Betiring
2018Angin sore menerpa lembut, meningkahi hangat senja yang menyelimuti penjuru arah, menawarkan damai di kampung betiring.
"Anakmu Kok" tanyaku pada pria di hadapanku, ia memangku anak kecil berusia sekitar dua tahun. kami sedang cangkrok di gerdu sore itu. Gerdu itu memang tak jauh dari rumahnya, dulu waktu kecil, kami sering bermain dasdasan dengannya di gardu itu selepas menonton pilem wiro sableng di rumahnya.
"Hyo Ril, ganteng yo" ujarnya sumringah. Gurat senyumnya tak menghilangkan kesan garang di wajahnya, dengan brewok tipis yang menutupi separoh dagu sampai pipi.
Aku tertawa tipis, anak itu memang tampan, seperti pria itu saat kecil dulu, tatapan yang tajam dipadu dua alis yg tersambung bulu-bulu halus, ia bak kopian bapaknya. Sangar.
Aku baru pulang dari bogor beberapa hari yang lalu, dan baru hari ini kami bertemu, sementara dia, baru pulang dari malaysia, sudah hampir lima tahun kami tak pernah berjumpa. Ia masih garang seperti dulu, di malaysia badannya ditempa lebih liat, ngapal di tangannya lebih tebal, dari kecil dia memang terobsesi dengan kekuatan, setelah menonton pilem kartun don kingkong.
Dengan wajah sangar seperti itu, ia ditakuti teman seusia kami, tak ada yang berani mengganggunya, jika bermain perang-perangan setelah ngaji di masjid baiturrahman ia tak terkalahkan. Senjatanya adalah sarung yang diplintir kemudian diikat ujungnya seperti pentungan, ditambah kekuatannya, bagi kami sarung itu bak cemeti amarasuli yang meluluhlantakkan nyi lampir.
"Pirang taon Kok?". Aku mencubit pipi anak itu, lalu menggendongnya di pangkuanku. Ia tertawa, gembira menarik-narik jenggot di daguku.
"Loro Ril, laher ndek malaysia", ia menyerahkan dot susu anaknya padaku, jaga-jaga jika nangis.Aku sendiri belum menikah, setelah selesai mondok, aku pergi ke bogor, mencari hidup gratisan di sana, mengerjakan apa saja, makan apa saja, tidur di mana saja.
Sesekali aku pulang menjelang lebaran, merayakan dengan keluarga dan bernostalgia dengan sawah, angin dan masjid tempatku menghabiskan maghrib dengan mengaji dan bermain. Tak banyak kawan masa kecilku di sini, mereka telah berpetualang, menjelajahi luasnya rezeki, mengadukan seluruh kehangatan yang jauh dari rumah. Pria ini salah satunya.
Maka aku senang saat kami bertemu di gerdu, dia memang telah berubah lebih bijaksana daripada dulu, hidup menemukan kebijakannya, tapi kami masih memandangnya sama. Badan yang liat, brewok lebat dan senyum khas penjahat. Pria ini, kami semua di kampung memanggilnya Belkok.
"Along kok ndek malyasia?" Tanyaku. beberapa penduduk kampung yang lewat sepulang dari sawah menyapa kami dengan anggukan. Kami balas dengan senyum. Kampung ini masih seramah dulu, tak banyak berubah, hangatnya, aromanya, hanya berbeda di beberapa bangunan rumah, dulu masih berdinding anyaman bambu, sekarang kokoh berbata batu.
"Yo ngono Ril, kenek gae ngapiki omah". Jawabnya. Ada parau di suaranya. Lima tahun bukan waktu yang sebentar, tapi tak bisa juga dibilang lama. Di malaysia ia mengadu nasib demi secercah cerah, bertani tak lagi sanggup menjadi andalan, maka merantau adalah oase paling masuk akal. berada jauh dari kampung halaman, membuatku tau. Semuanya tak mudah.
Akan selalu ada rindu pada rumah, pada gelak tawa saat cangkruk bersama kawan lama, selepas seharian berendam dalam garapan sawah, ditingkahi secangkir kopi dan kepulan tambakau di selip jari, Sore akan selalu lebih mengena di hati.
"Betah ndek bogor awakmu?" Aku tersenyum, sepuluh tahun lalu aku pertama ke sana, entah apa yang membawaku, sejak terakhir kali aku naik kereta api, aku selalu ingin mengulanginya lagi, ketika seorang kawan mengajakku ke bogor, aku mengiyakan tanpa berpikir dua kali. Kami berangkat naik kereta dari surabaya.
Lalu sekarang, sepuluh tahun berlalu."Gak betah yo ra sampek sepuloh taon kok" Jawabku.
Bersambung