Adriana melepaskan headsetnya dan melangkahkan kakinya menuju kedalam kabin pesawat. Hari itu penampilannya tampak biasa saja, sepertinya ia berusaha untuk tampil senyaman mungkin dalam perjalanannya kali ini. Atasan sederhana bewarna putih gading dengan celana jeans bewarna biru muda tak bisa menutupi pesona wanita itu walaupun hari itu matahari masih sangat redup. Matanya menyusuri korong pesawat, berusaha menemukan bangku untuknya. 18c, 19c, 20c. Yup, 20c. Matanya berhenti sejenak dan memastikan ia duduk di nomor kursi yang benar.
Adriana selalu memilih window seat dalam perjalanan udaranya. Walaupun mungkin ini adalah penerbangannya ke sekian puluh atau mungkin ratusan kali, namun tak pernah ada rasa bosan untuk menyaksikan indahnya langit bumi. Tak lama, pesawat pun tinggal landas meninggalkan Melbourne. Sesaat setelah lampu tanda sabuk pengaman mati, Adriana mengambil handphone yang sudah dalam mode terbang. Ia lalu menscroll keatas dan kebawah layar handphonenya untuk menemukan lagu yang tepat dan mewakili perasaannya di kala itu. Pagi itu, jam 07.40 di pesawat Garuda Indonesia yang membawa Adriana ke Jakarta, memasuki Golden Hour, periode tepat sebelum matahari terbit, dimana langit sedang cantik-cantiknya. Langit bewarna jingga keemasan membentang luas. Pesawat tersebut bak masuk ke dalam lukisan Thomas Moran. Namun sepertinya suasana indah tersebut tidak sejalan dengan suasana hati Adriana. Tanpa ia sadari, air mata mulai membasahi pipinya seirama dengan lagu Brian Mcknight- One Last Cry yang ia mainkan di playlistnya. Ia memandang kearah langit jingga, seakan ingin menggantungkan satu persatu beban dan luka di hatinya. Langit begitu indah pagi itu, namun mengapa tak bisa ia rasakan keindahannya. Mengapa hanya sakit dan sesak di dada yang ia rasakan. Ia menangis dalam bungkam. Adriana hanya berharap, rasa sakit dan sesak didadanya itu tak akan berlangsung lama, seperti Golden Hour yang sebentar lagi akan usai.
Kurang lebih 9 jam berlalu, yang di isi dengan perjalanan tanpa drama dari Melbourne ke Jakarta. Kini tangan kanan Adriana sudah menggenggam koper Samsonite bewarna keemasan dan tangan kirinya memegang handphone. Adriana tampak sibuk membalas Whatsapp dari Ibunya untuk mengabari bahwa ia telah sampai dengan selamat di Bandara Soekarno Hatta.
"Nona Adriana?" tanya seorang bapak paruh baya yang sepertinya adalah petugas hotel.
"Ya. Dari Jardins Hotel ya?" sahut Adriana sopan.
"Iya non, Saya Pardi. mari biar saya bantu bawa ke mobil, non" sahut bapak tersebut.
Akhirnya Adriana dapat melepaskan satu persatu beban bawaanya. Ia masuk kedalam mobil, menghempaskan badannya ke mobil hotel tersebut dan mencari posisi senyaman mungkin. Selama perjalanan, ia celingak-celinguk kekanan dan kiri, mengamati perubahan di ibu kota tersebut. Wajar saja, sudah dua setengah tahun ia berada di Melbourne untuk sekolah S2 atau bisa disebut melarikan diri dan akhirnya kini ia pulang ke Jakarta. Sesungguhnya Jakarta tak bisa disebut rumahnya, karena tak ada keluarganya disana. Namun, Jakarta selalu jadi tempat kembali, dia berkuliah disana, teman-temannya disana, pekerjaan pertamanya disana. Jakarta yang tak ramah itu bagaimanapun selalu merangkulnya kembali.
Tak banyak yang berubah gumamnya. Ia menghela napas panjang dan berusaha berunding dengan dirinya sendiri. Dalam batinnya ia berkecamuk apakah ia bisa menjalankan hidupnya dengan baik disini. Kemudian, ia ingat bahwa ia adalah seorang perempuan yang realistis dan optimis, setidaknya menjadi perempuan yang optimis adalah salah satu harapan yang disampaikan oleh Ibunya tepat dua setengah tahun lalu sebelum ia pergi ke Melbourne. Ia sadar ia harus optimis bahwa dengan berbekal segala hal sulit yang pernah terjadi dihidupnya, maka seharusnya memulai hidup kembali di Jakarta adalah langkah yang tidak terlalu sulit. Dengan umurnya yang sudah hampir mencapai kepala tiga, dia harus lebih dewasa dan berani, tidak lari seperti dua setengah tahun silam. She can work on that.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Writer's Dilemma
RomanceAdriana sadar ia memiliki angan-angan untuk menjadi penulis terkenal, tetapi masalahnya adalah usahanya terhenti pada bab enam dari total sepuluh bab yang ia ingin tuliskan. Saat tenggelam dalam renungan dilemanya, ia bertemu dengan Adnan Wirya, se...