B I R U

17 1 0
                                    

#LH_30Puasa30Menulis_2021
#LH_Cerpen

Judul : Biru
Penulis : Langit Rindu
Jumlah kata : 1001

Sabiru Dhiaurrahman namanya, Biru panggilannya. Usianya 5 tahun kala itu, ia masih belum mengerti alasan kedua orang tuanya saling meneriaki.

Sang ibu keluar dari kamar sambil membawa tas besar. Ia berjalan pelan ke arah Biru, meletakkan tas di lantai, lalu menunduk menyejajarkan diri.

Sembari menggenggam tangan putranya, ia bersuara lirih, "Biru baik-baik di rumah dengan Ayah ya, Nak. Ibu pergi dulu. Ibu sayang Biru."

"Ibu mau kemana? Kenapa bawa tas gede? Lama perginya?" Bola mata bening itu menyorot keberatan pada ibunya.

"Biru harus jadi anak baik, nurut sama Ayah. Nanti kita ketemu lagi," jawabnya seraya berdiri, mengambil tas lalu berjalan menuju pintu keluar.

Malam itu, Biru kehilangan satu kehangatan di rumahnya.

Maura bukanlah wanita jahat, ia terpaksa memilih meneruskan bakti kepada satu-satunya orang tuanya yang tersisa, nenek Biru. Ia tak bisa mengabaikan ibunya yang sakit-sakitan, sementara sang kakak yang dahulu sangat disayang dan dimanjakan oleh kedua orang tuanya kini justru tak peduli. Meski sering diperlakukan tidak baik, ibunya tetaplah perempuan yang telah susah payah mengandung dan melahirkannya. Maura tak bisa menutup mata begitu saja.

Sayangnya, konsekuensi dari pilihannya ialah talak dari Lukman, sang suami dan terpisah dari putranya. Buruknya komunikasi antara keduanya menyebabkan perpisahan. Ia boleh pergi, tetapi tak boleh membawa serta Biru.

***

Dua tahun berlalu, dalam rentang waktu itu, Biru cukup sering bertemu ibunya. Sebulan tiga sampai empat kali bertemu.

Empat bulan terakhir intensitas pertemuan mulai berkurang karena Maura telah menikah lagi. Kehamilan di trimester pertama cukup membuatnya beberapa kali dirawat dan diharuskan bedrest.

Ketika adik tirinya lahir, Biru semakin jarang bertemu Maura karena kesibukan mengurus bayi yang sangat menyita waktu.
Beberapa kali berkunjung ke rumah Maura, Biru masih merasa sungkan dengan ayah tirinya. Untuk bermanja dan meminta perhatian Maura pun akhirnya ia enggan. Setiap kali berkumpul dengan Maura dan keluarga barunya, Biru merasa tidak nyaman. Ia merasa seperti orang luar.

Perlahan perhatian dari ibunya dirasa memudar. Beruntung, ayahnya masih meluangkan waktu di akhir pekan. Kadang-kadang mereka mengunjungi kebun binatang, sesekali menikmati wahana permainan di mall atau seharian di rumah membuat mainan dari bahan-bahan yang mudah didapatkan.

Enam bulan kemudian, Lukman menikahi seorang janda dengan satu anak perempuan berusia setahun lebih muda dari Biru. Perhatiannya pun mulai terbagi, apalagi istrinya tidak lama kemudian mengandung anak kembar. Biru kembali merasa tersisih.

***
Suatu hari, Lukman dipanggil ke sekolah karena Biru memukul teman sekelasnya. Ketika ditanya guru tentang alasannya memukul, Biru hanya diam. Lukman yang datang tergesa-gesa dari kantornya, tanpa bertanya langsung memarahi Biru dan memaksanya minta maaf pada teman yang dipukulnya.

Andai ayahnya bertanya alasan, maka Biru pasti akan bercerita. Ia kesal karena diolok-olok memiliki dua ibu dan dua ayah. Semakin sedih ketika teman-temannya menakutinya, bahwa ayah dan ibunya akan lebih menyayangi adik-adik tirinya dibandingkan Biru. Biru takut.

Biru menunggu.
Sayang, sepanjang perjalanan pulang ayahnya hanya diam. Sampai esok dan seterusnya ayahnya tak pernah bertanya.

Sejak saat itu, Biru yang ceria berubah menjadi pendiam.
Tak ada lagi saling bercerita tentang keseharian dengan ayahnya sebelum tidur. Tak ada lagi rengekan manjanya meminta ini dan itu pada sang ayah. Seringkali Biru menolak ikut saat ayah, ibu dan saudara tirinya berjalan-jalan di akhir pekan.

***

Akhir tahun, sekolah Biru mengundang setiap orang tua siswa untuk menyaksikan pertunjukan drama dengan tema Sahabat Nabi.

Biru, yang saat itu berperan menjadi Salamah bin Akwa berkali-kali melirik ke arah bangku penonton, mencari sosok kedua orang tuanya.

Lukman datang saat pertunjukan hampir selesai, karena terlebih dahulu menyelesaikan urusan di kantor.

Usai pementasan, Lukman menemui Biru di belakang panggung.

"Maafkan Ayah, Biru. Ayah tadi harus menyelesaikan pekerjaan dulu. Biru keren banget, Ayah bangga," puji Lukman sambil mengusap kepala Biru.

Biru menghambur ke pelukan Lukman, menghirup dalam-dalam aroma sang ayah yang selalu disukainya. Hatinya sedikit terhibur setelah kekecewaan akan absennya Maura. Zidan, adik tirinya sedang demam, hingga Maura batal menghadiri pentas drama tersebut.

***

Libur akhir semester mereka sudah berencana liburan ke Lembang.

Menjelang keberangkatan, Biru yang sudah beberapa hari terakhir merasa kurang sehat akhirnya demam.

Awalnya, Lukman berencana menunda liburan sampai Biru sehat. Hanya saja, melihat betapa antusiasnya saudara-saudara tirinya, Biru meyakinkan ayahnya bahwa dia tidak apa-apa. Hanya perlu beristirahat dan pasti akan sembuh.

Sepeninggal sang ayah, malam hari demamnya meninggi.

"Ibu ... Ibu ...," lirih Biru yang menggigil.

Air matanya mengalir, merindukan dekapan hangat dan elusan di punggungnya seperti yang biasa dilakukan ibunya ketika ia sakit.

Bik Rosi, ART yang menemaninya menghubungi Maura setelah terlebih dahulu memberi tahu Lukman.
Maura yang sedang merayakan ulang tahun Zidan meminta agar Bik Rosi mengompres dan meminumkan obat penurun panas.

Sementara Biru yang menunggu lama mulai kecewa, merasa dirinya tak lebih berharga dari ulang tahun adik tirinya. Pelukan yang ditunggu tak kunjung tiba. Air matanya terus berlinang, sementara tubuhnya semakin terasa  lemah.

Maura yang baru datang disambut tangisan pilu Biru.

"Ibu, Biru sakit ... Biru mau dipeluk. Ibu tidak sayang Biru lagi? Biru nakal ya? Maafkan Biru, Ibu. Ibu peluk Biru ...."

Biru sesegukan sembari mengangsurkan  tangannya yang lemah ke arah sang Ibu, meminta pelukan yang teramat dirindu.

Maura segera memeluk Biru, menangisi kelalaiannya, lupa kapan terakhir kalinya memeluk Biru seerat itu.

Di dalam pelukan ibunya, Biru tiba-tiba tak sadarkan diri. Maura panik, berteriak memanggil supir keluarga untuk membawa Biru ke Rumah Sakit.

Sementara itu, Lukman yang mendapat telpon dari Bik Rosi segera bersiap pulang malam itu juga.

Seolah menunggu kedatangan ayahnya, Biru yang telah dipasang infus dan diambil sampel darahnya untuk di cek lab membuka mata tepat saat pintu ruang rawat terbuka menampilkan wajah sang ayah.

"Boleh Biru minta pelukan Ibu dan Ayah? Bi–ru hanya rindu ...."

Kedua orang tuanya itu segera memeluk dari kedua sisi tubuh Biru.

"Maaf, Biru belum menyelesaikan hafalan Al-Qur'an, baru sampai surah Al-Qalam. Padahal Biru ingin sekali menghadiahkan mahkota untuk Ibu dan Ayah," lirihnya dengan mata yang mulai meredup.

Usai bicara, pelukannya mengendur, kedua tangannya terkulai di sisi tubuhnya.

Biru pergi.
Meninggalkan kehilangan yang dalam bagi kedua orang tuanya. Kehilangan yang kerap kali bersanding dengan penyesalan.

Sementara itu, jauh sebelumnya Biru telah lebih dahulu merasakam kehilangan. Kehilangan kehangatan dari dua sosok yang telah menghadirkannya di dunia ini. 

Swiss van Java, 15 April 2021

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

B I R UTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang