Pertama kali saat aku melihat Lea, muridku, aku langsung terpesona. Lea memang tidak senormal seperti wanita di luar sana, tapi dia sangat cantik bagiku.
Dan aku tak pernah terpesona sampai begini bahkan pada istriku sendiri. Ya, istri. Aku adalah pria yang telah menikah. Dan dengan sialnya aku berani bermain api dengan muridku sendiri.
Aku tahu tidak seharusnya juga aku membodohi Lea, namun aku sadar aku tak bisa begitu saja bercerai dengan istriku. Jadi sebisa mungkin, aku memberi jarak juga pada Lea.
Namun kenyataannya, Lea mudah sekali membuatku benar-benar terpesona dengannya hingga aku begitu saja jatuh dalam pesonanya. Ya, aku tersadar bahwa aku sungguh tak bisa kehilangan Lea. Aku mencintainya. Dan aku sama sekali tak bisa jauh darinya. Aku tak rela. Sama sekali tidak bisa kalau aku harus jauh darinya. Maka itu, aku segera mengurus perceraianku dengan istriku agar aku bisa menghabiskan waktuku bersama Lea.
Namun, sebelum aku meninggalkan Lea ke luar kota, Lea bersikap aneh. Lea seakan tak ingin lepas dariku. Bahkan Lea merengek padaku agar aku tak pergi atau aku mengajaknya pergi. Namun karena urusanku ini mengenai hubunganku dengan keluargaku juga keluarga istriku, tentu aku tak bisa mengajak Lea begitu saja. Walau pun istriku tahu alasan aku menceraikannya karena aku memiliki wanita lain, tapi melihat kondisi Lea membuatku tak ingin istriku membandingkan dirinya dengan Lea. Dan aku tak mau Lea direndahkan. Maka dari itu sebisa mungkin aku membujuk Lea agar dia mau mengerti. Dan, susah sekali untuk membujuknya. Lea itu seperti anak kecil. Dia sama sekali tak ingin aku pergi.
Dan saat pulang lalu aku dibawa ke kantor polisi untuk kemudian diintrogasi, aku baru tahu kalau terjadi pembantaian di rumah Lea. Aku panik dan takut. Aku terus menerus menanyakan keadaan dan di mana keberadaan Lea. Dan aku sangat bersyukur saat akhirnya salah satu petugas kepolisian mengatakan kalau Lea merupakan satu-satunya orang yang selamat dari pembantaian itu.
Aku tahu aku sangat jahat dan egois karena merasa senang bahwa Lea menjadi satu-satunya orang yang selamat dari pembantaian yang menimpa keluarganya. Tapi aku benar-benar tak berhenti mengucap syukur atas fakta bahwa Lea menjadi korban yang selamat.
Aku kembali menatap Lea yang sedang memakan makanannya dengan lahap. Bahkan terdapat sisa-sisa makanan di tangan, pipi dan dagunya. Aku jadi teringat saat aku sedang diinterogasi.
***
"Anda benar-benar tidak mengetahui tentang pembantaian yang terjadi ini, Saudara Gion?"
Aku kembali menggelengkan kepalaku karena sudah frustasi petuga kepolisian ini selalu bertanya tentang hal yang sama.
"Saya benar-benar dari luar kota, Pak. Saya sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada Lea dan keluarganya. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Apa sesuatu yang buruk terjadi?"
"Ya."
Debaran jantungku yang memang sudah cepat sejak tadi, bertambah semakin cepat. Perasaanku makin tak tenang memikirkan Lea. Apakah Lea baik-baik saja?
"Ada apa, Pak? Saya benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini! Dan di mana Lea?! Bagaimana keadaannya? Lea baik-baik saja, kan?"
"Saudari Lea memang baik-baik saja, Saudara Gion. Tapi telah terjadi pembantaian di kediamannya. Tak ada yang selamat. Hanya saudari Lea yang selamat."
"Ya Tuhan! Lalu apa benar-benar tidak ada luka sedikit pun pada tubuhnya, Pak? Anda sudah memeriksa keadaannya dengan benar, kan?"
"Saya hanya meminta Anda untuk menjawab pertanyaan kami, Saudara Gion."
Aku mengusap wajahku merasa frustasi. "Saya kembali pada istri saya, Pak. Anda bisa langsung menanyakannya saya akan memberi nama dan alamat lengkapnya. Tapi tolong, tolong biarkan saya bertemu dengan Lea."