01 🏝️ || Started

30 6 1
                                    

Sosok gadis berambut tanggung kini sedang berjalan dekat pesisir pantai. Banyak sekali orang-orang yang membuka mulutnya dan menganga akan kecantikannya. Gadis remaja berusia sekitar 16 tahun itu membentangkan tangannya dan menikmati indahnya sinar matahari pagi.

Hari yang indah seakan-akan segera sirna. Matahari pagi yang indah terhalang oleh awan yang gelap. Apakah akan terjadi hujan lebat? Gadis itu tidak sempat berpikir panjang dan ingin segera pergi dari pantai itu.

"Sayang sekali, harusnya aku dapat berada di sana lebih lama," katanya.

Tik ... tik ... tik ...

Awan gelap itu mulai menangis, gadis itu harus segera pulang. Dia berlari menuju pulang dengan kecepatan sedang. Tanpa dia sadari Paman Quant memanggil dan mengajaknya untuk naik ke kapal.

"Karina! Ayo, ikut Paman," ajak Paman Quant dengan setengah berteriak.

"Paman Quant?"

Gadis itu mendengar suara familiar, yakni suara dari Paman Quant. Gadis yang memiliki nama Karina Windy tersebut segera kembali dan menghampiri Paman Quant. Hujan semakin deras, Paman itu tidak ingin Karina sakit di jalan.

"Masuklah, Nak."

Kapal Paman Quant dihiasi oleh atap untuk berteduh dan kursi penumpang yang empuk.

"Apakah Paman tidak pulang?" tanya Karina.

"Paman baru saja sampai di pantai, Paman masih ingin berlayar melintasi pantai," jawab Paman Quant dengan senyuman.

Senyuman manis Paman Quant mengingatkan Karina dengan sosok seorang Ayah. Kini ayah Karina telah dipanggil pulang oleh Bapa selama 2 bulan terakhir karena kecelakaan. Meskipun sedih, Karina tetap berusaha kuat, dan hidup bersama Ibunya.

"Paman Quant, jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Karina, gadis cantik itu.

"Walaupun hujan telah menyapa kami di pagi hari ini, bukankah kami harus membalas sapaannya?" jawab Paman Quant.

Sejujurnya Karina tidak paham apa yang dimaksud oleh Paman Quant. Tetapi, dia hanya bisa membalas pamannya dengan anggukan yang menyakinkan.

Paman Quant mengajak Karina berlayar. Gadis remaja itu menganggap pamannya telah gila. Untuk apa menjalankan kapalnya di saat hujan seperti ini? Namun Karina percaya kepada Paman Quant, adik laki-laki Ibu. Beliau yang telah menemani mereka selama 2 bulan terakhir ini.

"Kalau saat gerimis seperti ini, saat berlayar bisa terasa lebih sejuk," sambung Paman Quant.

"Oh, iya, Paman."

Seperti yang biasa Karina lakukan, diam, dan percaya kepada Paman Quant. Untuk beberapa saat tidak terjadi perubahan apapun. Namun saat mereka berada di tengah pantai, cuaca kian memburuk dan terjadilah hujan yang cukup lebat.

Zrass ... zrass ... zrass ...

"Oh, tidak! Paman, hujan sudah semakin lebat!" akhirnya Karina mulai membuka suaranya.

"Ah, Paman akan berusaha ke tepian," ucap Paman Quant dengan gelisah.

Sepertinya usaha Paman Quant sia-sia. Paman Quant sudah berlayar terlalu jauh dari pesisir pantai. Kini mereka sedang berada di tengah lautan luas. Butuh waktu yang cukup lama untuk ke tepian.

Ombak sudah mulai datang dan menyapa kegelisahan mereka. Kini ombak seakan-akan telah menjadi hal nomor satu yang paling ditakuti oleh para pelayar.

"Aaaaaaa!" teriak mereka.

Kapal mereka terombang-ambing di tengah lautan dan mulai tidak aman. Akhirnya angin menghembuskan tiupan kerasnya kepada kapal kecil tersebut dan kapal Paman Quant berhasil terbalik. Untungnya, mereka berdua bisa berenang, mereka berusaha berenang sekuat tenaga.

Namun lagi-lagi, takdir berkata lain. Ombak dan aliran air tersebut telah memisahkan Karina dengan Paman Quant. Karina semakin dibawa arus dan mereka berdua terpisahkan.

"Paman! Tolong Karina!" gadis itu menangis keras, meminta bantuan pamannya.

Paman Quant juga tidak dapat membantu banyak. Diri sendiri belum bisa diselamatkan, bagaimana bisa menyelamatkan keponakannya? Mereka sungguh-sungguh mengalami hari yang buruk.

Sepertinya Karina tidak sadarkan diri secara fisik, tubuhnya seakan-akan seperti mati, dan tidak dapat digerakkan. Namun, tetap bisa merasakan sentuhan air dan aliran deras dari ombak.

Tubuhnya dibawa bebas oleh laut yang entah kapan dia akan sampai ke daratan.

Dug!

Kepala Karina terbentur batu. Terbentur cukup keras ....

"Kenapa aku bisa mengapung di air?" ucap Karina dalam hati sambil bertanya-tanya.

"Aku siapa?" sambungnya.

***

"Quant! Bangunlah, kumohon," panggil wanita separuh baya itu sambil berlinang air mata.

"Hah? Aku di mana?" tanya Quant.

"Kamu di pesisir pantai dengan basah kuyup. Sebenarnya apa yang terjadi? Di mana anakku, Karina?" tanya wanita itu yang antara lain adalah Ibu dari Karina, kakak perempuan Quant.

"Kak, maafkan aku. Karina ... dia ...."

"Kenapa tidak dilanjutkan? Aku tanya di mana anakku? Jawab Quant!"

Ibu Karina menangis dengan sangat sedih. Sepertinya telah mengetahui jawaban dari adiknya, Quant tersebut.

Quant mencoba sebisa mungkin untuk menenangkan kakaknya. Walaupun dia tahu bahwa mustahil kakaknya bisa tenang dalam keadaan seperti ini. Kakaknya sudah cukup terbeban oleh kepergian suaminya. Sekarang apa lagi? Anak semata wayangnya pergi meninggalkannya begitu saja ....

"Kak, kita pulang saja. Nanti Karina pasti akan kembali," ucap Quant sambil menahan tangis.

Quant sungguh merasa bersalah. Kenapa dia membawa keponakannya dan berlayar di saat gerimis tadi? Bukankah seharusnya dia tahu jelas, awan tebal yang gelap itu akan menurunkan hujan yang lebat? Tetapi semuanya sia-sia. Semua sudah terlambat untuk menyesali perbuatan yang telah terjadi.

T.B.C

EilandenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang