Bastian, Tahun Keempat

4 1 0
                                    

PART 1

-ketika pertemanan yang sudah kuanggap persahabatan hanya kamu anggap sebagai pelampiasan biasa-

Terpaan angin turut campur dalam kerinduan Catelin sejak awal ia berpisah dengan sahabat lamanya yang kini tidak jelas keberadaannya. SMP adalah masa terindah karena kelengkapan Arsen yang selalu menemaninya. Hari ini tahun yang keempat bagi Catelin untuk duduk di gazebo ini. Tidak ada perbedaan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada akhirnya juga ia akan menangis ketika mengingat sahabatnya yang ia cintai itu.

"Cate!" Seru seorang pria yang sebenarnya sedari tadi sudah berdiri di belakangnya. Namun pria itu memilih untuk diam sambil menunggu. Ternyata Catelin tidak merespon apa-apa.

Catelin terlonjak kaget akan seruan Arsen yang menurutnya kurang ajar. Catelin yang sudah lelah mengingat nostalgia dirinya dengan Arsen, malah buyar hanya karena kejutan dari tetangganya ini.

"Kenapa, Bas? Lo ngagetin!" Tangan Catelin tak hentinya mencubit perut Bastian. Bagaikan ular yang diberi garam, seperti itulah lasaknya Bastian sekarang. Dia merasakan percampuran rasa geli dan sakit dari cubitan mematikan dari Catelin.

"Lo ganggu aja!" Tutur Catelin keras. Tangannya berhenti mencubit perut Bastian. Kini ia hanya bertekuk lutut sambil menunduk.

Jemari Bastian membelai rambut lurus Catelin. Ia tahu semua tentang Arsen dan tanggal ini. 6 Juli 2020, tanggal Arsen meninggalkan Catelin tanpa ada kabar. Hanya meninggalkan surat kecil dan gelang kecil. Menurut Bastian itu yang menyakiti Catelin sampai melamun sejak tadi pagi.

"Besok kalau kita ketemu dia, ajak si Arsen berantem. Pasti kalah dia," ujar Bastian percaya diri.

Kembali ia terdiam ketika tamparan keras Catelin mengenai lengannya. "Jangan macem-macem sama Arsen! Dia sahabat gue!"

Bastian tersenyum miris mendengar kata sahabat. Ternyata Bastian masih dianggap teman biasa oleh orang yang ia cintai ini. Belum sepenuhnya Catelin bisa melupakan Arsen yang jelas-jelas sudah meninggalkannya. Arsen yang sudah berlaku kurang ajar pada Catelin. Sampai sekarang masih saja Catelin menganggapnya sahabat. Hati Catelin benar-benar baik.

Berarti, satu-satunya orang yang Lo bilang sahabat itu Arsen. Thanks udah jujur, Cate, batin Bastian miris.

"Bas, gue mau siap-siap untuk sekolah besok. Setelah 3 Minggu sekolah, gue sama sekali belum melengkapi alat tulis. Nyokap kemarin baru pulang dari Surabaya. Jadinya belum sempat buat milih alat tulis," ucap Catelin. Setelahnya ia benar-benar pergi dari hadapan Bastian tanpa mengucapkan apapun lagi.

Tepukan pelan seakan menyetrum Bastian. Ia memejamkan mata sebentar, berusaha menahan amarahnya yang berkoar karena ulah orang yang ia yakini adalah adik dari Catelin.

"Kak Bastian kenapa diam di sini? Nggak niat untuk makan malam bareng aku? Aku tadi masak banyak, kak. Oh iya, kak. Tadi aku kepleset, makanya aku jalan ke sini pakai tongkat. Ayo kita ke meja makan, kak." Dara menarik tangan Bastian pelan lalu mengambil tongkat kayu yang terlihat hampir keropos.

Bastian was-was melihat kaki Dara yang membiru. "Dara, gue gendong sini. Nggak akan bisa Lo jalan kalau gitu." Bastian bergerak membelakangi Dara dan berjongkok tepat di depan Dara.

"Gendong? Nggak mau! Aku berat, kak!" Serunya kencang. Bastian sempat menutup telinganya, namun langsung ia buka setelah Dara sudah masuk ke dalam gendongannya.

Katanya nggak mau, tapi naik juga Lo, batin Bastian sambil menyeringai kecil.

Dara mengernyit heran dan menepuk pipi Bastian pelan. "Kakak nggak kesurupan, kan?" Tanyanya lugu. Bastian menjawab dengan decakan lalu langsung berdiri daripada harus mendengar ocehan Dara yang tidak jelas.

Betapa terkejutnya ia ketika mulai berjalan sambil menggendong Dara. "Lo bilang Lo berat. Ringan kayak boneka bilangnya berat kayak baja." Dara menyengir lebar. Ia geleng- geleng sendiri dengan cengiran Dara. Ada-ada saja tetangganya ini.

...

"Kak Bastian mau makan apa? Kak Bastian mau semur ayamnya?" Tawar Dara semangat. Bastian hanya mengangguk dan tersenyum dengan nada biacara Dara yang tidak pernah berubah. Sejak dulu ia tidak pernah berubah. Dara memang lucu.

"Kak Bastian nggak kesurupan, kan?" Tanya Dara takut-takut.

"Nggak," jawab Bastian cepat.

"Terus--"

"Terus apa?" Potong Bastian spontan.

Dara mengatur irama jantungnya terlebih dahulu. "Terus kenapa dari tadi senyum-senyum terus?" Tanya Dara ragu. Ia menunduk menunggu jawaban Bastian.

Bastian mendengus. "Suka-suka gue." Nadanya ketus, namun hanya berniat untuk mengerjai Dara supaya gadis itu lebih takut saja. Itu terkesan lucu bagi Bastian. Bastian meyakini, setelah ini mata Dara akan berkaca-kaca karenanya.

Perlahan Dara mulai mengangkat wajahnya dengan tangan yang mulai gemetar. "Kak Bastian jangan marah sama aku. Aku cuma nanya." Ia mengayunkan bibirnya. Matanya sayup dan mulai dibasahi oleh air mata.

Sontak tangan Bastian bergerak mencubit pipi Dara yang sebenarnya tidak tirus. Gadis ini benar-benar menghipnotisnya dalam sejekap. Ia langsung luluh dan memilih untuk tidak melanjutkan marahnya yang sebenarnya hanya pura-pura.

"Gue senyum karena Lo." Dara mengernyit. "Karena Lo imut," timplanya memperjelas. Pipi Dara merona merah setelah mendengarnya. Ini memalukan, tapi sangat romantis.

Brak!!

Suara pecahan kaca memecahkan perhatian Dara dan Bastian. Mereka menoleh ke sumber suara. Suara yang mereka tebak bersumber dari kamar Catelin. Bastian bergerak cepat. Hampir saja Dara mengikutinya, namun langsung Bastian tahan.

"Lo di sini. Kaki Lo masih lumpuh ringan," pinta Bastian asal. Dara mengangguk dan kembali duduk. Kakinya semakin sakit karena telah berdiri barusan.

Sementara Bastian sudah berlari dan memasuki kamar Catelin. Ia takut sesuatu terjadi. Ia membuka pintu kamar Catelin keras dan menemukan Catelin dan Damara, ibunya Catelin.

"Mama udah bilang sama kamu! Arsen udah pergi! Dia sudah pergi, Cate!" Teriak Damara kencang. Wajahnya sudah merah. Air mata Damara terlihat jelas di wajahnya.

"Kamu nggak perlu berharap sahabat kamu itu kembali. Mama nggak suka lihat kamu nangis karena Arsen. Arsen sudah dijodohkan dengan anak teman mama! Paham kamu?" Bastian dan Catelin terkejut mendengarnya. Catelin yang sedari tadi hanya menangis sekarang langsung berdiri di depan Damara.

"Dijodohkan?" Bisiknya pelan.

Tangan Damara beralih memegang kedua bahu anaknya yang sudah bergetar hebat dengan kesaksiannya. "Jangan mencintai seseorang yang tidak bisa kamu gapai, Cate. Mama nggak mau kamu nangis." Damara langsung mengecup kening Catelin lama lalu meninggalkan Catelin yang benar-benar tidak baik-baik saja sekarang.

"Cate," panggil Bastian lembut.

"Bas, Arsen kenapa nggak bilang sama gue? Dia nggak biasanya rahasiaan begini ke gue? Apa dia lupa sama sahabatnya sendiri?" Catelin tertawa seperti orang gila. Bastian bergerak dan memeluk Catelin erat. Ia paham sakit yang Catelin rasakan. Ia tahu rasa kehilangan yang Catelin terima.

"Cate, gue selalu sama Lo. Janji, gue nggak akan ninggalin Lo," tutur Bastian tulus. Ia mengelus kepala Catelin dan mencium puncak kepala Catelin sekilas.

Isakan Catelin mereda. "Makasih, Bas. Makasih untuk 4 tahun Lo jagain gue." Catelin membalas pelukan Bastian tak kalah erat. Sungguh, temannya ini sangat baik.


Jangan lupa follow : @jessxclare di Instagram dan WattPad.
Thanks for reading. Author merasa sangat senang dengan pembaca yang sudah menyempatkan diri untuk membaca cerita author. Author masih belajar. Para pembaca diizinkan dengan terhormat untuk memberi komentar, kritik, dan Saran🥰


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang