01

8 0 0
                                    

Di dalam sistem kepercayaan keluarga Alya, pamali menolak lamaran seseorang. Karena setelahnya akan sulit untuk mendapatkan jodoh. Katanya.

Karena kepercayaan konyol itulah, Alya berada disini, di atas bukit bersama 2 cup pop mie kari dan setoples sosis beralaskan terpal dengan selimut yang membalut tubuhnya.

Setelah diskusi panjang dengan kedua orang tuanya tentang lamaran mendadak yang dilakukan oleh Faizal, orang tua Alya tidak berhenti menanyakan kesiapannya. Dan untuk merenung dan mengembalikan akal sehatnya, Alya memutuskan untuk camping bersama 3 sahabatnya, Arrayan, Malik dan Tissa.

Bukan apa-apa, masih jelas diingatan Alya, semasa KKN dua bulan lalu bersama Faizal, dia tidak terlalu akrab dengan anak sultan berbada jangkung berkulit putih dengan mata sipit itu. Tidak banyak yang Alya ketahui tentangnya, selain dia dari fakultas kedokteran gigi dan merupakan anak pemilik toko tekstil berbagai cabang di kotanya. Itupun cerita tentang toko tekstil dia ketahui dari hasil curi-curi dengarnya dari salah satu teman posko KKN yang Alya curigai memendam rasa terhadap pria tersebut.

Izal adalah sapaan akrabnya di posko, manusia paling loyal yang tak segan mengeluarkan uang demi memenuhi asupan gizi teman poskonya. Satu lagi, senyumnya sangat manis. Itu kata teman posko lain yah, bukan kata Alya.

Hanya itu yang bisa Alya jelaskan tentangnya. Sekarang Alya baru menyesali, kenapa sebulan masa KKN nya tak ia gunakan untuk mengenali ke 12 teman poskonya.

Tersadar dari lamunan panjangnya ketika patahan ranting terdengar dari sisi kiri. Ranting yang tak sengaja diinjak oleh Ray yang baru saja kembali mengangkut air untuk persediaan wudhu solat isya ke 3 kawannya.

"Lo udah kayak nenek-nenek tau nggak, Ya. Mikir sampe tuh jidat berkerut!" Celetuk Ray dengan tangan yang sibuk menuang air ke wadah yang lebih lebar. "Benar kata ibu, niat baik harus disambut baik. Nikah juga bukan dosa kok, Ya!" Lanjutnya seraya duduk di samping Alya mengatur kayu bakar untuk api unggun mereka.

"Benar, Ya." Malik keluar dari teda dengan secangkir kopi di tangannya. "Lagian apasih yang lo tunggu, kita juga udah semester 7 sekarang. Untuk jalan yang lebih serius emang udah pantas banget, sih." Lanjutnya retorik.

Alya tersenyum masam. Ia memaju mundurkan kakinya pada tanah yang ia pijak lalu mendongak ke atas. "Gue cuma bingung untuk terima semua ini. Kenapa dia coba?" Alya menarik nafas dalam-dalam, menghalau embun yang entah mengapa tiba-tiba muncul di sudut matanya.

"Gue jujur merasa insecure. Sedikit gue tau tentang dia, dan dari sedikit itu gue nggak percaya dia mau sama gue. Haha." lanjutnya kali ini sembari melempar ranting-ranting kecil ke api unggun di depannya.

Malik dan Rayyan diam saja, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Tis, gimana kalo lo ada di posisi gue? Tiba-tiba dilamar sama orang yang 'nggak lo kenal'?" Tanya Alya pada Tissa yang sedari tadi sibuk dengan energen kurmanya.

Tissa sejenak tampak berpikir, kemudian menyeruput lagi energen kurmanya yang disertai dengan bunyi srrruup.

"Gue pun bakalan bingung mungkin, Ya." balasnya sembari meletakkan mug berlogo piala dunia brazil andalannya ketika camping. "Tapi, gue mau-mau aja kalo cowoknya kayak si Izal. Tampan, kaya, pelukable, man..adooh!" Tissa tak menyelesaikan kalimatnya namun mengaduh karena kepalanya di tutup sarung sama Rayyan.

Tissa, sahabat baiknya yang tidak pernah berpikir panjang dan tidak solutif. Nggak guna emang.

Kian malam dingin kian menyongsong, jika ketiga temannya sudah ngorok ditenda masing-masing, Alya masih duduk di depan tenda pink miliknya dan Tisa, tidak usah ditanya Tisa dimana, dia tentu sedang berlari-lari di alam mimpinya.

Alya merenungi beberapa hal, seperti,
"Kenapa tiba-tiba Izal melamarnya?"
"Apa yang Izal lihat dari dirinya?"

"Dan kenapa juga harus gue?"

Alya jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain tentu tidak seberapa. Wajah kusam ditumbuhi bruntusan, jerawat, komedo di hidung bahkan di sudut bibirpun ada. Sungguh tidak ada yang spesial. Badannya yang hanya 150 cm dengan lemak yang lumayan banyak.

Jika ingatannya ia putar ke masa KKN nya lagi, di poskonya dulu, dia lebih dekat dengan Ruli. Ruli yang kocak dan paling rajin mengantar teman-teman perempunnya belanja ke pasar salah satunya Alya. Sedangkan Izal, dia jarang bersinggungan dengan lelaki itu.

Terus sekarang...kok?

Alya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa si Izal salah orang, yah?" gumamnya sembari mencorat coret papan dengan arang sisa pembakaran.

Alya beranjak ke tenda, didapatinya Tisa meringkuk kedinginan karena selimutnya terbang entah kemana, ciri khas Tisa kalau tidur. Ia menarik selimut bergambar MU yang membelit kaki Tisa dan memasangkannya. Tidak lupa ia membentangkan selimutnya sendiri lalu membaringkan diri menghadap ke arah pintu tenda yang sengaja tak ia tutup.

Alya masih setia melamun, memandangi bintang yang sangat jelas terlihat dari puncak gunung ini.

Lamunan Alya buyar ketika  handphone nya berbunyi. Setelah sekian lama, mungkin ada keajaiban sehingga ponselnya mendapat sinyal mengingat ia berada di gunung.

Dan lebih ajaib lagi pesan itu berasal dari nomor dengan nama kontak "Faizal Caesar FKG". Begitu Alya menyimpan semua kontak teman poskonya semasa KKN. Disertai dengan fakultas di belakangnya.

From : Faizal Caesar FKG
Ya! Mau ketemu aku, nggak?

Faizal, menghubunginya. Malam-malam. Bukannya tertidur lelap, Alya terjaga dan tak membalas pesan Izal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Izal's WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang