Moshei.
Itu adalah nama dari rumah fashion yang jadi usahaku dan Sheila. Tentu kalian bisa menebak asal dari nama itu, bukan? Kami sepakat menggunakan nama itu, karena Ferli dan teman kami lainnya tidak bersedia berpartisipasi selain menjadi pegawai biasa. Mereka bilang, rumah fashion ini tetap milikku dan Sheila.
Sudah hampir sebulan kami menjalankan usaha ini. Kami benar-benar memulainya dari nol, hanya mengandalkan kemampuan marketing Kayana dan juga koneksi kami. Aku beruntung mengenal dan menyimpan cukup banyak pelanggan asal Indonesia saat masih bekerja di Tokyo dulu. Pun dengan Sheila yang tak kalah koneksinya. Ferli pun sangat membantu banyak dalam promosi sebagai selebgram.
"Mo, makan dulu."
Aku mendongak, menemukan Kayana yang berdiri di depan meja jahitku. Dia menatapku lelah sambil berdecak pelan.
"Kebiasaan kalau nggak diingetin, kamu tuh."
Aku tersenyum kecil. "Anggap aja itu tugas tambahan buat kamu."
"Memangnya aku babysitter kamu?"
Aku terkekeh, memutuskan untuk mematikan alat jahit dan mengikutinya keluar dari ruang jahit. Kayana. Dia adalah kakak kelasku di SMA dulu. Aku pernah mengancamnya dan tidak memedulikan keadaan ekonomi keluarganya yang memaksa dia harus bekerja di klub malam. Sejak dia lulus, kami tak pernah lagi bertemu.
Sampai empat tahun kemudian, Sheila bilang dia bertemu Yana di sebuah kafe. Dia bekerja di sana sebagai pelayan. Keadaan ekonominya belum meningkat, akhirnya aku dan Sheila sepakat meminta dia membantu promosi desain-desain kami. Ya, sejak masih di Jepang, aku memang sudah sering mengirim beberapa desain untuk diproduksi Sheila untuk kemudian dijual mandiri di akun instagram kami. Dan kemampuan marketing Yana cukup memuaskan untuk penghasilan tambahan kami.
"Keju mozarella!"
Aku memiringkan mata pada pelaku yang saat ini duduk di kursi tinggi dapur. Siapa lagi yang memanggilku begitu selain Dito? Aku mendekat, dan langsung duduk di sebelahnya. Ada beberapa styrofoam di atas meja bar, dan beberapa sudah mulai dinikmati oleh Kayana, Dito dan Rahma-teman sekampus Sheila dulu yang juga bekerja di sini. Ferli tidak datang, karena dia memang wajibnya hanya saat pemotretan saja.
"Shei mana?" tanyaku, mengintip isi styrofoam yang dipegang Dito, ternyata mi ayam.
"Masih di luar tuh sama-"
"Momo!"
Aku menoleh. Menemukan sosok Sheila yang berjalan masuk diikuti dengan ... Jovan. Keningku berkerut, tapi tak mengatakan apa-apa. Bahkan saat abang dan adik itu mengambil duduk di sebelahku. Untungnya, membiarkan Jovan sering berada di sekitarku, memang kini cukup membantu. Aku lebih bisa mengontrol emosi dan rasa panik. Mungkinmemang benar apa yang diucapkan Lucas waktu itu.
"Tadi aku ke atas, ternyata kamu udah turun." Sheila cemberut.
"Tadi dipaksa Yana." Yana yang kusebut namanya hanya mengedikkan bahu.
Kulirik Jovan yang masih diam. Perhatiannya fokus pada ponsel yang dia pegang. Dia terlihat tidak bereaksi aneh dengan keberadaan Kayana. Begitu pun Yana yang juga tak acuh, justru sibuk menyantap makanannya. Jovan memang sering datang di jam makan siang, nyaris setiap hari. Tapi selama itu pula, aku hampir tidak pernah melihatnya berkomunikasi dengan Yana. Bukannya apa-apa, aku hanya mengamati saja secara refleks mengingat dulu mereka berteman cukup dekat. Sebelum aku sendiri yang membentangkan jarak.
Sheila kemudian membuka salah satu styrofoam. "Ini dibeliin Bang Dito?"
"Iya, dong. Emang siapa? Bang Jo?"
"Ya biasanya kan gitu." Sheila mulai menggulung mi-nya, sambil melirikku. "Ayo makan, Mo."
"Iya." Aku mengambil satu dari styrofoam yang tersisa, kemudian membukanya. Sejenak mengerjapkan mata, saat menemukan begitu banyak sawi hijau dan kacang goreng sebagai campuran mi.
"Kenapa?"
Aku menoleh dan seketika mengerjapkan mata, saat menemukan wajah Jovan begitu dekat. Dia menatapku heran, tapi aku segera menarik wajah menjauh.
"Nggak apa-apa," jawabku pelan.
Aku menghela napas, memandangi makananku sekali lagi sebelum mengambil garpu. Aku tidak langsung makan, dan memilih meletakkan potongan sawi dan butiran kacang itu di tepian styrofoam lebih dulu. Tapi baru beberapa potong kusisihkan, tiba-tiba benda itu tertarik dari tangan. Dan yang membuatku terkejut, Jovanlah pelakunya.
"Sebentar," gumamnya yang menyerupai bisikan, kemudian memindahkan dua bahan yang tak kusukai itu ke styrofoam miliknya.
Aku sedikit tertegun. Tak bisa mengalihkan pandangan darinya yang begitu fokus namun santai. Jantungku sedikit berulah, mengetahui dia masih ingat akan hal yang bahkan mungkin dianggap sepele, bahkan Dito saja sering lupa bahwa aku tidak menyukai sawi hijau dan kacang. Seperti sekarang. Tapi kenapa Jovan justru ingat? Padahal dulu dia selalu terlihat tak peduli setiap kali aku ribut dan protes jika ada dua bahan itu dalam makananku. Kenapa sekarang dia bersikap seolah sangat perhatian?
"Makanlah." Jovan menaruh kembali styrofoam itu ke hadapanku, setelah isinya bersih dari kacang dan sawi.
"M-makasih," kataku pelan.
Tidak ada jawaban darinya selain senyum tipis yang segera saja kuhindari untuk menatapnya. Tapi justru aku tertegun, karena mendapati semua orang di ruangan ini menatap kami tanpa kedip. Bahkan aku bisa melihat dengan jelas kalau Dito tengah menahan tawa. Dan Sheila yang membulatkan mata seolah takjub.
"Ada yang aneh?" Jovan tiba-tiba bersuara.
"Ha?" Sheila terlihat gelagapan. "Enggak, kok, enggak. Ya kan, teman-teman?"
"Iya, nggak aneh." Dito malah cengengesan menatap abangnya. "Semangat, Bang."
Aku mendengar Jovan berdecak pelan. Kemudian mereka semua kembali menyantap makanan dalam diam. Saat sudah beberapa suapan, tiba-tiba ponselku berdering singkat. Pertanda ada pesan masuk. Saat membukanya, ternyata itu dari Lucas yang mengatakan akan menjemputku pulang nanti.
"Moza."
Aku menoleh pada Jovan, tepat ketika ibu jariku sedang mengetikkan pesan balasan. Dia menatapku lekat, bibirnya bergerak pelan.
"Nanti pulang kerja," Jovan berkedip beberapa kali. "Boleh aku jemput?"
Ponselku nyaris terlepas dari tangan. Dan ruangan ini, seketika dipenuhi dengan suara batuk Dito.
***
Direpost 21 April 2022
Direpost 26 April 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Mōichido (Repost Still Full)
ChickLitMiniseri #2 Moza pernah melakukan kesalahan fatal, hingga Jojo tak sudi lagi melihat wajahnya. Keluarga besar yang selalu memanjakannya, berbalik menyalahkan dan menghakimi. Tak ada pilihan terbaik selain membentangkan jarak dan mengasingkan diri. D...