1/5

1K 138 60
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


B a g i a n    S a t u


Chandra ingat betul bagaimana semuanya bermula. Pertengahan Mei, saat itu hujan, entah sisa-sisa musim hujan, atau kutukan Kota Hujan memang berlaku selamanya. Dan Widi yang bagai baru tersambar gledek di malam sebelumnya tiba-tiba saja menelepon, mengucap kalimat paling klise yang biasa diucap mereka yang pernah akrab lalu lama tak berkabar,
"Sombong ya kamu sekarang?"

Chandra juga paham, Widi bukannya mau asal tuduh orang, main bilang sombong begitu. Setidaknya, kalimat klise "Sombong ya kamu sekarang?" terdengar lebih ringan dan mudah diucap dibanding kalimat, "Sudah lama enggak dengar kabarmu, aku kangen!"

Meskipun kalau dipikir-pikir, memangnya salah kalau ucap kalimat rindu di antara teman yang lama tak bertemu?

"Basi. Kalau kangen, ya bilang. Kamu mau aku lari ke warung mie ayam mana?"

"Tadi siang aku ke Gramedia, dan lihat bukumu di rak best seller baris ke dua, Chan. Masih punya malu ngajak aku ke warung mie ayam?"

"Punya." Chandra terkekeh saja waktu dengar Widi samar-samar tertawa sambil mengumpat di seberang.

"Warung Mie Ayam Teh Euis, malam sabtu jam tujuh."

Chandra juga tahu, Widi tidak perlu pusing-pusing pilih satu warung mie ayam di antara ratusan warung mie ayam se-Bogor Raya. Selain telinga Teh Euis, ratusan mangkuk mie ayam buatannya adalah saksi bisu lika-liku kisah keduanya sejak belasan tahun lalu.

Dan jadilah Chandra sekarang, memesan dua porsi Mie ayam ceker sambil cengar-cengir di depan Teh Euis yang tidak lagi teteh-teteh. Anaknya dua, yang paling kecil mau masuk TK.

"Chan, Widinya mana?" 

Chandra terkekeh dengar pertanyaan Teh Euis. Kesannya si Widi ini seperti bayangannya sendiri, dipertanyakan kalau tidak datang sama-sama. Eh tapi, kalau Chandra datang tanpa bayangan begitu, kayaknya Teh Euis pingsan duluan sebelum sempat tanya, "Chan, bayangannya mana?"

"Ada Teh, ada! Tungguin aja. Jelmaan Jalangkung 'kan dia!" Chandra teriak dari bangkunya, berhubung si teteh sudah sibuk menyalakan kompor. Berisik.

"Hah? Mie ayamnya mau pakai kangkung, Chan?"

Teuing lah, teh.

Belum sempat Chandra mengoreksi, telinganya lebih dulu disumpal, "Si.a.lan. Jalangkung mana yang bentuknya kayak Barbie Mariposa begini?"

Widi langsung duduk setelah berbisik horor di telinga Chandra, kemudian menuang teh hangat dari teko. Dua gelas, untuknya dan Chandra. Bukannya sedang berbaik hati, Widi sengaja tuang teh hangat supaya Chandra sibuk saja menyesap tehnya dan lupa membalas umpatan Widi barusan.

"Rambut baru?"

"Kebiasaan ya kamu kalau ngomong enggak pernah lengkap? Bisa-bisanya buku kamu laku. 'Baru potong rambut?' Harusnya begitu kalimatnya."

Widi agak mengernyit di tengah kalimatnya, lidahnya agak terbakar, tehnya masih panas. Buru-buru Chandra mengambil botol air mineralnya di dalam tas, memberikannya pada Widi. Kemudian bergeming sesaat sambil melihat Widi menenggak air mineralnya yang sisa setengah, sampai habis. Sama sekali tidak ada Barbie-barbie-nya.

"Baru potong rambut?"

Chandra juga tahu betapa Widi cinta rambut panjangnya. Jadi, atas alasan ia memotong rambut sampai sebahu pun ia tahu. Ini bukan pertama kalinya Widi begitu.

"Iya, aku dan Angga tamat dua minggu lalu." Ucapnya santai sambil meremukkan botol kosong Chandra, kemudian menaruhnya di atas meja. Dan Chandra yang dibuat dilema, harus pasang wajah ngeri atau sumringah bahagia.

Dari seluruh buku yang ada, buku kisah cinta Widi adalah buku yang paling ia tunggu-tunggu tamatnya.

"Enggak usah ngeri gitu mukanya. Aku enggak marah. Botol Aqua gini bagusnya diremukkan begini 'kan sebelum dibuang?"

Ah, kalau boleh jujur, bagi Chandra, Widi yang ucap dengan nada tenang begitu terdengar lebih mengerikan.

"Iya, dia harus diremukkan sebelum dibuang." Dan Si Angga itu baru saja tewas Widi remukkan di depan Chandra, kini sedang terkulai lemas di atas meja.

"Jadi, nanti, kalau kamu punya kenalan laki-laki baik-baik, kenalin aja ke aku. Aku sedang free." Widi sambung kalimatnya sambil memangku dagunya dengan tangan kiri, sengaja menghadapkan wajahnya pada Chandra yang kini dibuat bertanya-tanya dengan Teh Euis—apa efek melahirkan dua anak ya? Dulu, menyiapkan dua porsi mie ayam enggak se-lama ini.

Atau barangkali, ia juga dibuat bertanya-tanya tentang jalan pikiran Widi. Bisa-bisanya baru putus dua minggu lalu, sudah minta dikenalkan lagi dengan laki-laki lain. Tapi, bukannya itu bagus buat Chandra?

"Laki-laki yang kayak gimana? Seenggaknya supaya aku bisa pilih-pilih."

Widi sejenak merotasi kedua bola matanya, sebelum kembali menjawab pertanyaan Chandra, "Siapapun, asal enggak mirip Angga—"

"Awas panas, awas panas, awas panas." Aduh, si teteh tahu aja momen sempurna buat ganggu orang.

Chandra terima dua mangkuk mie ayam dari Teh Euis, kemudian menambahkan sambal dan kecap di atas kedua mangkuknya, "Yang punyaku kurang Chan sambalnya," Widi ucap begitu sambil menoleh sekilas, kemudian ia kembali sibuk menuang teh hangat.

"Kalimat kamu belum selesai tadi, Diw." Ragu-ragu Chandra ucap begitu, sambil mengaduk mangkuk mie ayam milik Widi dengan sumpit. Matanya mengerjap cepat, sambil sesekali menoleh ke arah Widi dengan kecepatan cahaya. Barangkali kalimat ini jadi penentu enak tidaknya mie ayam Teh Euis malam ini

"Oh, ya—siapapun, asal enggak mirip Angga dan bukan kamu, Chan."

Aduh, perih. Belum apa-apa sudah masuk daftar hitam.

***

Ehe. Hi |'∀`●)

Satu lagi tulisan lieur telah lahir HAHA
Aku baru selesai nonton Hospital Playlist /duh telat banget si/ dan aku jatuh cinta sekalih sama dramanya heuheuu jadi pengen punya geng-gengan kece :')))

tapi tulisan ini enggak ada hubungannya sama plot HP. imajinasi aku yang tidak terkontrol ini tiba-tiba kepikiran cerita ini waktu denger OST HP punyanya Joy yang manish banget heuheu

Jadinya, yah. yagitu deh.
semoga suka, semoga terhibur ('つヮ⊂)

terima kasih sudah singgah, bertahan, dan jadi sumber kekuatan!

kalau kenal lelaki baik-baik, tolong kenalkan padaku ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang