Bab Pertama

6 1 0
                                    

Aku masih duduk terpekur beralaskan tikar pandan. Bibir dan hatiku masih kompak melantukan ayat - ayat suci dari buku kecil yang tergelar di depanku. Mendung tebal di sudut tenggara semakin tebal dan berarak menyebar ke berbagai bidang langit. Menghardik ketenangan hati yang tengah memuaskan kangen di pusara Sang Penembus Kabut, sosok yang hanya aku kenal lewat cerita anggota keluarganya yang masih ada dan beberapa foto yang pernah mengabadikan pengabdian dan perjuangannya.
Sang Penembus Kabut, sebuah gelar yang sangat dikenal oleh kesatuan beliau waktu itu, karena kepiawaian beliau menyelidik kedudukan musuh dan menyusun strategi memporak porandakannya. Bahkan pihak musuh sampai membuat sayembara, bahwa kepalanya bernilai seribu gulden, karena kerugian yang ditimbulkan atas sepak terjang beliau sudah mencapai jutaan gulden waktu itu. Kehadiran beliau selalu menjadi momok yang menakutkan, namun sejauh itu kaki tangan Belanda juga tidak mampu melacak atau mengendus keberadaan beliau yang selalu berpindah - pindah.
Memang, konon dari cerita yang kudengar dan bukti yang aku lihat, dia memiliki sebuah pegangan yang ia beli dengan _laku tirakat_ selama satu tahun ketika sebelum terjun ke kancah pertempuran. Mungkin karena hal inilah, Allah memberikan kekuatan lebih kepada beliau. Di masa penjajahan Jepang, ia pernah membantu Supriyadi meloloskan diri dari kepungan Jepang dan sempat mengobrak - abrik gudang logistiknya di Kediri.
Pangkat terakhir yang beliau capai adalah letnan satu, sebuah pangkat yang tidak pernah beliau banggakan sampai saat ini. Buktinya, dalam surat wasiat yang aku baca, beliau tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, nama beliau tidak boleh dituliskan dalam deretan nama Pahlawan yang ada, bahkan pangkat anumertapun beliau tolak. Beliau tidak mau, bahkan menolak keras menceritakan kembali kisah perjuangan beliau dalam bentuk apapun. Kisah inipun bukan untuk mempopulerkan nama beliau atau membuat nama beluau menjadi harum. Tidak ada misi apapun untuk mengangkat kisah beliau. Bahkan untuk kisah ini yang saya tonjolkan malah romantikanya, bukan kelihaian beliau dalam pertempuran.
Aku berdiri. Membenahi sarungku dan menggulung tikarku. Aku memandangi batu nisan dan pusara beliau, ada keenggananku untuk meninggalkannya. Serangkum perasaan menyatu dalam hatiku setiap ingat riuhnya cerita yang beliau paparkan, ketika masih sempurna langkah dan masih sempurna helaan nafas beliau.
Entahlah, mengapa aku bisa sedekat itu, melebihi kedekatan dengan anak - anak beliau. Semua anak beliau, lima orang, sudah mapan dan berkedudukan semua. Yang empat orang mejadi barisan penegak merah putih mengikuti jejak sang ayah, sedang yang tengah menjadi dokter spesialis bedah.
Sesampai di rumah aku segera menghadap laptop, agar inspirasi yang masih menghangat di ubun - ubun tidak menghalang. Bismillahirrohmannirohhim, batinku.
Aku memandangi wajah beliau yang berwibawa. Guratan tegas yang terlukis di raut wajah beliau menyimpan setumpuk cerita. Antara kisah heroik, roman, pahit, luka, dan kekecewaan, semuanya menyatu dalam pandangan mata beliau yang setajam elang.
"Pagi itu seorang telik sandi republik mendatangiku ketika mandi di sungai Srondol. Dia mengangsurkan tiga lembar kertas kepadaku tentang penyadapan informasi yaitu upaya Belanda menyergap satuan pejuang kita yang di bawah Kapten Oentoro Koesmardjo. Begitu menyerahkan kertas - kertas itu, dia memberi hormat dan menghilang. Selalu begitu...." cerita beliau perlahan.
Beliau meminum kopi yang aku bikinkan. Membelitkan syal tebal di leher beliau.
"Detik itu juga, aku dan pemimpin yang lain melakukan briefing, menentukan strategi penghadangan. Jika melihat route yang dilalui, bisa dipastikan melalui lereng kelud sebelah barat daya. Aku pecah pasukanku menjadi tiga bagian, evakuasi warga, pasukan inti penyergapan, dan pasukan penyapu sekaligus pencari dukungan ke pasukan induk."
Beliau mengetukkan tongkat ke lantai rumah beberapa kali. Mungkin sedang menata kata - kata buat melengkapi kisah beliau.
"Pasukan Wehrkreis Kediri dan Blitar sudah terkonsolidasi dan menyusun serangan sporadis di beberapa titik, baik di jalur yang sudah tertulis maupun beberapa jalur di luar itu. Tepat seperti waktu yang dilaporkan telik sandi kita, konvoi Belanda keluar dari Markas Besar di Kediri, pesan berantai segera kami terima. Pasukan pengganggu sudah melakukan pertempuran sporadis di jarak 5 km dari markas besar, setelah mengacau mereka mundur bergabung dengan pasukan di titik serangan berikutnya. Sebagai bagian Batalyon Sikatan pimpinan Sabirin Mochtar, saya pun segera mengatur posisi sergap di lereng gunung kelud itu. Posisi yang menguntungkan dan persiapan yang memadai, pasukan kami dapat mencederai beberapa musuh, dan menawannya. Senjata rampasan yang kami dapat juga lumayan. Pasukan musuh tercerai berai dan baru bisa terkumpul beberapa hari kemudian di Markas mereka di Kediri."
Beliau meminum kembali kembali kopinya.
"Selanjutnya aku ditarik ke markas besar sebagai kepala intelijen. Aku kumpulkan semua anak buahku yang sudah bergerak dan membantuku sekian lama. Dari 32 orang tercatat, hanya 26 orang yang bisa hadir dalam pertemuan konsolidasi itu. Pembentukan kelompok dan tugas inti kelompok merupakan inti dari pertemuan, selanjutnya diskusi tentang isu - isu yang berkembang berkaitan dengan tugas intelijen. Sebagai tanda identitas masing- masing orang, aku berikan sebuah batu hitam untuk ketua kelompok yang wajib dipecah dan dibagikan ke anggota kelompok. Setiap menghadap ke saya anggota harus lengkap dan membawa batu identitas."
Beliau menarik nafas lembut. Aku bergegas ke belakang punggung beliau untuk memberikan relaksasi.
"Semenjak Kelompok Sang Penembus Kabut terbentuk, berbagai upaya penyergapan dan pengacauan musuh semakin efisien, dan korban di pihak kita semakin sedikit. Bahkan strategi penggempuran PKI Madiun juga menjadi salah satu titik keberhasilan kita. Sampai awal tahun 1949 kelompok Sang Penembus Kabut tinggal 9 orang yang selamat. Kebanyakan gugur dalam menjalankan tugas. Sampai saat ini tinggal 3 orang, dan semua masih tetap mengatupkan bibirnya tidak mau melanggar sumpah janji yang telah kita ucapkan pertama kali."
Beliau berhenti. Aku bantu memapah jalan beliau menuju ruangan dalam. Istri beliau bergegas menyiapkan tempat tidur beliau. Sesampai di tempat tidur, aku ulurkan alat bantu pernapasan. Memijat kaki beliau merupakan kesukaanku. Dengan memijatnya, aku akan lebih sering mendengar cerita kehebatannya di masa perjuangan.
Setumpuk cerita tentang beliau memang sudah aku buat dalam sebuah catatan diari, belum dan memang tidak ada niatan untuk mempublikasikannya. Di samping karena amanah beliau yang selalu berusaha menutup diri, pihak keluarganya memang tidak memperbolehkan secuil ceritapun untuk dibuka ke publik.
Kisah inipun saya buat sepenggal - sepenggal, jika memang menginginkan secara utuh, harus lagi mengajukan ijin secara tertulis ke keluarga besar beliau, yang sudah menyebar ke beberapa tempat.

Blitar, Medio Juni 2005
Gandhung Windhujati

Sang Penembus KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang