Bab Kedua (Wisanggeni)

4 0 0
                                    

Sore itu aku mendapat telphon dari Mas Bram, anak kedua dari Sang Penembus Kabut. Ia berpesan, bahwa besok pagi beliau mengajakku ke suatu tempat. Saya dimintai tolong untuk menyertainya, karena keluarga beliau lebih sreg atau lebih tenang jika kepergian Sang Penembus Kabut bersama saya. Saya pun berjanji akan datang tepat waktu, meskipun besok pagi saya ada kegiatan penting menyusun analisis perkembangan kesehatan ibu dan anak di desa D yang merupakan wilayah tanggung jawabku. Mengingat bahan analisa sudah aku buat, serta kisi–kisi pelengkap sudah saya siapkan, maka tugas itu bisa saya serahkan ke Mas Hidayat, mahasiswa magang yang di bawah bimbinganku.

Paginya, sudah menjadi kebiasaanku, setelah sholat subuh, aku berjalan – jalan di depan rumah untuk sekedar mencari keringat. Lalu menyiram tanaman sayuran yang aku tanam di polibag. Lumayan untuk membantu kebutuhan sayur ibuku.

Setelah semua tanggung jawab saya selesai, dan persiapan sudah cukup, akupun pamit ke ibuku. Beliau mahfum akan kebiasaanku yang selalu mengidolakan sahabat suaminya, Sang Penembus Kabut. Meskipun selisih umur antara ayahku dan beliau, Sang Penembus Kabut, cukup jauh, lebih tua ayahku.

Kesejukan pagi seperti ini yang sering membuatku enggan untuk dipindahtugaskan ke kota, sekalipun dengan imbalan jabatan lebih tinggi dan penghasilan menggiurkan.

Aku memasuki sebuah pelataran yang luas. Rumahnya model joglo kuno, dengan ornamen khas Jawa. Ada teras dengan ruangan agak luas juga, biasanya untuk menerima tamu–tamu penting. Ada juga teras kecil, untuk ruang santai, biasanya untuk terima tamu yag sifatnya pribadi. Kedua ruangan meskipun sama – sama sebagai teras, namun ada tema yang berbeda. Beliau menyebut Ngamarta untuk yang kecil, dan Indraprasta untuk yang besar.

"Assalamu alaikum......" sapaku pelan.

"Walaikum salam warrahmatulahi wabarrakatuh, monggo mlebet mawon, mas. Romo taksih wonten kamar, nenggo njenengan...." jawab suara perempuan, tapi kayaknya bukan suara bulik. Ah...., suara itu sudah lama tidak aku dengar. Jantungku berdegup kencang. Andini ada di rumah ? Bukankah dia ada di Melbourne, Australia ?

Ternyata dugaanku tidak meleset. Seraut wajah cantik dengan senyum manis menyamputku di balik pintu. Kuulurkan tanganku utuk berjabatan.

"Kapan datang ?" tanyaku lirih.

"Baru tadi malam..." jawabnya

Tambah cantik dan tambah dewasa, batinku.

Tak lama kemudian beliau keluar sambil membawa tongkat penopang. Buru – buru aku sambut dengan mendampingi beliau. Maklum, usianya yang sudah lanjut dan rekam medik yang beliau miliki membuatku harus ekstra hati – hati.

"Sudah ngobrol dengan Andini ?"

"Sampun, Lik." jawabku takjim.

Kami ke teras kecil, tempat yang biasa untuk kami bercengkerama lepas sampai berjam–jam. Setelah duduk, ia mengeluarkan buku. Lalu menunjukkan sebuah foto yang tidak aku kenal sama sekali. Foto itu berwarna hitam putih, sudah belang – belang dimakan usia di beberapa bagian, namun raut wajahnya masih jelas.

"Ini Wisanggeni, pembantu utamaku. Keberanian dan kecermelangan otaknya melebihi aku. Pendapat kami selalu berbeda, tetapi loyalitas dan kesetiaannya pada pimpinan tidak perlu diragukan lagi. Hanya saja kenekadan dan emosionalnya belum mapan, hal inilah yang membuatnya mendahului kami menghadap Yang Maha Kuasa...." mata beliau berkaca – kaca.

Buru–buru kupijat pundak beliau dan mengulurkan selembar tisu. Beliau menarik nafas dalam–dalam meredam emosinya. Aku terus memijat lembut sampai tangan beliau memegang tanganku sebagai pertanda untuk menghentikan kegiatanku.

"Hari ini saya mau mengajakmu ke beberapa pemakaman tempat disemayamkan semua anggotaku. Mudah–mudahan menjelang sore sudah bisa pulang."

Aku termenung. Lalu, "Apa tidak sebaiknya hari ini mengunjungi beberapa pemakaman yang paling urgen saja, ndan ?"

"Alasannya ?"

"Mengunjungi dua puluh tiga tempat dengan lokasi berpencaran lumayan melelahkan, sepertinya kurang efisien. Kecuali kalo ada beberapa tokoh yang tempatnya menyatu dalam satu lokasi, itu lebih menyingkat waktu."

Beliau terpekur. Kemudian tangannya yang sudah berkerut–kerut itu membuka beberapa catatan. Pandangannya tajam ke arahku, lalu beliau berkata "Aku setuju, semoga masih ada waktu mendatang untuk mengunjungi pemakaman yang lain."

Singkat waktu, kamipun berangkat setelah beberapa persiapan usai dilakukan. Pak Jayusman, supir pribadinya yang tangkas mulai mengemudi sesuai petunjuk beliau. Setelah tiga jam perjalanan, kamipun sampai di sebuah pemakaman. Dengan langkah perlahan dan dengan pendampinganku, beliau langsung menuju ke sebuah titik. Ada sebuah foto di batu nisan dengan nama ditulis besar WISANGGENI SANG KREATOR.

Sejenak beliau berdiri dengan sikap sempurna, lalu memberi penghormatan agak lama, dan ditutup dengan membuka telapak tangan kanan ditaruh di tengah dada, "Negara dan rahasia kita senantiasa terjaga sampai kapanpun‼!" teriaknya lirih.

Ia menatap pusara itu lekat–lekat, dadanya bergemuruh. Aku yakin, serentet peristiwa tengah bergelut di benaknya.

"Kau pandangi bukit di sebelah sana, disitulah dia gugur sebagai kusuma bangsa. Usai melumpuhkan beberapa tank NICA lewat ranjau buatannya, di saat memasang ranjau terakhir, serentet tembakan yang tidak diketahui asalnya, merajam sekujur tubuhnya. Kau tahu, di puncak bukit itu ada 200 prajurit kita sedang mempersiapkan diri untuk serangan fajar esoknya. Namun ada seorang anjing NICA melaporkan lebih dulu, sehingga musuh mendahului menyergap pasukan kita. Untung saja anjing NICA itu sudah mati lewat panah beracun Wisanggeni, jadi tidak sempat melaporkan secara lengkap. Kembali dari markas NICA, dia memasang perangkap sepanjang jalan, namun ternyata kepulangannya ke markas diikuti oleh beberapa orang. Ia sempat membunuh dua orang musuh sebelum serentet tembakan menembusnya. Kami yang menunggu di lingkar pertama markas, sangat terkejut. Kami kejar mereka sampai dapat, dan membunuhnya tanpa ampun, daripada nantinya mengetahui posisi jebakan tank yang sudah dia pasang. Kami bakar mayat mereka agar bisa memadamkan rasa kehilangan kami akan seorang sahabat dan saudara." ceritanya berapi – api.

Cukup lama kami disitu, sehingga tidak sempat lagi ke pemakaman yang lain. Kamipun langsung kembali ke rumah setelah menjelang sore. Perasaanku juga seperti berkobar menghayati kisah yang beliau paparkan.

Blitar, awal Agustus 2005

Sang Penembus KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang