Rindu

409 81 7
                                    

Johnny x Ten

Claertesquieu 2020

Berkisah ketika si malaikat lelah mengepak sayap dan berhenti sejenak untuk berdiam diri. Amatlah terkejut ia melihat raut rupawan melintas dengan bibir riang memikat. Tidak sadar, dua sudut bibirnya terangkat tersipu dan kembali sayapnya mengepak, membuntuti si rupawan yang mendinginkan diri, membiarkan tubuhnya tersandar di pohon rindang sembari melantun melamun hingga menutup mata untuk mendengkur sesaat.

Indah sekali.

Sangat jarang ia melihat makhluk bumi yang indahnya begini. Umumnya indah hanya dimiliki oleh mereka yang berasal dari surga, tetapi nyatanya tidak juga.

Syahdan, mulai hari itu, senggang waktu terurai menjadi pengamatan penyejuk kalbu.

***

Ten.

Telinga menangkap nama si rupawan ketika kawannya memanggil. Sederhana, singkat dan mudah untuk diucap. Mudah pula untuk diintip takdirnya dibalik tabir rahasia langit. Sayangnya ia enggan, ia lebih memilih untuk mengikuti alur layaknya air mengalir. Membiarkan dirinya terkejut dengan jalan hidup si pujaan terpendam.

***

Kelabunya langit mengiringi jalan pulang si pujaan hati. Jalannya pelan, kepala tertunduk tanpa peduli pedestrian yang tersinggul dan mengumpat. Terheran-heran, ia mengikuti hingga si pujaan hati membiarkan badannya yang basah terduduk diam dengan tangisan yang tertahan.

Oh, rupanya hatinya sedang patah.

Tidak lagi memiliki yang terkasih untuk mendampingi seringkali membuat manusia berada di titik terlemah. Ia tahu. Sebabnya, ia tidak beranjak. Sayapnya ia simpan dan membiarkan kakinya berpijak. Langkahnya mendekat, begitupun tangan yang terulur mengusak rambut yang lecap akan air hujan. Dia memang bukan yang terkasih, bukan pula yang presensinya bisa dipandang diri.

Tetapi, dia selalu di sini untuk mendampingi.

***

Waktu berlalu seiring bumi yang tidak berhenti berevolusi. Usia boleh semakin bertambah, kulit boleh saja tidak lagi sekencang waktu muda. Tetapi senyum itu, senyum itu masih tetap sama. Masih mampu membuat sayapnya tertegun untuk sejenak memuja.

Silih berganti manusia terpikat dan menjadi terkasih karena senyum si rupawan. Sayangnya, tidak ada satupun dari mereka yang sanggup menjadi pemuja yang taat hingga akhir hayat. Mudah sekali mereka tergoda dan mudah sekali bagi mereka untuk mengucapkan kata lelah dan akhiri sudah.

Bahkan ketika ia yakin pada akhirnya sang pujaan hati akan dicintai hingga masa tua, ketika akhirnya salah satu pemuja mengikrarkan diri untuk menjadi pasangan sehidup semati, semuanya hanya bertahan sementara. Seolah bobot ikrar janji yang mereka ucap di altar tidak ada artinya.

Memang betul yang mereka katakan, tidak ada pemuja sebaik para malaikat.

***

Ten usia tiga puluh lima telah menjadi lelaki yang dicintai oleh rekan-rekan kerja. Kecupan rutin sebagai sapaan setiap pagi dan sore ketika punggung lelah memanggil meminta istirahat tidak pernah sekalipun terlewat.

Hari ini pun begitu, ketika hari sudah mulai gelap dan semua kecup sudah memenuhi pipi, si pujaan hati berjalan perlahan di trotoar yang setengah membeku. Jaketnya ia rapatkan, kedua tangannya ia simpan di saku. Dia berjalan dengan penuh kehati-hatian, sayangnya tidak dengan pengendara yang masih melaju cepat seperti bajingan.

Syahdan, ban tergelincir dan tabrakan terjadi. Tubuhnya terhempas, menabrak ujung lancip yang membuat darahnya semburat menyapa keluar, membasahi jalanan dan menggantinya dengan warna merah.

Kerumunan berkumpul, sirine berkumandang. Tetapi yang bersayap tahu jika sang pujaan hati sudah memasuki alam yang baru.

***

Ia baru tahu apa makna bosan ketika harus menunggu. Ia tidak bisa berkunjung ke tempat para jiwa yang disucikan, jadi dia hanya bisa menunggu, menunggu dan menunggu hingga jiwa sang pujaan hati akhirnya bangkit.

Tidak pernah ada kata lelah, yang ada hanya rindu yang kian lama kian menggebu. Ia rindu dengan senyum teduh yang mampu membuat dirinya terdiam tertegun, rindu dengan mata yang berkelip indah ketika ia tengah bahagia, juga rindu untuk menyentuh rambut yang basah ketika hujan mampir menyapa.

***

Ia berdiri di depan perbatasan dengan senyuman yang tak mampu ditahan. Sayapnya mengembang lebar, seolah turut bersuka cita atas penantian ribuan tahun yang pada akhirnya terbayar sudah. Dilihatnya sang pujaan hati berjalan pelan, melangkah ke depan pintu surga dengan penuh kehati-hatian.

Mulut bergerak, bermaksud menyapa namun sayang belum sampai kata keluar, sang pujaan hati memotong mendahului.

"Johnny?"

"Johnny?" Ia mengulang, tidak paham.

"Kau malaikat penjagaku, 'kan? Aku sering melihatmu, terlebih saat aku sedih atau saat aku kehujanan. Aku tidak tahu namamu, jadi kuputuskan untuk memberikanmu nama Johnny. Aku juga sempat melihatmu saat aku mati. Terima kasih, ya. Kau telah menjagaku selama ini. Oh iya, aku mungkin harus berhenti memanggilmu Johnny karena aku yakin itu bukan namamu. Apa aku boleh tahu nama aslimu?" Ujarnya, berseri. Masih penuh dengan celotehan sama seperti saat dia masih hidup dulu.

Yang bersayap tidak tahu kenapa matanya basah, mungkin karena pusat kerinduannya kini telah di depannya sudah. Sama sekali tidak berubah, masih tetap sama. Senyumnya semakin mengembang seiring dengan sayapnya yang merengkuh sang pujaan hati dengan hangat.

"Namaku Johnny, kau benar, namaku Johnny."

Fin.

Rindu || JohnTenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang