Hanya Bisa Bersama. Namun, Tak Bisa Bersatu

5 1 0
                                    

Namanya Salma, dia gadis yang sangat cantik. Kecantikannya telah terpancar sejak dia masih kanak-kanak. Kami dibesarkan bersama dalam satu atap. Dia sangat tergantung padaku. Aku menyayangi dan berjanji selalu melindunginya.

Aku ingat saat kami bermain di sungai. Ayah mencari kami ke mana-mana, orang satu kampung ditanyainya. Akan tetapi tak ada yang tahu di mana kami saat itu. Hingga akhirnya, ayah meminta bantuan warga untuk mencari kami.

Betapa murkanya ibu saat mengetahui kami bermain di sungai ini. Ibu memarahi aku habis-habisan. Dia menyalahkanku karena mengajak Salma bermain ke sungai. Aku tahu, akulah yang salah, padahal mereka telah melarang kami bermain di tepi sungai dengan alasan, takut tenggelam lah, kotorlah, joroklah, dan banyak alasan lainnya.

"Yah ... Bu, aku yang salah. Mas Puguh hanya menuruti permintaanku, meskipun dia menolaknya, tapi aku yang memaksanya." Salma membelaku. Aku hanya bisa menunduk, tak berani menatap netra ayah dan ibu. Sedang emak hanya diam saja. Selalu seperti itu jika ibu memarahiku.

Aku tahu aku memang salah, mengajak Salma main di sawah lalu ke sungai. Aku lihat dia sangat bahagia tadi bermain lumpur hingga tubuhnya penuh dengan tanah. Meskipun begitu, kecantikannya masih tetap terpancar.

"Sudah ... sudah, Bune. Salma dan Puguh sudah mengakui kesalahannya." Ayah selalu bijaksana, dialah yang selalu membelaku jika ibu marah-marah. "Puguh, Salma, ayo pulang!"

Warga pun bubar, tak lupa ayah mengucapkan terima kasih kepada mereka karena telah membantu menemukan kami.

***

Sore di lapangan pinggir kampung, Salma menanggis. Ternyata dia diganggu oleh anak kampung sebelah. Aku sebagai kakak merasa tak terima, maka tak terelakkanlah perkelahian diantara kami. Meski mereka berlima, aku bisa mengalahkan mereka. Karena sejak kecil aku memang suka menoton film tentang perkelahian, aku pun latihan sendiri dari gerakan-gerakan mereka itu saat sendiri di kebun belakang rumah. Jadilah aku anak yang jagoan di kampong ini.

Salma pun memelukku, dia merasa nyaman dalam dekapanku. Kubelai rambutnya yang hitam berkilau diterpa matahari senja.

"Untung Mas Puguh datang, coba kalau Mas tak datang menghajar mereka, tentunya mereka terus gangguin aku."

Aku hanya tersenyum. Aku tak rela saja, jika ada yang berbuat jahat pada Salma. Kami pun pulang. Betapa terkejutnya, saat aku melihat ayah sedang berbicara sama seseorang, dan orang itu menunjuk-nunjuk aku. Kami pun langsung berhenti.

"Nah, itu anaknya yang menghajar Bowo." Lelaki tua itu menunjuk ke arahku dengan mata memerah. Aku tak takut, karena aku merasa benar.

"Benar apa yang Pak Renggo katakan, Puguh?"

Aku mengangguk. "Tapi mereka yang salah, Yah. Mereka mengganggu Salma hingga menangis, aku hajar mereka karena tak terima Salma dinakalin."

"Benar, Yah. Mereka layak mendapat hukuman. Mas Puguh tak salah, dia hanya membelaku," Jawab Salma.

Terlihat Bowo menunduk di balik punggung ayahnya. Pak Renggo mencengkeram krah baju Bowo dengan menatapnya tajam.

"Benar apa yang mereka katakana, Wo?"

Bowo tak berani menjawab. Diamnya itu sudah merupakan jawaban bagi pak Renggo.

"Maaf, Pak. Bapak dengar sendiri, jika anak-anak saya bersalah, saya sebagai orang tuanya, minta maaf." Ayah tersenyum.

Pak Renggo dan Bowo pun berlalu dari rumah setelah meminta maaf pada ayah.

***

Hingga kami remaja pun selalu bersama-sama. Di mana ada Salma, maka di situ pula aku berada. Salma tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Tak ayal banyak pemuda yang jatuh cinta padanya. Namun, hingga saat ini Salma masih cuek saja dan tak mau menanggapi rayuan-rayuan mereka.

***

Suatu hari saat liburan sekolah, kami berada di kebun habis mengambil hasil kebun. Namun, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Petir pun menggelegar. Aku lihat Salma menggigil kedinginan karena angin bertiup sangat kencang. Tanpa sadar kami sudah berpelukan erat. Dadaku bergetar lebih kencang, darahku tiba-tiba berdesir. Entah ada rasa yang tak bisa aku katakan mendadak mendobrak hasratku.

Salma mendongakkan kepalanya, menatapku dengan sendu. Jantung kian berdetak makin kencang, entah bisikan apa yang membuatku menundukkan kepala, dan menicium bibirnya. Begitu tersadar, aku langsung beringsut dan melepaskan pelukannya.

"Maafkan kelancangan Mas Puguh, Ma!" ucapku sambil menunduk. 'Rasa ini tak boleh hadir, aku harus tahu diri,' ucapku dalam hati. Namun, seolah Salma mendengar pikiranku.

"Mas Puguh, aku sayang sama Mas, aku ingin selalu dekat dengan Mas."

"Aku juga sayang sama Salma."

"Jangan pernah tinggalkan aku, Mas!" Dia kembali memelukku, anehnya tanganku pun memeluknya.

Sejak saat itu, rasa cinta tak dapat aku tutupi lagi. Apalagi setelah aku pun tahu, cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Namun, kami tetap merahasiakannya dari orang tua kami.

***

Hingga akhirnya, suatu hari emak tak sengaja mendengar percakapan kami. Malam harinya emak pun menginterogasiku.

"Puguh. Emak tahu kau sudah besar. Sudah lulus SMA. Tolong jauhi Salma, emak tak mau kau nantinya kecewa." Emak menghela napas dan menatapku sedih, ada rasa sesal tampak dari netranya.

"Tapi kami saling mencintai, Mak."

"Aku tahu, Guh. Tapi jangan rusak hubungan baik ini. Kamu harus tahu diri, siapa Salma dan siapa dirimu!"

Aku menghela napas. Hal ini pernah aku pikirkan. Ayahnya Salma telah menganggap aku sebagai anaknya sejak bapak meninggalkan kami. Kasih sayangnya sama persis dengan yang diberikan Salma. Tentunya hatinya akan terluka, jika tahu anak yang dibesarkan dengan kasih sayang malah merusaknya dengan mencintai putri satu-satunya.

Aku harus mengalah dengan kondisi ini. Agar hubungan ini tidak berlanjut, aku harus pergi jauh dari Salma. Merelakan cintaku yang sedang hangat-hangatnya dan menguburnya dalam-dalam.

***

Dengan banyak pertimbangan dan dukungan dari ayah, aku memutuskan untuk mendaftarkan diri ini kes sekolah militer. Alhamdulillah aku diterima.

Aku mengajak Salma bertemu di tepi sungai yang banyak meninggalkan kenangan buat kami berdua. Tampak netranya berkaca-kaca setelah mengetahui aku akan pergi darinya.

"Mas Puguh beneran akan meninggalkanku?"

"Semua demi keluarga kita. Kita ini adalah sepasang sepatu, selalu bersama tak bisa bersatu. Aku sang sepatu kanan dan kamu sang sepatu kiri. Kita terasa lengkap bila kita berdua, terasa sedih bila kita di tempat berbeda." Salma makin terisak. "Kita sadar ingin selalu bersama, tapi tak bisa apa-apa. Salma, di dekatmu jiwaku bagai di nirwana. Namun, aku sadar, diri ini siapa. Semoga kau menemukan cinta yang sesungguhnya. Tak semua cinta bisa bersatu. Namun, yakinlah aku akan tetap menjadi kakak terbaik buatmu!"

Kami pun saling berpelukan, tangis Salma pun pecah. Aku harus kuat agar Salma pun kuat.

🎉 Kamu telah selesai membaca Hanya Bisa Bersama. Namun, Tak Bisa Bersatu 🎉
Hanya Bisa Bersama. Namun, Tak Bisa BersatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang