Namanya Arina, bukan Naya. Arina tidak pernah mengenal Naya. Tapi dalam sebuah panggilan video bersama Arya, ayahnya Arya tiba-tiba melihat layar ponsel anaknya, 'oh, bukan Naya.' katanya.
Sekilas hal itu memang biasa saja. Seorang ayah memantau putranya.
Sayangnya hal biasa itu membuat Arina tersenyum kecut tanpa punya alasan selain karena dirinya ternyata menjadi orang asing.
"Putri, kemana?" Tanya Arina mengalihkan gejolak kecewanya agar tak nampak di kamera handphone yang kini ada di tangannya.
"Lagi lari-larian, biasalah anak kecil. Katanya malu sama kamu."
Arya adalah orang yang lembut dan sopan tutur katanya. Matanya yang tidak pernah menatap Arina secara langsung dari jarak dekat. Postur keduanya yang memiliki tinggi badan yang sama akan terlihat lebih tinggi Arina ketika mereka sedang mengobrol berhadapan. Wajah Arya akan menunduk tak mau menatap wajah Arina.
"Bagaimana kamu sama dia, kamu tidak akan berubah pikiran kan?" Arina kembali memecah keheningan yang terjadi hampir dua menit di antara keduanya dalam sebuah panggilan video.
Yang Arina maksud adalah Indira, salah satu temannya yang menarik perhatian Arya sekarang. Perempuan yang selalu Arina sebut sebagai perempuan yang beruntung, karena Arya bukan sosok biasa di matanya.
"Kalau kamu berubah pikiran, aku tidak akan pernah bantu kamu lagi."
"Kenapa begitu?" Tanya Arya yang sejak tadi tidak pernah mengarahkan kamera ke wajahnya.
"Aku kenal Indira, dia temanku. Tidak akan kubiarkan kamu datang hanya untuk bermain-main. Aku membantu kamu karena yang kamu mau adalah Indira, bukan orang lain."
"Kamu tenang saja, aku tidak akan berubah pikiran. Percaya sama aku."
Arina mengangguk. Panggilan video itu berlangsung selama 1 jam 54 menit dengan kedua orang itu sama-sama tidak menampakkan wajahnya di empat puluh menit terakhir. Panggilan video yang lebih banyak diisi keheningan tapi merasa tidak rela mengakhirinya.
"Sudah dulu ya, kamu istirahat." Ucap Arya mengakhiri panggilan mereka.
"Hmm, iya."
Arina sepat mengambil foto layar percakapan keduanya, menyimpan bukti lamanya waktu percakapan bersama Arya.
Arina berbaring sambil menatap langit-langit kamarnya. Meletakkan ponselnya sejauh jangkauan tangannya.
Tidak lebih dari satu menit, ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk dari Arya. 'Terimakasih sudah mau mendengarkan, sudah mau menjadi teman yang baik.'
Hanya ucapan sama-sama yang menjadi balasan untuk Arya.
Arina benar-benar mematikan ponselnya, tidak ingin setengah malam yang tersisa terganggu lagi.
Saat mencoba menutup matanya, hanya beberapa saat. Mata itu kembali menatap plafon coklat di langit-langit kamarnya. Samar dalam hatinya ada perasaan senang yang muncul setelah lima bulan tidak pernah bertemu Arya. Hanya beberapa kali berkomunikasi lewat pesan. Pertemuan lewat kamera ponselnya telah memperjelas kembali wajah yang pernah pudar dan ingin ia lupakan lima bulan terakhir.
***
Kembali pada sebuah malam di tengah kota Makassar yang masih ramai di luar sana. Sebuah panggilan video. Tatapan yang tidak bisa dijelaskan saat melihat si pelempar panggilan adalah Arya. Kembali Arya.
Saat menjawab panggilan tersebut, langsung wajah Putri bersama Arya yang nampak di seberang sana.
"Ayo Put, kamu cerita deh hari ini habis ngapain aja ke kak Arina." Ucap Arya.
Arina tersenyum sebentar sambil melambaikan tangannya kepada Putri.
Pembicaraan mereka malam itu sekitar empat puluh menit. Dua puluh menit Arina mengobrol dengan Putri dan sisanya bersama Arya membahas program KKN mereka yang belum ada kejelasan di tengah pandemi.
"Tadi papa lirik kamu gitu pas kamu ngobrol sama Putri." Ucap Arya memecah keheningan yang sering terjadi di antara keduanya.
"Mungkin dia fikir aku Naya, yang kemarin papa kamu bilang waktu liat aku ngobrol sama Putri."
Dua kalimat yang kembali menciptakan keheningan. Tapi memang benar, Arina bukan Naya. Entah siapa Naya, yang jelas orang itu telah membuat Arina menyimpan rasa penasaran. Apakah Naya adalah perempuan lain yang juga sedang dekat dengan Arya?
Tidak tau untuk siapa rasa penasaran itu, untuk Indira kah, atau mungkin untuk dirinya sendiri. Arina tidak tau jawabannya.
"Itu kakakku, kamu mau ngobrol sama dia?" Tanya Arya mengarahkan ponselnya untuk memperlihatkan seorang perempuan yang duduk berhadapan dengannya.
"Tidak usah, aku bukan Naya. Hanya kamu dan Putri yang aku tau." Jawab Arina.
Setelah itu, panggilan berakhir. Seperti sebelumnya, Arina akan menatap langit-langit kamarnya, kali ini hanya mampu menghela nafas dalam-dalam tanpa tau akan melakukan apa.
"Aku bukan Naya." Lirihnya pelan.
Ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan, antara senang bisa berkomunikasi dengan Arya, juga sedih karena hanya bisa mendapatkan perhatian si gadis kecil Putri.
Sekali lagi Arina menarik nafas, memiringkan tubuhnya ke arah kanan dan menghabiskan sisa malamnya dengan tidur bersama perasaan yang tidak ia harapkan hadirnya.
Selamat atas hadirnya keanehan itu dalam dada dan menjadi rasa yang tidak menyenangkan.
"Selamat malam Arya." Ucap Arina pelan, tau bahwa Arya mungkin tidak akan pernah membalas ucapan itu di jarak yang jauh sekali darinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita Pendek
Short StoryDi sini aku kumpulkan beberapa cerita pendek yang aku tulis sendiri. Enjoy the story