Aku dan Wira dipertemukan kembali dimana bisa kita sebut tempat semua orang akan berpergi dan berpulang. Menuju di tiap kota dari keramaian di terminal pemberangkatan bus kota Surabaya. Seketika langkahku terhenti oleh seseorang yang menarik selendang kecil yang sengaja kuikat pada lenganku. Hampir saja aku maki sosok lelaki yang berusaha menarik selendang usang favoritku itu, namun ku urungkan. Lelaki berkemeja klasik itu menatapku berharap seakan akulah orang yang selama ini dicarinya. Tentu saja aku mengenalnya. Wajah yang mirip dengan seseorang yang pernah menjadi bait dalam puisiku.
"Kau kah itu Nda?"
Matanya seolah menyuruhku untuk mengatakan ya benar. Suaranya masih terdengar mirip dengan seseorang yang ku kenal. Suaranya sudah berubah menjadi laki-laki dewasa. Aku tidak bisa menyangkal bahwa aku mengenal lelaki yang kira-kira 15 cm lebih tinggi dariku, yang kini berdiri tepat didepanku. Mampus kau Adinda. Tuhan tolong aku, buat aku lupa ingatan 10 detik saja. Aku ingin kabur. Namun tidak mungkin. Tangan laki-laki itu masih menggenggam erat selendang usangku. Tetap fokus. Aku menelan ludah yang memang belum kulakukan sejak lelaki tadi menyebut namaku, mencoba agar aku bisa tenang.
"Wir."
Hanya satu kata yang keluar dari mulutku yang dari sekian detik dia menunggu jawaban dariku. Itupun entah darimana jawaban itu berasal. Hanya keluar saja dari mulutku. Mungkin karena dia Wira, dia bisa memberiku sinyal jawaban. Sudut bibirnya terangkat, dia bernafas lega. Namun isi kepalaku masih berfikir apakah juga harus ikut mengangkat sudut bibirku, atau memilih melangkahkan kaki untuk berlari agar tak bisa lagi kulihat wajah yang sudah 6 tahun menghilang dari pandanganku.
"Aku tau itu kamu dari kejauhan Nda, apa kabar?" katanya sambil terengah.
"Baik Wir."
Tangannya yang harus kukatakan lagi, bahwa masih menggenggam selendang usang yang terikat pada lenganku, dia angkat lalu ditunjukkannya padaku. Sambil berkata.
"Aku mengenalmu dari kejauhan karena ini Nda."
Tuhaaaaaan. Entah apa bisa aku sebut ini sebuah kebetulan yang baik atau tidak. Kebetulan yang baik karena aku dan Wira dipertemukan di tempat keramaian. Hingga tak bisa dia dengar bahwa jantungku sudah berdegup kencang sejak pertama kali dia sebut namaku. Sedangkan kebetulan buruk nya adalah karena aku sedang ingin memakai selendang usang warna merah tua. Selendang yang pernah jadi hadiahku karena pernah melakukan hal yang baik kata si pemberinya. Entah hal baik apa itu aku lupa. Sebetulnya sudah aku simpan dengan rapi di lemari, tapi entah kenapa hari ini aku benar-benar ingin memakainya.
**
Hari ini akan aku nobatkan sebagai hari minta tolong yang banyak sama Tuhan. Tuhan tolong aku, apa yang harus aku katakan padanya. Aku sudah berjanji tak akan ada lagi kalimat tanya antara aku dan dia. Tolong buat otak ku berhenti memikirkan kalimat tanya yang membuatku tahu apa yang terjadi padanya selama ini. Bait-bait puisi yang pernah ku ciptakan untuknya sudah ku lipat menjadi sebuah perahu kertas dan terhanyut bersama aliran sungai yang mengalir. Aku tak akan bisa lagi menemukan hal berlalu, pun tak akan bisa menata kisah yang sudah ku ikhlaskan pada semesta. Sudah kutitipkan pada semesta kisah Wira, lalu kukatakan pada semesta untuk menyembunyikan itu semua.
**
"Kamu mau kemana Nda?"
"Aku tidak akan kemana-mana Wir."
"Adinda Fahiraaa, kamu mau kemana?"
"Wira Ramadhani, aku gak mau kemana-mana."
"Iya iyaaa dehhh, hanya sedang mengetest kamu saja kok, apa masih ingat namaku atau tidak, gak benar-benar bertanya banget kamu mau kemana kok."
YOU ARE READING
WIRA
Teen FictionUntuk membuka kembali kisah yang tertulis indah dalam sebuah kertas berkerut memang cukup sulit. Bagaimana mungkin sebuah kisah yang sudah berakhir dengan baik, dan yang sudah tersimpan rapi dalam sebuah kotak yang kita sebut dengan memori, kembali...