminkan pribadi introvertnya. "Serius? Bisa aja lo bikin penasaran," tukasnya. Ia bangkit dari posisi jongkok, merasa sudah pulih dari rasa lelahnya setelah bermain selama enam puluh menit tanpa henti. "Siapa namanya?"
"Adrianna Sistania. Sisy." Secepat kilat Aska merebut botol air mineral yang hampir diminum Diaz, membuat sobatnya ini mengumpat pelan dalam bahasa Spanyol, bahasa kedua yang dikuasainya selain Indonesia.
"Sisy," ulang Diaz, tampak berpikir, mereka-reka seperti apa perawakan si pemilik nama. Namanya manis juga, akunya dalam hati. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar nama itu, walau sampai kini mereka belum pernah berjumpa.
Aga bergabung di situ sambil melilitkan sebuah handuk kecil bergambar Crayon Sinchan di leher. "Kompleks kita 'kan udah garing nih. Kekurangan cewek. Jadi, ada sentuhan anak SMA sedikit pastinya seru."
"Kenapa nggak dimulai dengan jodohin adik elo ke kita-kita, Ga? Nina 'kan masih SMA, cantik lagi. Tapi, sayang abangnya kayak begini. Sok protektif. Bisa-bisa jadi perawan tua dia!" semprot AJ ke Aga penuh emosi, yang diikuti gelak tawa teman-temannya.
"Iya, Ga. Sekali-sekali bawa Nina ke sini kek! Siapa tau jodohnya gak jauh-jauh sama kita juga!" timpal Igo.
"Bisa berantakan masa depan adek gue ketemu laki-laki kayak elo semua," komentar Aga, horor membayangkan adik bungsunya berada di antara kerumunan garang macam ini.
Suasana sore di Bintaro Lakeside hari ini bisa dikatakan sama seperti hari-hari sebelumnya; para pemuda penghuni kompleks ini asyik bermain basket sampai keringat membuat baju bisa diperas bak kain pel, diselingi candaan mulai dari yang konyol sampai yang jorok.
Diaz adalah bagian dari komunitas seru itu. Dengan tinggi hampir seratus delapan puluh senti, ia termasuk menjulang di antara teman-temannya. Rambutnya hampir cepak, baru saja dicukur setelah lima bulanan dibiarkan agak gondrong, tak terurus, dan sempat dikira sarang kelabang—tak hanya kutu—oleh para sobatnya! Alasannya klise dan terkesan tidak kreatif: terlalu sibuk dengan urusan kuliah Teknik Industrinya di Universitas Richmond Indoesia. Kulitnya tampak putih untuk potongan yang sering terbakar sinar matahari saat bermain basket. Rahangnya tegas dan parasnya tidak biasa; darah Latin yang mengaliri tubuhnya penyumbang terbesar itu. Singkatnya, di mata cewek Jakarta kebanyakan, ia ganteng.
Hampir tiap hari Diaz berkumpul bareng teman-temannya yang sebagian besar anak kuliahan... dan jomblo. Tiga di antara mereka sudah bekerja. Salah satunya bernama Fey, seorang pegawai di perusahaan multinasional asal Amerika, Procter & Gamble, atau lebih dikenal dengan singkatan P&G.
Diaz merupakan silent contributor di antara mereka; lebih sering menikmati kesendiriannya di tengah riuh-rendah suasana. Ia berbaur dengan mereka, tetapi tidak seratus persen melebur di dalamnya. Ia tahu semua yang tengah terjadi; bagaimana Igo tak pernah bosan jadi penyemangat, atau Aska, Ishak, dan Aga yang selalu jadi paling ribut dan saling mengejek satu sama lain, AJ yang doyan menggoda dirinya, sampai Fey yang kerap bersikap sok tua lantaran memang paling tua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Hujan
Teen FictionAmor es mentira. Cinta itu bohong. Berantakan sudah hidup Diaz Hanafiah, cowok dingin berdarah Indonesia-Meksiko. Setelah selama ini merasa tidak nyaman berada di antara para sepupu yang kaya raya, glamor, dan bagian dari socialiteJakarta, ternyata...