Side Story From A Child

75 14 2
                                    

Warn : gore(?), childhood!AU

Story by Me

Bungou Stray Dogs by Kafka Asagiri and Sango Harukawa.

.

.

.

Memangnya arti rumah itu apa?

Bukankah tempat berkumpulnya suatu keluarga yang hangat? Tempat dimana rasa sebuah cinta terasa begitu kuat?

Plak!

Suara tamparan itu sudah biasa terdengar, terus berulang hingga yang mendengar terasa bosan.

Mungkin terlalu bosan untuk menanggapi hingga yang dilakukan hanya setia pada bisu.

"Kau hik! Sama yah seperti ibumu itu, hik! Sama-sama tak berguna."

Bosan, sudah bosan gendang telinganya menerima suara itu, bosan otaknya berpikir dan mencerna kata-kata itu, hingga yang dilakukan pun masih sama.

Bocah itu masih setia pada bisu yang seakan terus menemani.

Plak!

Tamparan didapatkan lagi, konsekuensi dari setianya pada bisu. Tapi, apa pedulinya?

Selama ibunya yang sedang terbaring lemah itu sama sekali tak disentuh, Kunikida Doppo menerima apa yang ayahnya lakukan padanya.

.

.

.

.

Kunikida tak peduli pada teman, bermain, dan sebagainya selayaknya anak umur empat tahun. Ia hanya peduli pada ibunya yang terus saja berbaring tak berdaya.

Ayahnya yang hanya bisa mabuk-mabukan, Kunikida pun tahu bahwa orang itu tak bisa diandalkan. Ditambah dengan sifatnya yang kasar, membuat Kunikida takut walau hanya disuruh mendekat.

Entah percaya atau tidak, tapi memang inilah keluarganya.

Dulu memang tak separah ini walaupun memang sudah berantakan. Ibunya yang dulu sehat tentu merawat Kunikida dengan benar, menjauhkan bocah itu dari sang ayah walau harus menanggung banyak pukulan.

Tapi memangnya seberapa lama manusia mampu bertahan?

Hingga ibunya itu pun mulai menyerah saat Kunikida belum tepat berumur empat tahun.

Kunikida tak tahu apa yang terjadi pada ibunya, tapi kata 'sakit' memang sangat cocok untuk menggambarkan.

Lalu, saat manusia yang sudah terbiasa melampiaskan kemarahannya pada seseorang, lalu seseorang itu menghilang. Apa yang dilakukannya?

Benar, mencari pelampiasan lain.

Dan Kunikida lah menjadi target selanjutnya. Mengapa?

Karena bocah itu tak mau ayahnya menyentuh ibunya lagi dengan kasar.

Tamparan? Sakit memang, tapi Kunikida mulai terbiasa.

Tendangan? Sakit, tapi Kunikida juga mulai terbiasa.

Cambukan ikat pinggang kulit? Perih, bahkan meninggalkan bekas, pun Kunikida juga mulai terbiasa.

Masih banyak lagi hingga luka ditubuhnya mungkin tak terhitung. Tapi, saat ia merawat ibunya, luka itu sama sekali tak terlihat.

Yang terlihat hanya senyuman polos yang secerah matahari, dan hanya karena mengenggam tangan ibunya lah.

Kunikida benar-benar merasa aman.

.

.

"Tou-sama! Jangan! Doppo saja!" Seru Kunikida sambil berusaha menahan ayahnya yang hendak memasuki kamar ibunya.

"Diam kau, bocah!" Bentak si ayah yang langsung menolak Kunikida hingga bocah itu terjatuh ke lantai. Tangannya yang mengepal pisau itu makin erat, membuat Kunikida entah mengapa merinding.

Dengan cepat ia langsung memeluk kaki ayahnya itu, masih berusaha menahan agar ayahnya tak masuk kekamar. Dimana sang ibu tergeletak dan sama sekali tak dapat bergerak.

"Tou-sama! Doppo mohon! Jangan!"

Tubuh kecil itu gemetar, takut untuk membayangkan apa akan yang dilakukan sang ayah. Hingga dirasa tangannya ditarik dengan kasar hingga berdiri.

"Aku lupa, kau ulang tahun kan hari ini?" Pertanyaan yang keluar itu, malah membuat Kunikida semakin merinding saat menatap manik gelap ayahnya.

"Baiklah, ini hadiahmu bocah," Kunikida pun ditarik ke dalam kamar itu, tentu saja dengam sekuar tenaga menolak.

Tapi, memangnya anak kecil akan menang melawan orang dewasa?

Ini bukan kartun 'Shiva' yang pernah Kunikida lihat sekilas, ini adalah kenyataan yang harus bocah itu terima.

Kunikida pun hanya mampu terdiam saat kepalanya dengan paksa ditatapkan ke wajah ibunya, sehingga Kunikida dapat melihat dengan jelas manik yang sama dengannya.

"Sayang, anak kita hari ini ulang tahun loh." Ucapan ayahnya masih mampu membuat Kunikida merinding, tapi masih ditatapnya sang ibu yang seakan berusaha mengucapkan sesuatu.

"O-ome-de-tou D-Dop-po-cha-"

Jras!

Cipratan darah yang tentu saja mengenai wajah Kunikida hanya mampu membuatnya terdiam. Pandangannya-tidak, dunianya seakan menggelap, lidah seakan beku tak ingin berucap.

"... Kaa-chan."

Hanya gumaman tak percaya yang mampu keluar, menatap manik ibunya yang masih terlihat ...

Namun kepalanya tak lagi menyatu dengan leher.

Kunikida ingin meraih ibunya itu jika saja ia tak ditarik menjauh oleh ayahnya, "lihat, itu hadiahmu! Akan Tou-sama kemaskan yah!" Yang tentu saja diabaikan oleh Kunikida.

Entah syok atau apa, tapi ia masih terdiam menatap ibunya.

Kunikida Doppo disaat tepat berumur empat tahun, hanya dapat terdiam melihat tubuh ibunya dimutilasi didepan matanya.

Lalu dengan sadisnya, tubuh yang telah terpotong itu dilempar begitu saja ke arah Kunikida yang terduduk lemas.

"Itu ibu yang kau cintai."

Ucapan terakhir ayahnya sebelum keluar dari kamar, meninggalkan Kunikida yang menatap potongan daging yang sudah tak terbentuk.

Tak ada lagi tangan hangat itu.

Tak ada lagi senyum lembut itu.

Hanya ada potongan daging dan lumuran darah, ikut menghiasi tangisan sang bocah yang tanpa suara.

Tangis yang mungkin, sangat terlambat untuk keluar. Hingga membuat cahaya di manik jade green itu redup dan kosong.

End.

Ble:p

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Happy Birthday Mr. IdealistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang