🌼 0| 당신은 나의 첫사랑

13 0 0
                                    

Aku memberikan senyum terbaik pada para pembaca yang sedang duduk di hadapanku. Tidak pernah menyangka aku dapat berpijak di titik ini. Dahulu biasanya aku hanya bisa memandang kagum pada para pengarang yang mengajak diskusi hasil karangannya dengan seminar terbuka. Dahulu juga aku selalu berburu tanda-tangan penulis kesayangan melalui pre-order. Dan, kini aku duduk membagikan cerita dan sedikit motivasi bagi para penulis muda juga sekaligus menandatangani hasil karangan sendiri.

Selama acara pertemuan beberapa kali aku menjawab pertanyaan juga melontarkan kalimat dengan gurauan supaya suasana antar aku-pembaca segera mencair dan tidak terlalu kaku. Aku ingin mereka menganggap ku sebagai seseorang yang siap mendengarkan keluh kesah sahabatnya. Hanya saja saja sebuah pertanyaan yang sempat membuatku termenung beberapa saat adalah sebuah pertanyaan dari salah seorang pembaca yang ingin tahu apakah cerita yang kubuat terinspirasi dari kisah nyata atau hanya karangan belaka. Dan terkadang pertanyaan semacam itu membuatku muak karena sangat sulit untuk mencari jawaban yang tepat supaya tidak adanya kesalahpahaman di masa yang akan datang. Sebab jika aku mengatakan yang sejujurnya maka aku harus menerima konsekuensi yang ada-beberapa tokoh di dunia nyata kehidupan privasinya akan terganggu. Tetapi jika aku berkata bohong maka malaikat Atid yang akan mencatat sudah berdiri gagah dengan catatan dosa digenggaman kirinya.

Aku tersenyum tipis. "Jika memang mereka nyata, aku tidak akan tega menyakiti hati saudaraku. Jika mereka tidak nyata, maka sudah dapat disimpulkan bahwa ini hanyalah karangan semata. Suatu saat kamu pasti akan mengerti untuk apa dan siapa aku membuat naskah ini."

Ini adalah jawaban andalanku barang-kali ada yang bertanya hal yang sama. Sebab sudah kubilang pada paragraf sebelumnya bahwa aku pun sendiri bingung harus menjawab apa. Dan itu adalah salah satu alasan paling konkrit karena aku hanya ingin mereka menikmati hasil karyaku tanpa ada rasa ingin tahu apakah adanya keterlibatan seseorang dari kehidupan nyata.

"Antriannya masih panjang, lo mau stop aja atau gimana?" tanya Agatha sembari memberikan sebuah botol minum kemasan. Tanganku terulur untuk menerimanya, "Trims," ujar ku, lalu membuka tutup botol kemasan tersebut dan menenggaknya hingga habis. Kemudian pandanganku mengarah pada antrian para pembaca yang sudah agak panjang memuat lima belas baris yang masing-masing baris terdapat duapuluh lima orang. Aku beralih pada Agatha, "memang acaranya sampai kapan?" tanyaku kemudian Aghata melirik jam tangannya. "Pukul dua dan sekarang sudah pukul dua kurang lima belas menit," jawab Agatha. Aku mengangguk dan memberi instruksi pada Agatha agar menutup pembatas supaya tidak ada lagi yang mengantri. Sebenarnya aku ingin berbincang lebih banyak dengan para pembaca, hanya saja waktu yang disediakan tidak cukup. Hanya saja pada saat Agatha mulai menarik tali pembatas, salah seorang pria menerobos masuk melalui bawah lantai. Aku dan sekelilingku tersentak kaget karena suara perdebatan yang terjadi antara pria itu dengan para petugas bawahan Agatha. Setelah perundingan antara aku-Agatha-petugas keamanan perdebatan cukup sengit itu berakhir dan pria tersebut diperbolehkan mengantri.

Sepuluh menit berlalu-setelah tiang pembatas ditutup-dan kini sudah antrian seribu seratus lima, aku merenggangkan ototku karena rasanya pergelangan tanganku cukup sakit juga memberi tanda-tangan untuk seribu buku. Namun belum sempat aku merenggangkan rasa sakit itu, pria yang tadi sempat berdebat dengan petugas keamanan sudah berdiri di hadapanku. Pria tersebut mengenakan kacamata berwarna hitam yang senada dengan hoodie yang bertuliskan black-worlds. Hanya saja yang membingungkan pria tersebut tidak membawa karyaku. "Aku ingin menemui kekasihku. Barangkali dia ada di sini," ujarnya yang kemudian membuka kacamata tersebut.

Kakiku lemas seketika kala mata segelap malam itu memberikan tatapan yan sangat dalam. ku memang sangat merindukan dirinya. Tetapi tidak sekarang.

Aku selalu membayangkan bagaimana seandainya jika kami kembali bertemu-hingga ratusan kali. Tapi peristiwa kemarin tidak ada dalam skenario yang kupikirkan. Kenapa kami harus bertemu kembali saat aku tidak dalam keadaan siap?²

Mengapa takdir Tuhan sangat sulit untuk kupahami?

'•|•[🧸]•|•'

Di luar sedang hujan dan angin berhembus cukup kencang. Aku sedang di kamarku, menikmati semangkuk mie kuah yang dibumbui bubuk cabai ekstra pedas. Guna menciptakan perpaduan yang pas antara hujan-mie aku memutar sebuah film berjudul 'Catatan Akhir Sekolah' garapan Hanung Bramantyo yang mengisahkan perjalanan ketiga pemuda sejak awal masuk sekolah yang menjadi bahan ejekan dan bertekad untuk membuat sesuatu yang dapat menginspirasi anak-anak lain; membuat sebuah film dokumenter berjudul sama. Omong-omong, satu hal yang membuatku tertarik dengan film ini adalah group band Mocca yang mengiringi lagu I Remember.

I remember.
All the things that we shared, and the promise we made, just you and I.
I remember.
All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn.

Bayangan masa remajaku terputar layaknya kepingan film. Terus berulang tanpa henti hingga membuatku muak rasanya. Sebetulnya aku menjalani masa remaja hampir sama dengan anak lain, bermain sepulang sekolah, mengerjakan tugas dan lain sebagainya. Hanya saja yang membedakan adalah kisah romansa ku yang berbeda dengan anak lainnya. Kelima sahabat SMA-ku hidup bahagia menikmati kisah cintanya, sementara hanya aku sendiri yang masih melajang.

Ah, tidak, terpaksa melajang dan harus terus melajang karena aku menyukai seorang pemuda yang amat kaku namun juga keras kepala. Sulit untuk menaklukannya hanya saja aku tidak menyerah dan terus mencoba mendapatkannya. Aku selalu memberi perlakuan tak suka dan melarang untuk siapapun pemuda yang mendekat, juga tak pernah menghiraukan nasihat teman-temanku yang menyuruh untuk menyudahinya saja.

Meskipun aku tahu, selalu ada benang merah di setiap sudut. Ya, kami berbeda. Aku yang antusias apabila hari jum'at tiba sementara dia yang lebih antusias apabila minggu perayaan tiba.

Seperti firman Allah S.W.T., dalam surat Al-Kafirun ayat 6; "Untukmu agamamu dan untukku lah agamaku." Antara adzan yang berkumandang dan lonceng yang berdentang, antara kiblat yang tentukan arahku pulang dan salib yang buatmu tenang, antara manisnya syahadat dan dahsyatnya syafaat, antara hitungan tasbih dan kalungan rosario, aku percaya bahwa sujud ku dan genggam tanganmu akan bertemu di amin yang sama.¹

Aku memang tidak ditakdirkan untuknya, hanya saja waktu itu aku masih remaja dan boleh dikatakan belum dewasa yang harus dimaklumi jika terlalu mementingkan diri sendiri tanpa peduli pandangan orang lain terhadapku.

Dan, sekarang, aku rasa sudah waktu yang tepat untuk menceritakan siapa laki-laki itu. Bernostalgia sedikit mungkit tidak masalah, aku pun tak bermaksud melupakannya sama sekali. Dia sudah kuanggap sebagai pelajaran berharga dalam hidup, yang mampu membuatku tersadar akan keagungan penciptaku. Mungkin ada maksud dibalik Allah S.W.T., mengirimkan hadirnya di kehidupanku, sebab Allah S.W.T., ingin mengujiku dengan memilih antara dia dan DIA.

Baiklah, akan kusebut inisialnya: K.

Untukmu, Kalil Mahendra Evan, terimakasih sudah memberi segala macam warna dalam hidupku, termasuk hitam sekalipun, sehingga aku tahu kapan harus bersedih meluapkan segalanya, kapan harus bersinar seperti matahari dan kapan aku harus membagikan cahayaku pada orang lain seperti pelangi.

×

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

🌼 | Go, Back DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang